TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Ini Alasan Pemerintah Usulkan Hukuman Koruptor Dibuat Ringan

Wiranto bantah sikap Pemerintah dan KPK berseberangan

www.twitter.com/@wiranto1947

Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator bidang politik, hukum dan keamanan, Wiranto, kembali menegaskan pemerintah gak berniat melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Dokumen yang akan dijadikan acuan penerapan hukum di Indonesia itu rencananya diketok palu pada Agustus 2018 mendatang. 

Wiranto mengatakan pihaknya gak ingin publik disesatkan oleh perdebatan mengenai isu-isu yang terdapat dalam RKUHP tersebut. Oleh sebab itu, pada Kamis (7/6), Wiranto mengumpulkan semua pejabat terkait untuk membahas kendala pemberlakuan RKUHP untuk tindak pidana khusus korupsi. 

Beberapa nama seperti Arsul Sani (anggota panitia khusus RKUHP), Menkum HAM, Yasonna Laoly, Muladi (Ketua Tim Perumus RKUHP), Enny Nurbaningsih (Ketua Tim Panitia Kerja RKUHP), Agus Rahardjo (Ketua KPK) dan Laode M. Syarif (Wakil Ketua KPK). 

"Dengan demikian, tujuan kami bertemu untuk saling memahami dan menyatukan pendapat bahwa di dalam RKUHP ini tidak ada niat, upaya apalagi rekayasa untuk melemahkan lembaga-lembaga yang melawan tindak pidana khusus, termasuk tindak kejahatan korupsi yang selama ini ditangani KPK. Itu sama sekali tidak ada niat itu," ujar Wiranto ketika memberikan keterangan pers pada Kamis sore (7/6). 

Ia pun menegaskan opini yang berkembang selama ini bahwa seolah-olah antara KPK dengan pemerintah mengambil sikap berseberangan dalam isu RKUHP, sama sekali gak benar. Menurut mantan Panglima TNI itu, wajar kalau ada perbedaan pendapat dalam perumusan RKUHP. Lagipula RKUHP saat ini masih terus digodok dan belum bersifat final. 

Lalu, apa hasil pertemuan Wiranto dengan para pemangku kepentingan itu? Pasal-pasal apa aja yang sempat menjadi perdebatan dan belum mencapai titik temu? 

1. Pasal mengenai sanksi bagi koruptor masih menjadi perdebatan

www.twitter.com/@wiranto1947

Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif mengatakan ada dua poin yang menjadi perdebatan alot selama pertemuan yang berlangsung sekitar dua jam di Kemenkopolhukam. Pertama, soal sanksi bagi pelaku korupsi yang berbeda di KUHP. Kedua, mengenai lima pasal yang ada di dalam UU Tipikor tapi malah dimasukan ke dalam RKUHP dan dianggap sebagai ketentuan umum.

Terkait sanksi bagi pelaku korupsi, di pasal 2 ayat 1 UU Tipikor tertulis setiap orang yang melawan hukum, melakukan perbuatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, maka dipidana penjara dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Sementara, untuk denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Bandingkan ketika pasal tersebut ada di KUHP. Itu tertuang di pasal 687 RKUHP. Di sana tertulis setiap orang yang melawan hukum dan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara, maka dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun. Sementara, untuk denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori IV.

"Jadi, intinya belum ada titik temu. Nanti akan kembali dibicarakan usai Lebaran," ujar Syarif ketika ditemui media di kantor Kemenkopolhukam.

Lalu, apa alasan pemerintah malah mengusulkan hukuman penjara bagi pelaku korupsi lebih ringan? Menurut Ketua Tim Panitia Kerja RKUHP, Enny Nurbaningsih, pola pikir demikian justru keliru.

"Gak ada niatan sama sekali dari kami untuk membuat hukuman bagi koruptor justru lebih ringan. Enak aja dong kalau begitu. Yang kami bangun adalah proporsionalitas," ujar Enny ditemui di tempat yang sama.

Menurut Enny, rumusan yang diusulkan oleh pemerintah yakni hukuman bagi koruptor penyelenggara negara ditingkatkan. Sementara, koruptor yang berasal dari warga biasa justru diturunkan.

"Coba, kalau dibandingkan berapa banyak pelaku korupsi dari warga biasa?," tanya Enny.

2. RKUHP gak mengurangi kewenangan institusi penegak hukum

IDN Times/Sukma Shakti

Enny kembali menegaskan gak ada niatan dari pemerintah untuk melucuti kewenangan institusi penegak hukum mana pun melalui RKUHP. Apakah itu KPK, Badan Narkotika Nasional maupun Komnas HAM. Sebab, menurut Enny ada pidana tambahan untuk tindak pidana khusus.

"Jadi kalau seandainya KPK ingin menambah dengan menjatuhkan hukuman uang pengganti silakan. Selain itu, gak ada disparitas sanksi, artinya sanksi yang tertulis di KUHP dan UU Tipikor sama. Delik pokoknya saja yang berpindah ke KUHP. Nah, itu yang akan dijadikan rujukan ketika melakukan proses penuntutan," tutur perempuan yang menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional di Kemenkum HAM tersebut.

Ia pun memastikan bagi Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Komnas HAM tetap memiliki kewenangan sesuai dengan institusi masing-masing kalau KUHP disahkan. Enny juga menyebut gak ada overlapping kewenangan antara KUHP dengan UU masing-masing institusi.

"Makanya kami akan diskusikan lagi. Sebenarnya kan yang namanya delik pokok korupsi hanya penyuapan. Kalau merugikan keuangan negara hanya perluasan practice di Indonesia," kata dia.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya