Hasil COP26 di Glasgow Beri Celah Pemerintah Tak Setop PLTU pada 2040
Dunia tak jadi setop penggunaan energi fosil batu bara
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Konferensi iklim COP26 yang dihelat di Glasgow, Inggris yang berakhir pada Minggu, 14 November 2021 berakhir antiklimaks. Alih-alih semua negara anggota menyepakati menghapus penggunaan batu bara pada 2030 hingga 2040, dokumen yang dinamakan Glasgow Climate Pact itu justru gagal menepati komitmen mereka.
Sehari sebelum KTT Perubahan Iklim berakhir, China dan India melakukan intervensi. Mereka meminta agar bahasa di dalam dokumen tersebut diubah dari menyetop penggunaan energi fosil batu bara pada 2030 menjadi mengurangi penggunaan batu bara.
Bila keinginan tersebut tak dipenuhi, China dan India mengancam bakal hengkang dari konferensi mengenai iklim tersebut. Baik Negeri Tirai Bambu dan Bollywood adalah negara-negara terbesar di dunia pengguna energi batu bara.
Dikutip dari stasiun berita BBC, Presiden COP26, Alok Sharma, mengatakan China dan India harus memberikan penjelasan yang masuk akal kepada negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim.
Kesepakatan itu membuat sejumlah pihak kecewa, termasuk organisasi Greenpeace Indonesia. Sebab, dikhawatirkan bila industri batu bara dibiarkan maka pemanasan global bisa mencapai lebih dari 1,5 derajat celcius.
Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, mengatakan Glasgow Pact bisa turut berdampak kepada lingkungan di Tanah Air. Apa dampak yang dikhawatirkan Greenpeace?
Baca Juga: Cyber Indonesia Cabut Laporan Greenpeace dari Polda Metro, Kenapa?
1. Pemerintah tak lagi punya kewajiban berhentikan industri batu bara pada 2040
Leonard mengatakan Glasgow Pact di COP26 adalah bentuk kompromi. Sebab, sejumlah negara terpaksa mengalah dengan India dan China, lantaran keduanya mengancam bakal hengkang dari COP26 bila bahasa di dalam dokumen kesepakatan itu tak diubah. India dan China menginginkan frasa "penggunaan energi batu bara disetop" pada 2030, diubah menjadi "dikurangi".
Menurut Leonard, hasil Glasgow Pact itu bisa dijadikan celah untuk pemerintah mengulur waktu menyetop penggunaan energi batu bara pada 2040. Di dalam kesepakatan awal, negara-negara dengan perekonomian maju bakal menyetop penggunaan energi batu bara pada 2030. Sementara, negara-negara dengan perekonomian lebih rendah berkomitmen untuk menyetop penggunaan energi batu bara pada 2040.
"Kami berharap Pemerintah Indonesia tetap punya komitmen yang kuat untuk mendorong agar industri batu bara dengan bantuan dunia internasional pada 2040," ujar Leonard menjawab pertanyaan IDN Times dalam diskusi virtual pada Senin (15/11/2021).
Leonard pun tak menyangkal kesepakatan di Glasgow yang berakhir antiklimaks justru memberi ruang bagi industri batu bara lebih lama beroperasi di Tanah Air. "Termasuk memberikan ruang bagi teknologi capture carbon storage yang digadang-gadang oleh ESDM efektif mengurangi gas CO2 ke atmosfer," kata dia.
Ia menambahkan teknologi capture carbon storage yang digadang-gadang Kementerian ESDM harganya sangat mahal. Alih-alih membeli teknologi itu, Leonard menyarankan agar dana yang ada digunakan untuk fokus menghasilkan energi terbarukan.
Baca Juga: Forest Watch Indonesia Bantah Klaim Jokowi soal Deforestasi Menurun