Rapor BEM UI untuk 2 Tahun Jokowi: 6 Menteri Dapat Skor E, 3 Lainnya D

BEM UI desak menteri yang dapat nilai E diganti

Jakarta, IDN Times - Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia memberikan rapor merah bagi dua tahun kepemimpinan Presiden Joko "Jokowi" Widodo dan Wapres Ma'ruf Amin, yang jatuh pada 20 Oktober 2021. Bahkan, ada enam pejabat atau  menteri yang diberi skor E dan ada tiga menteri lainnya dapat nilai D. 

Ketua BEM UI Leon Alvinda menjelaskan, ibarat mengikuti perkuliahan skor E artinya tidak lulus dalam mata kuliah tertentu. Padahal, publik telah memberikan banyak waktu dan kesempatan bagi menteri yang bersangkutan untuk membuktikan kinerjanya.

Enam pejabat dan menteri yang diberi skor E oleh BEM UI yakni Ketua KPK Komjen (Pol) Firli Bahuri, Menko Polhukam Mahfud MD, Menkumham Yasonna Laoly, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Mendikbud dan Ristek Nadiem Makarim, dan Jaksa Agung ST Burhanuddin. 

"Maka, para pejabat ini harus diganti di kabinet Pak Jokowi-Ma'ruf Amin," ujar Leon kepada IDN Times melalui pesan suara, Rabu 20 Oktober 2021. 

Sedangkan, tiga pejabat atau menteri yang diberi skor D, kata Leon, artinya masih memiliki waktu untuk memperbaiki kinerjanya. Ketiga pejabat tersebut yakni Menkes Budi Gunadi Sadikin, Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, dan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan. 

"Kami memberikan nilai D (kepada menteri atau pejabat) bukan berarti kami mengapresiasi. Kalau di sesi perkuliahan, D itu kan sama dengan remedial. D itu juga gak lulus tapi kami melihat ada kesempatan dilakukan perbaikan di kementerian tersebut," kata dia. 

Ia kemudian memberi contoh Menkes Budi yang dinilai memiliki kesempatan untuk memperbaiki kinerjanya ketika menghadapi gelombang ketiga COVID-19. "Ia memiliki waktu agar tidak terulang lagi tragedi seperti di gelombang kedua," tutur dia lagi. 

Mengapa enam menteri atau pejabat itu diusulkan sebaiknya diganti oleh Jokowi?

1. Jokowi langgar janji kampanye sendiri untuk memperkuat KPK

Rapor BEM UI untuk 2 Tahun Jokowi: 6 Menteri Dapat Skor E, 3 Lainnya DInfografis mengenai Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK (IDN Times/Aditya Pratama)

Ada benang merah mengapa Menko Polhukam, Menkumham, dan Ketua KPK dinilai perlu segera diganti dari kabinet Jokowi-Ma'ruf. Sebab, di lini ini, upaya penegakan hukum dinilai lemah.

Bahkan, semakin banyak warga yang terjerat bui hanya karena bersuara di media sosial. Ada yang memprotes mengenai tak becusnya penanganan kasus rasuah di media sosial, lalu berujung dengan ancaman bui melalui UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). 

"Di sektor penanganan korupsi, Jokowi-Ma'ruf Amin pernah berjanji untuk memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin mengesahkan UU Nomor 19 Tahun 2019 mengenai KPK. Ini merupakan revisi dari UU Nomor 30 Tahun 2002," ujar BEM UI dalam keterangan tertulisnya pada Rabu malam, 20 Oktober 2021. 

Menurut BEM UI, bukan tanpa sebab bila UU KPK buru-buru untuk direvisi. Bahkan, prosesnya tak memakan waktu selama satu bulan. 

"Hal ini jelas melemahkan KPK. Selain itu, revisi UU itu disusun selama 13 hari. Presiden Jokowi pun enggan menerbitkan Peraturan Pengganti UU meski sudah didesak oleh berbagai kalangan masyarakat, menyebabkan pengesahan UU ini problematik," kata mereka. 

Maka, kini dampaknya mulai terlihat. Pemberantasan korupsi melemah. Bahkan, ada kasus rasuah yang untuk kali pertama dihentikan alias SP3. 

"Alhasil, indeks persepsi korupsi (IPK) anjlok, tingkat kepercayaan publik ke KPK makin rendah, angka Operasi Tangkap Tangan (OTT) pun juga menurun," tutur dia lagi.

Situasi makin pelik ketika Jokowi tidak berbuat apapun saat 58 pegawai dipecat dari KPK dengan alasan tak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). "KPK yang dipimpin oleh Firli Bahuri dan jajarannya juga tercatat beberapa kali melanggar kode etik, tapi hanya dikenakan sanksi ringan dari Dewan Pengawas KPK," ujarnya. 

Baca Juga: Catatan KontraS 2 Tahun Jokowi-Ma'ruf: Warga Makin Takut Bersuara

2. Warga makin khawatir bersuara karena takut terjerat UU ITE

Rapor BEM UI untuk 2 Tahun Jokowi: 6 Menteri Dapat Skor E, 3 Lainnya DDeretan pasal karet yang menjerat individu atau lembaga di dalam UU ITE (IDN Times/Arief Rahmat)

Di sisi lain, BEM UI menjelaskan mengapa Menkumham dan Menko Polhukam perlu ikut diganti dari kabinet Indonesia Maju. Salah satu yang jadi sorotan adalah makin banyaknya warga yang takut bersuara karena bakal dijerat dengan UU ITE. 

"Revisi UU ITE yang semestinya melindungi hak kebebasan berpendapat masyarakat di ruang digital, sampai hari ini masih problematik karena masih juga mengandung pasal multitafsir yang rawan disalahgunakan untuk mengkriminalisasi korban," kata BEM UI. 

Padahal, dalam rapat pada 15 Februari 2021 lalu, Jokowi telah memberikan arahan agar aturan tersebut direvisi. Alih-alih melakukan revisi, pada 23 Juni 2021 lalu, pemerintah justru menerbitkan Surat Keputusan Bersama 3 Menteri terkait pedoman implementasi UU ITE. 

"Penerbitan SKB 3 Menteri ini menjadi aktualisasi dari wacana pembentukan pedoman interpretasi UU ITE yang hanya berisikan penjelasan mengenai Pasal 27, 28, 29, dan 30 UU ITE," ujar mereka. 

Dari sini, BEM UI menilai Menko Polhukam Mahfud MD dan Menkumham Yasonna Laoly gagal dalam memberikan jaminan dan perlindungan hukum atas hak kebebasan berekspresi dan berpendapat. BEM UI juga mewanti-wanti Kapolri yang diberi skor D agar segera mempercepat reformasi di tubuh kepolisian. 

3. Jokowi berjanji mewujudkan prinsip hijau dan mengelola lingkungan hidup, tapi sahkan UU Ciptaker

Rapor BEM UI untuk 2 Tahun Jokowi: 6 Menteri Dapat Skor E, 3 Lainnya DIlustrasi Hutan (IDN Times/Sunariyah)

Menurut BEM UI, janji kampanye lainnya yang tidak ditepati oleh Jokowi-Ma'ruf Amin adalah mencegah dampak perubahan iklim dan melindungi lingkungan. Pada kenyataannya, UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang pertambangan mineral dan batu bara (UU Minerba) dan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan turunannya malah disahkan. 

"Pengesahan kedua produk hukum ini menjadi karpet merah untuk oligarki melalui pelonggaran dan deregulasi yang jelas, merampas hak warga atas lingkungan yang bersih dan sehat sesuai Pasal 28H ayat (1) UUD 1945," ujar BEM UI. 

Alhasil, produk hukum itu menyebabkan benturan kepentingan antara oligarki, pemerintah, dan masyarakat sipil. Sejumlah warga yang tetap berkukuh memperjuangkan lingkungan, kata BEM UI, menjadi korban penangkapan aparat dan penganiayaan. Padahal, mereka melindungi tanah yang menjadi haknya agar tidak digusur. 

"Hal itu sudah terjadi di Wadas, Jawa Tengah," kata mereka lagi. 

Kini, pemerintah tengah mewujudkan pembangunan proyek food estate yang juga tak kalah problematik. Menurut BEM UI akan ada sederet permasalahan bila proyek food estate tetap dilanjutkan. 

"Seperti, adanya potensi menggantungkan nasib pangan Indonesia ke korporasi besar. Selain itu, daerah kawasan hutan berpotensi semakin berkurang untuk keperluan proyek food estate," ujarnya. 

4. Pemerintah dinilai tak memiliki itikad baik untuk selesaikan pelanggaran HAM masa lalu

Rapor BEM UI untuk 2 Tahun Jokowi: 6 Menteri Dapat Skor E, 3 Lainnya DJaksa Agung ST Burhanuddin (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.)

Sementara, alasan mengapa Jaksa Agung ST Burhanuddin menjadi sosok yang sebaiknya diganti dari kabinet karena ia tak menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu. Padahal, itu juga menjadi salah satu komitmen dan janji kampanye Jokowi. 

Bahkan, Burhanuddin pada 16 Januari 2020 menyatakan bahwa Peristiwa Semanggi I dan II tidak termasuk dalam kasus pelanggaran HAM berat. Keluarga korban juga telah melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Mei 2020 lalu atas tuntutan Jakgung yang bertindak sebagai pejabat publik yang menghalangi kepentingan keluarga korban. Mereka berupaya mendapatkan keadilan atas meninggalnya korban dalam Peristiwa Semanggi I dan II. 

"Sayangnya, usai keluarga korban menang di PTUN, Jaksa Agung mengajukan banding dan memenangkan banding tersebut," kata BEM UI. 

Alasan hakim di PTUN memenangkan Jaksa Agung karena keluarga korban tidak melalui banding administratif lebih dulu. "Serangkaian pernyataan dan kebohongan Jakgung Sanitiar Burhanuddin terkait penyikapannya dalam menangani Peristiwa Semanggi I dan II tampaknya cukup menjadi gambaran, bagaimana pejabat negara mengabaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu," ujar BEM UI lagi. 

Baca Juga: Survei SMRC: Kondisi Ekonomi RI 2021 Lebih Buruk Dibanding 2020

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya