TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Cerita Pilu dr Tompi Kehilangan Ibu Akibat COVID-19 Saat Ramadan

Dokter Tompi curhat penanganan pandemik di Aceh buruk

dr. Teuku "Tompi" Adifitrian bersama almarhumah ibunda yang meninggal karena COVID-19 (www.instagram.com/@dr_tompi)

Jakarta, IDN Times - Lebaran 2021 menjadi momen yang berbeda bagi dokter spesialis bedah plastik, Teuku Adifitrian atau akrab disapa Tompi. Pada pertengahan Ramadan lalu, ia kehilangan ibunda karena COVID-19. Semua bermula ketika ia mengizinkan sang ibu kembali ke kampung halamannya di Lhokseumawe, Aceh pada pertengahan Ramadan. 

"Beliau ingin pulang ke Aceh karena rindu, ingin nyekar dan datang ke kuburan bapak saya, adik saya, hingga ketemu keluarga besar di Aceh. Beliau saya izinkan pulang dengan catatan Mama gak boleh ke mana-mana, jadi di rumah aja, pakai masker dan jaga jarak," ungkap Tompi melalui video yang diunggah ke akun Instagramnya, @dr_tompi, pada Sabtu, 15 Mei 2021 lalu. 

Dari video tersebut, terlihat Tompi masih seolah tak percaya ibunya telah tiada karena COVID-19. Ibundanya meninggal kurang dari satu minggu usai dinyatakan terpapar penyakit dari virus Sars-CoV-2 itu. 

Pria yang juga penyanyi beraliran musik Jazz itu menduga, ibunya tertular virus corona dari anggota keluarganya yang masih aktif beraktivitas di luar rumah. Anggota keluarga ini pun baru menyadari terpapar COVID-19, setelah Tompi meminta dilakukan pelacakan usai ibunya meninggal. 

"Jadi, sebenarnya dia sudah sakit (COVID-19) duluan, tapi karena kami rumahnya dempetan, suka ngumpul, makan dan ngobrol bareng. Karena merasa sehat dan merasa (kondisi fisiknya) oke, gak mungkin lah dia sakit. Masalahnya, COVID-19 gak melihat begitu. (Penyakit) ini gak melihat apakah orangnya kaya, miskin, bersih atau jorok. Siapa aja bisa kena," tutur Tompi memberikan penjelasan. 

Tak lama setelah acara kumpul keluarga di Aceh itu, ibunya jatuh sakit dan muncul gejala demam. Sang ibu semula sempat menolak untuk menjalani tes COVID-19. Ia baru bersedia dites hari kedua usai mengeluh sakit. 

"Hasilnya positif COVID-19. Akhirnya usai sahur, saya berkoordinasi dengan teman-teman saya di Aceh, Medan, dan Jakarta untuk mengirim ibu ke rumah sakti lain agar dapat perawatan lebih baik," katanya. 

Namun, Tompi mengaku sempat kecewa dengan penanganan pandemik COVID-19 di Aceh. Mengapa?

Baca Juga: Kenaikan Zona Merah di Sumsel Diduga Akibat Varian B1617 Asal India 

1. Mobil ambulans yang hendak membawa ibu Tompi lambat tiba di rumah

Mobil ambulans hibah dari Jepang diparkir di Rujab Gubernur Sulsel, Jumat (5/2/2021). Humas Pemprov Sulsel

Tompi semula berharap bisa merawat ibunya dengan fasilitas medis lebih baik di Medan, Sumatra Utara. Apalagi saturasi oksigen ibunya turun drastis, dari semula 98 ke angka 94. 

"Saya mulai khawatir dan meminta kakak saya agar harus sesegera mungkin berangkat (menuju ke Medan). Saya ngomong jam 06.00 pagi, tapi mobil ambulans baru ready jam 16.00 WIB. Bayangin gap (waktunya) segitu lama," tutur Tompi. 

Pada waktu yang sama, Tompi bergerak dari Jakarta menuju Medan. Sehingga, ia bisa mengawasi perawatan ibunya dari dekat di Medan. 

"Tapi, Allah hanya kasih waktunya segitu. Baru naik ambulans, lalu jalan beberapa menit, mengalami perburukan, saturasi makin turun, dalam keadaan tenang dan senyap, ibu saya berpulang. Prosesnya cepat banget," katanya seolah masih tak percaya. 

Ia juga menyoroti kondisi penanganan pandemik COVID-19 di kampung halamannya, Aceh. Pemeriksaan tes swab PCR hanya bisa dilakukan dua kali dalam satu minggu. Padahal, saat ini situasi tengah pandemik. 

"Seharusnya saat COVID-19, satgasnya bekerja 24 jam tujuh hari dalam satu minggu. Itu pun reagennya suka gak ada. Tenaga kesehatan yang bertugas juga sering kali tidak stand by di tempat," ujarnya. 

Tompi tak menutupi, ia sering kali harus marah dan menggunakan koneksinya agar sang ibu dapat memperoleh perawatan yang baik. Ia sempat kecewa karena ketika ibunya membutuhkan pemeriksaan D-dimer untuk mengecek ada atau tidaknya penggumpalan dalam darah, laboratorium rumah sakit di Aceh tak memiliki peralatannya. 

2. Tompi mewanti-wanti faskes di Indonesia akan kolaps bila banyak yang sakit kena COVID-19

Penyanyi jazz Tompi tampil di Ngayogjazz 2019 di Dusun Kwagon, Sleman, 16 November 2019. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Dari kejadian itu, ia pun berharap semua pihak ikut ambil bagian dalam menekan laju penularan virus corona. Sebab, bila ada satu saja yang abai, maka mengakibatkan lonjakan kasus COVID-19. Tompi mewanti-wanti bila warga yang sakit COVID-19 dalam jumlah banyak maka fasilitas kesehatan di Tanah Air akan kolaps. 

"Jadi, jangan sampai peristiwa yang terjadi di India, terulang di sini. Gak akan sanggup negara kita. Jumlah dokter kita sedikit, belum lagi insentif belum turun-turun di beberapa tempat sehingga mengakibatkan mereka semakin males untuk bekerja. Fasilitas (kesehatannya) pun gak mumpuni," tutur Tompi. 

Ia juga menyebut, semua pihak harus sama-sama menganggap COVID-19 adalah penyakit yang serius. Penyakit yang kini sudah memiliki beragam mutasi itu, tak bisa dianggap enteng meski banyak orang berhasil sembuh. 

"Kalau bukan kita yang saling jaga, akan sulit. Bila peristiwa di India terulang di sini, maka selesai kita," katanya lagi. 

Usai memakamkan ibunya di Lhokseumawe, Tompi mengantar adiknya yang juga terpapar COVID-19 dengan mobil pribadi ke rumah sakit di Banda Aceh. Ia tak mau tragedi yang menimpa sang ibu terulang ke adiknya. 

Di rumah sakit itu, ia sempat berbincang dengan tenaga medis yang menyebut ada pedagang pasar yang memilih tetap berjualan meski hasil tes menyatakan ia tertular COVID-19.

"Mereka tetap berdagang di pasar yang dipenuhi banyak orang dengan status positif COVID-19 tanpa gejala. Coba bayangkan, kalau ada ribuan orang seperti ini," tutur Tompi heran. 

Di sisi lain, Tompi bisa memahami orang-orang di Aceh itu justru malah bisa meninggal karena tak memiliki penghasilan untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, bila mereka tetap abai, kata Tompi, justru penyakit itu terus menular dan menyebabkan keluarga orang lain meninggal. 

3. Tompi banyak temukan orang yang masih tak percaya COVID-19 benar-benar ada

Ilustrasi petugas medis yang menangani COVID-19 (ANTARA FOTO/Basri Marzuki)

Hal lain yang ia masih tak percaya meski pandemik sudah berlalu lebih dari satu tahun yakni banyak orang yang skeptis COVID-19 benar-benar ada. Hal itu ia simpulkan ketika ada seorang personel kepolisian yang bertanya ke dia apakah ibunya meninggal karena COVID-19. Menurut Tompi, personel kepolisian itu memiliki pangkat cukup tinggi. 

"Saya pikir COVID-19 itu gak ada. Bayangin, polisi aja masih ngomong begitu. Jadi, gak usah heran kalau masyarakat banyak yang gak peduli atau percaya (soal COVID-19)," ungkapnya. 

Bahkan, tentara pun, kata Tompi juga ada yang masih skeptis soal keberadaan COVID-19. Ketika kakaknya menegur seorang tentara agar mengenakan masker, tentara itu justru bertanya balik ke kakaknya apakah COVID-19 benar-benar ada atau hanya konspirasi. 

"Anda itu kalau bapak atau ibunya belum berpulang karena COVID-19, mungkin gak akan percaya (COVID-19) itu ada," katanya. 

Ia menjelaskan, memiliki anggota keluarga yang meninggal karena COVID-19 sangat tidak nyaman. Ia tak bisa menyelenggarakan pengajian untuk mendoakan ibunya. Bahkan, ia tak dapat mengantarkan jenazah sang ibu untuk dimakamkan di liang lahat. 

Baca Juga: Kronologi 13 ABK dari India Positif COVID-19 di Cilacap, Varian Baru?

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya