TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Telaah Ilmiah Terkait Alasan "Om Telolet Om" dan Beragam Hal Remeh Lainnya Bisa Viral di 2016

Ditinjau dari sisi sosiologis dan psikologis!

AP via npr.org

Sepanjang tahun 2016 ini ada berbagai hal yang nampaknya remeh, tapi ternyata bisa menjadi sesuatu yang viral. Misalnya saja Pen Pineapple Apple Pen atau yang terbaru yakni Om Telolet Om. Sebagian orang bahkan rela meniru sesuatu yang mereka anggap lucu atau unik itu sehingga menghasilkan sebuah efek bola salju di mana hal yang awalnya berskala kecil berubah menjadi besar dalam sekejap.

Baca Juga: Menteri Perhubungan: "Om Telolet Om Menyenangkan, tapi Membahayakan"

Media sosial berperan besar dalam membuat sesuatu menjadi viral.

AP via npr.org

Perkembangan teknologi dan kemudahan akses internet berkontribusi secara signifikan dalam penyebaran informasi baik yang penting maupun tidak. Dengan mengambil contoh fenomena Om Telolet Om, pakar komunikasi sekaligus Guru Besar Universitas Indonesia, Ilya Revianti, menyebutnya sebagai "kemenangan sesaat" dalam pertarungan budaya global. Kemenangan itu dimungkinkan berkat bantuan teknologi dan media sosial yang memposisikan semua individu menjadi produsen sekaligus konsumen.

Artinya, jika dulu masyarakat awam didikte oleh sekelompok orang dari kalangan pemerintahan, pelaku industri hiburan maupun media massa tentang apa yang menjadi tren dan tidak, penting untuk diketahui atau tidak, tapi kini kondisinya lain. Orang yang tak memiliki cukup sumber dana maupun ilmu pengetahuan pun bisa jadi salah satu aktor dalam pertarungan budaya global tersebut meski hasilnya tak selalu bisa bertahan lama.

Selain sebagai bentuk 'perlawanan', fenomena viral juga lahir dari kejenuhan akan situasi politik, ekonomi dan sosial yang ada.

YouTube via papermag.com

Dosen Ilmu Sosiologi dari Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, mengamini pernyataan Ilya Revianti bahwa kejadian-kejadian viral itu hanya berlangsung dalam waktu singkat. Jika sedang trending, semua orang akan membicarakannya. Namun, dalam hitungan hari kita pun akan melupakannya. Ia juga menyebut bahwa media sosial memungkinkan kita menggeber habis-habisan sesuatu seperti mannequin challenge atau bus challenge secara instan.

Dalam konteks ini, apakah sesuatu itu penting atau tidak menjadi tak relevan lagi sebab setiap orang memiliki akses untuk membuat dan menyebarkan apapun ide mereka. Secara sosiologis, mencuatnya beragam kejadian sederhana yang kemudian viral itu bisa terjadi akibat adanya kejenuhan hidup yang dirasakan masyarakat biasa.

Bagong menilai bahwa:

Fenomena viral berkaitan dengan kejenuhan masyarakat dan mereka ingin lari sejenak dari hiruk-pikuk berita politik, berita serius. Orang kan terlalu banyak dibombardir dengan isu-isu Ahok, isu intoleransi, nah biasanya kalau sudah eneg begitu hal-hal sederhana itu menjadi jeda yang menghibur.

Ia pun tak menampik fakta bahwa mayoritas penikmat hal-hal viral -- termasuk diantara kita yang ikut melakukannya -- merasa bahwa banyak hiburan membutuhkan biaya besar, sementara peristiwa sederhana yang viral itu adalah alternatif hiburan murah.

Selain itu, Bagong juga memandang fenomena tersebut sebagai upaya 'perlawanan' yang dilakukan masyarakat awam. Menurutnya:

Budaya pop yang bersifat sederhana dan terkesan tak penting itu memiliki muatan resistensi atau perlawanan. Dalam budaya ini orang-orang biasa bisa menjadi aktor utama. Orang tak mau lagi terjebak pada sesuatu yang elitis.

Bagong pun menambahkan bahwa perlawanan tersebut berkaitan erat dengan aturan tak tertulis selama ini yang menyebut bahwa "artis itu harus begini atau begitu". Konsekuensinya, banyak orang yang dulu hanya bisa berdiri di pinggir lapangan, sekarang bisa ikut dalam permainan. Artinya, dalam era digital ini budaya superior nan elit itu memiliki strata sama dengan fenomena sepele yang tak terduga dan tak terencana.

Baca Juga: 7 Challenge Paling Heboh Sepanjang Tahun 2016. Kamu Sudah Coba yang Mana?

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya