Pasal Penodaan Agama: Indonesia Salah Satu Terburuk di Dunia
Siti Aisyah jadi korban terbaru.
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Agama menjadi salah satu topik paling penting dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Menurut hasil riset Pew Forum on Religion & Public Life dan Gallup Poll, warga dan pemerintah Indonesia masih sangat sensitif jika membicarakan agama.
Batasan-batasan yang dilatarbelakangi oleh agama juga masih sangat tinggi. Misalnya, lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) diberikan kewenangan untuk menentukan apakah seseorang telah melenceng dari ajaran Islam atau tidak.
Vonis yang dijatuhkan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama terkait penodaan agama sempat melahirkan perdebatan apakah pasal penodaan agama sebaiknya dihapus saja karena sarat dengan multi tafsir. Media-media asing pun menyoroti keputusan hakim.
Baca Juga: Vonis Ahok Jadi Perhatian Media Asing
Pasal penodaan agama menjerat Siti Aisyah.
Sayangnya, pasal tersebut kembali memakan korban. Kali ini adalah seorang ibu rumah tangga bernama Siti Aisyah. Ia memiliki sebuah sekolah membaca Al Quran bernama Rumah Mengenal Al Quran (RMA) di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Pada Senin (21/8), ia divonis telah melakukan penodaan agama dengan menyebarkan ajaran yang dinilai melenceng dari ajaran Islam sesungguhnya. Ditetapkan sebagai tersangka pada Februari 2017, Siti pun kemudian dijatuhi hukuman kurungan penjara selama 2,5 tahun.
"Apa yang ia lakukan adalah penghinaan terhadap agama kami, dia berbahaya untuk kota relijius seperti Mataram," ujar Didiek Jatmiko, hakim di pengadilan Mataram kepada AFP. Siti sendiri dikenal menyebarkan keyakinannya bahwa surat dalam Al Quran berjumlah 6.236 ayat, bukan 6.666 ayat seperti yang diyakini masyarakat Islam.
Siti Aisyah juga mengaku tak mempercayai hadis-hadis Nabi Muhammad. "Yang sekarang kita kenal hadis Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan sebagainya, saya ragukan keasliannya. Karena itu sudah berpindah dari satu orang ke orang lain. Apalagi itu diterbitkan 200-300 tahun setelah Nabi wafat. Jadi, saya tetap bilang itu hoax," tegasnya.