TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Catatan ICJR 7 Tahun Kepemimpinan Jokowi: Orang Makin Mudah Dibui

Reformasi peradilan pidana berjalan stagnan

Ilustrasi dua tahun kepemimpinan Joko "Jokowi" Widodo dan Ma'ruf Amin (Dokumentasi ANTARA FOTO)

Jakarta, IDN Times - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memberi nilai rapor merah kepada kepemimpinan Presiden Joko "Jokowi" Widodo, yang telah memasuki tahun ketujuh. Meski sudah berganti wakil presiden dan bersanding dengan Ma'ruf Amin, justru warga malah semakin mudah dibui. Padahal, kondisi di dalam lembaga pemasyarakatan sudah overcrowd

Direktur ICJR, Erasmus Napitupulu, menilai dalam pidato kenegaraan Jokowi pada 16 Agustus 2021, mantan Gubernur DKI Jakarta itu hanya menyinggung soal reformasi struktural perekonomian pasca-COVID-19. Reformasi hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) malah luput disebut. 

"Padahal, sejak terpilih pada 20 Oktober 2019 lalu, ICJR sudah mengingatkan betapa pentingnya aspek reformasi hukum dan perlindungan HAM untuk mendorong perekonomian negara. Jaminan atas kepastian hukum dan perlindungan HAM adalah persyaratan mutlak untuk menciptakan kondisi ekosistem politik dan ekonomi yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi," kata Erasmus dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat (22/10/2021). 

Ia menyayangkan pada periode kedua kepemimpinannya, Jokowi tidak menyinggung soal sistem reformasi hukum dan sistem peradilan. Maka, tak heran bila menurut beberapa survei, termasuk yang dilakukan Saiful Mujani Research Consulting (SMRC) menunjukkan perburukan terkait persepsi publik di sektor politik dan penegakan hukum. 

Bila dibandingkan pada Mei 2021, responden SMRC menilai kondisi penegakan hukum pada September 2021 justru lebih buruk. Angkanya semula 19,5 persen lalu naik 24,8 persen pada September 2021. 

Apa saja temuan ICJR yang mendukung hasil survei SMRC yang dilakukan pada pertengahan September tersebut?

Baca Juga: Catatan KontraS 2 Tahun Jokowi-Ma'ruf: Warga Makin Takut Bersuara

1. Reformasi hukum acara pidana terabaikan, polisi dapat sewaktu-waktu menangkap

IDN Times/Sukma Sakti

Dua pekan belakangan, institusi kepolisian sedang menjadi sorotan publik. Berbagai tindak pengancaman dan represif bermunculan. Mulai dari aksi membanting mahasiswa dalam aksi demonstrasi di depan kantor Bupati Tangerang, akun media sosial humas Polda Kalimantan Tengah yang mengancam warganet secara langsung lantaran dianggap mengucapkan kalimat tak pantas, hingga aksi polisi yang memeriksa isi ponsel individu dengan alasan pengecekan identitas. 

Belum lagi aksi penghapusan mural dan mendatangi individu yang membuat mural dengan nada kritik itu, makin mencerminkan seolah-olah polisi bisa dengan mudah melakukan penangkapan. "Kewenangan begitu besar pada kepolisian untuk melakukan penahanan semakin menunjukkan masalah ketika pandemik terjadi," kata Erasmus. 

ICJR mengutip data dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), ada 80 kasus penyiksaan warga sepanjang Juni 2020 hingga Mei 2021. Institusi kepolisian menjadi aktor utama dalam aksi penyiksaan tersebut. 

"Ini juga menandakan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) minim pengawasan," tutur Erasmus. 

Belum lagi sempat viral tagar #PercumaLaporPolisi yang merupakan bentuk ekspresi kegeraman melihat polisi di Luwuk Timur, Sulawesi Tengah, malah menutup penyelidikan kasus pemerkosaan terhadap tiga anak di bawah umur. Pelaku diduga adalah ayah kandungnya sendiri. 

"Seharusnya ini menjadi momentum bagi Presiden Jokowi untuk melakukan reformasi terhadap institusi dan personel kepolisian secara menyeluruh agar lebih akuntabel dan memiliki perspektif HAM," ungkapnya. 

2. Mayoritas pengguna narkotika masih dijebloskan ke penjara

Ilustrasi Narkoba (IDN Times/Sukma Shakti)

Belum lekang dari ingatan kebakaran di Lapas Tangerang pada pertengahan September 2021 yang telah menewaskan 48 narapidana. Mereka terbakar hidup-hidup dan tidak sempat diselamatkan petugas lapas yang tengah berjaga.

Salah satu penyebabnya karena kondisi sel di dalam lapas sudah overcrowd alias ruang penjara tak muat lagi karena terlalu banyak narapidana. Mayoritas penghuni sel merupakan pengguna narkotika. 

"Seharusnya, pemerintah mengambil pelajaran dari peristiwa kebakaran di Lapas Klas I Tangerang, bahwa mayoritas pengguna narkotika sejak awal tak perlu dipenjara," kata Erasmus. 

Masalah narkotika yang berujung pada kondisi lapas yang overcrowd masih menjadi kegagalan terbesar bagi Presiden Jokowi. Maka, ICJR mendesak agar UU Narkotika direvisi dan tak lagi memidanakan pengguna narkotika. Mereka bisa menjalani rehabilitasi. 

Baca Juga: Rapor BEM UI untuk 2 Tahun Jokowi: 6 Menteri Dapat Skor E, 3 Lainnya D

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya