Bantu KPK Jadi Saksi Ahli, Dosen IPB Malah Digugat Koruptor ke Pengadilan
Nur Alam sudah divonis 12 tahun penjara oleh pengadilan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan banding terhadap vonis yang dijatuhkan bagi Gubernur non aktif Sulawesi Tenggara, Nur Alam. Ia telah divonis 12 tahun dalam kasus korupsi telah memberikan izin usaha pertambangan eksplorasi pada (28/3) lalu.
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan ada tiga hal yang menjadi pertimbangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) hingga mengajukan memori banding. Padahal, Nur Alam juga divonis untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 2,7 miliar dan hak politiknya dicabut selama lima tahun karena terbukti melakukan korupsi.
Masalah baru muncul, karena salah satu saksi ahli yang bernama Basuki Wasis malah digugat oleh Nur Alam. Menurut keterangan beberapa organisasi yang menamakan diri Koalisi Anti Mafia Tambang, dosen Institut Pertanian Bogor dan ahli lingkungan itu digugat karena memberikan penilaian soal total kerugian negara dengan nominal yang keliru.
Menurut Basuki, total kerugian negara dari berkurangnya ekologis atau lingkungan pada lokasi tambang di Pulau Kabaena mencapai Rp 2,7 triliun. Ditambah dengan total kerugian negara yang dihitung oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Rp 1,5 triliun menjadi Rp 4,3 triliun.
Ini lah yang kemudian dijadikan dasar oleh Nur Alam menggugat Basuki. Apalagi dalam putusannya Ketua Majelis Hakim Diah Siti Basariah justru tidak mempertimbangkan kerugian negara akibat kerusakan lingkungan.
Lalu, mengapa KPK mengajukan banding terhadap putusan majelis hakim pada (29/3)? Apa langkah KPK untuk melindungi Basuki Wasis?
Baca juga: Ke Mana Kasus Korupsi Bank Century Akan Dibawa KPK?
1. Putusan hakim dinilai tidak sesuai dengan tuntutan jaksa
Dalam persidangan yang digelar pada (8/3) lalu, JPU menuntut agar majelis hakim menjatuhkan vonis selama 18 tahun bagi Nur Alam. Salah satu alasan mengapa JPU mengajukan tuntutan yang berat karena pria berusia 49 tahun itu dianggap telah membuat kerusakan alam yang parah di Buton dan Bombana.
"Kami baru pertama kali menuntut kerusakan alam sebagai kerugian negara. Kenapa (tuntutan) juga tinggi karena perbuatannya komulatif yakni (menerima) gratifikasi dan perbuatan melawan hukum," ujar JPU Subari Kurniawan pada sidang saat itu di Pengadilan Tipikor.
Namun, yang dikabulkan oleh majelis hakim justru vonis 12 tahun. Selain itu, mereka tidak menghitung kerugian negara yang disebabkan telah merusak lingkungan.
Menurut juru bicara KPK, Febri Diansyah, JPU telah mendaftarkan banding pada (3/4) lalu.
"Memori banding akan disampaikan menyusul belakangan," kata Febri.
Baca juga: KPK Tetapkan Dua Perusahaan Jadi Tersangka Korupsi
Baca juga: KPK: Sistem Pemerintahan Korup Tidak Bisa Dijadikan Alasan Kepala Daerah Korupsi