TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Ianfu Indonesia: Dipaksa Jadi Budak Seks, Kini Mereka Menggugat

Potret kelam kekejaman Jepang pada Perang Dunia II.

femina.co.id

Tak banyak publik Indonesia yang tahu tentang kisah Ianfu. Ianfu adalah kata bahasa Jepang yang merujuk sebagai perempuan yang menjadi korban perbudakan seks pada jaman penjajahan Jepang. Penderitaan mereka seolah tak tercatat dalam sejarah sebagai salah satu korban kejahatan perang.

soloevent.id

Kini, mereka kembali bangkit dari keterpurukan. Mencoba menggugat pemerintah Jepang atas kejahatan jutaan serdadunya di masa lalu. Melalui Peringatan Hari Ianfu Internasional yang digelar di Solo 14 Agustus 2017 lalu, mereka kembali mengais sisa kenangan pahit demi untuk membuka tabir sejarah kepada publik.

Baca juga: Begini Gaya 10 Artis Rayakan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72

Cerita kelam perbudakan seks penjajahan Jepang.

soloevent.id

Usianya sudah 85 tahun kini, nenek asal Gunungkidul itu menceritakan luka lamanya sambil sesekali menyeka air matanya yang meleleh. Dadanya sesak, suaranya tercekat, ketika dirinya menceritakan penculikan yang dialaminya. Usianya masih 12 tahun ketika serdadu Jepang membawanya dari rumah secara paksa. Ia kemudian ditawan di markas sebagai ianfu. Ia adalah Nenek Ngadirah. 

Tenaganya terlalu lemah untuk melawan para serdadu itu. Ia hanya bisa berteriak, menangis, dan meronta. Namun tentara-tentara itu tak punya rasa iba sedikitpun. "Saya sudah dirusak. Setiap hari dipaksa 'begitu' berkali-kali, dan tidak hanya oleh satu tentara, berganti-ganti orang, sampai saya kesakitan," ujarnya. Ngadirah kemudian divonis mengalami kerusakan organ reproduksi akibat pemerkosaan massal oleh tentara Jepang yang membuat dirinya tak bisa mengandung dan melahirkan anak.

Lain lagi dengan Mardiyem, yang di kalangan serdadu Jepang terkenal dengan nama Momoye. Dia meninggalkan kampungnya di Yogyakarta dengan iming-iming pekerjaan sebagai pemain drama. Namun nasib sial justru datang. Ia ditipu dan dibawa ke Telawang, Kalimantan Selatan. Di sana ia menjadi penghuni ianjo (semacam rumah bordil) untuk memuaskan nafsu serdadu Jepang. Kisah kelamnya itu ditulis dalam buku berjudul "Momoye: Mereka Memanggilku" karangan Eka Hindra dan Khoici Kimura.

Demikian juga Sri Sukanti. Ia diculik dari Grobogan, saat usianya masih 9 tahun. Sukanti disekap di dalam sebuah kamar dan menjadi budak seks oleh komandan Jepang bernama Ogawa. Setiap hari, Sukanti dimandikan sendiri oleh sang komandan sebelum diperkosa berulang-ulang hingga merasa kesakitan dan mengalami pendarahan pada organ vitalnya. “Tak ada ampun dan belas kasihan sama sekali. Rasanya saat itu saya ingin mati saja,” kenang Sukanti. Hingga kini dirinya masih menjalani pengobatan karena nyeri perut bagian bawah dan pusing yang kadang kambuh. Sama seperti Ngadirah, Sukanti juga divonis tak bisa memiliki keturunan.

Buka suara.

rappler.com

Adalah Tuminah, mantan ianfu yang pertama kali berbicara di depan publik terkait perbudakan seks semasa pendudukan Jepang. Heni Saptaningsih, keponakan Tuminah, bercerita tentang bibinya yang sering mengisahkan tragedi yang menimpanya. “Budhe bercerita banyak kawan-kawannya yang juga dijadikan budak seks, tetapi mereka semua malu menceritakannya karena dianggap aib. Hanya budhe yang berani mengungkap,” kata Heni.

Pada tahun 1992, Tuminah bersaksi bahwa kejahatan tentara Jepang juga benar-benar terjadi di Jawa dan menimpa perempuan remaja dan anak-anak. Setahun sebelumnya, Kim Hak-Soon, ianfu asal Korea memberi pernyataan tentang kebiadaban tentara Jepang pada masa Perang Dunia II. Tanggal kesaksian Hak-Soon pada 14 Agustus itu kemudian diperingati sebagai Hari Ianfu Internasional oleh forum Asian Solidarity ke-11 di Taipei pada 2013.

Apa yang dilakukan Tuminah itu kemudian menginspirasi ianfu lainnya di Jawa untuk mengungkap tabir sejarah. Satu per satu mereka muncul dengan kisahnya masing-masing dan menutuntu tanggung jawab pemerintah Jepang atas tragedi itu. 

Tak diketahui jumlah pasti ianfu di dunia. Angka berkembang sekitar 30.000, namun versi lain mengklaim terdapat hingga 200.000 perempuan yang tersebar di Jepang, Korea, Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Filipina, Indonesia, dan daerah pendudukan Jepang lainnya. Para aktivis perempuan dan kemanusiaan sedang berusaha mendokumentasikan dengan baik tragedi tersebut, mengingat usia perempuan itu yang tak lagi muda. “Kami sedang berpacu dengan waktu, karena beliau-beliau ini sudah sepuh. Kesehatannya raga dan jiwanya terganggu oleh trauma masa lalu,” kata Dewi, Pemred Jurnal Perempuan.

Baca juga: Hari Kemerdekaan, Kunjungi 7 Wisata Tapak Tilas Perjuangan 1945 Ini!

Artikel ini merupakan hasil kerjasama dengan Rappler Indonesia | Ari Susanto

 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya