TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Jokowi Tetap Berlakukan UU Cipta Kerja, Pastikan Investasi di RI Aman

"Investasi yang sedang berlangsung tetap aman dan terjamin"

Presiden Joko "Jokowi" Widodo ketika berbicara di pidato Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (BI) 2021 di Jakarta, Rabu, 24 November 2021 (ANTARA FOTO/BPMI Setpres)

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo memastikan kepada para investor bahwa investasi yang sedang atau telah dilakukan di Indonesia tetap aman serta tak terpengaruh dari hasil putusan gugatan formil Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, kata Jokowi, MK menyatakan UU nomor 11 tahun 2020 mengenai Cipta Kerja tetap berlaku selama dalam proses perbaikan. Ini merupakan respons perdana mantan Gubernur DKI Jakarta itu usai MK menolak gugatan kelompok buruh untuk membatalkan UU Ciptaker. 

"MK sudah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja masih tetap berlaku. Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang diberikan waktu paling lama dua tahun untuk melakukan revisi atau perbaikan-perbaikan. Dengan demikian, seluruh peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja yang ada saat ini masih tetap berlaku," ujar Jokowi ketika memberikan keterangan pers di Istana Merdeka pada Senin (29/11/2021). 

Ia juga menegaskan tidak ada satu pasal pun di dalam undang-undang itu yang dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku paska putusan pada pekan lalu. "Maka, saya pastikan kepada para pelaku usaha dan investor baik dari dalam dan luar negeri, investasi yang sedang berjalan saat ini tetap aman," kata dia lagi. 

Pernyataan Jokowi ini bertentangan dengan keinginan kelompok buruh yang menuntut aturan mengenai penetapan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang hanya sebesar 1,09 persen dibatalkan. Mereka bahkan mengancam akan mengerahkan massa buruh untuk berunjuk rasa pada pekan ini di tiga titik yakni kantor Kementerian Ketenagakerjaan, DPR dan Istana. 

Lalu, apa sebenarnya makna dari putusan MK tersebut? Benarkah putusan MK sama sekali tak mempengaruhi investasi yang masuk ke Indonesia?

Baca Juga: YLBHI Berharap MK Batalkan UU Ciptaker dan Balik ke Aturan Lama 

1. Mahkamah Konstitusi memerintahkan agar UU Cipta Kerja dibekukan sementara waktu

Ketua Majelis Hakim Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Aswanto (kiri) dan Saldi Isra (kanan) memimpin sidang putusan gugatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/11/2021). (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat, Feri Amsari, mengatakan investasi yang akan masuk ke Tanah Air jelas bakal terdampak dengan adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) pada 25 November 2021 lalu. Sebab, di poin ketujuh dari putusan hakim MK berbunyi "menunda seluruh kebijakan yang berkaitan dengan UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, bahkan tidak membuat peraturan pemerintah atau aturan teknis yang baru". Feri mempertanyakan bagaimana bisa memberlakukan UU tanpa boleh membuat PP. 

"Kan PP itu aturan teknis (dari pelaksanaan undang-undang). Sedangkan, UU kan aturan umum. Jadi, intinya adalah putusan di poin ke-7 melarang pemerintah melakukan tindakan," kata Feri ketika dihubungi pada Minggu, 28 November 2021. 

Ia juga menilai apa yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada pekan lalu sekadar alasan dan pembenaran agar undang-undang tersebut bisa dilaksanakan. Padahal, kan di dalam putusan MK sudah jelas, hakim meminta untuk menangguhkan sementara waktu pemberlakuan aturan tersebut. 

"Masak dua tahun diperbaiki, tetapi di saat yang bersamaan undang-undangnya tetap dilaksanakan? Itu kan berarti tujuannya bukan untuk memperbaiki," kata dia. 

Ia pun mewanti-wanti agar pemerintah dan DPR tidak lagi berusaha mencari celah untuk tetap melaksanakan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Cipta Kerja. Sebab, MK sudah menyatakan aturan tersebut sudah inkonstitusional secara bersyarat. 

"Jadi, undang-undang itu harus diperbaiki dulu dan dipenuhi semua syaratnya. Karena MK menganggap cacat secara formil, maka pemerintah dan DPR harus memperbaiki di lima tahapan pembentukan undang-undang," ujarnya. 

Feri menyarankan bila sudah ada kebijakan yang terbentuk gara-gara UU Cipta Kerja, maka tidak masalah. Namun, ia mewanti-wanti tidak boleh ada aturan baru. 

2. DPR menepis UU Cipta Kerja disahkan tanpa menjaring partisipasi publik

Ketua Badan Legislasi DPR-RI dan politisi Gerindra asal Soppeng, Supratman Andi Atgas, saat menyambangi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar untuk memberi kuliah umum, Kamis (19/11/2020) siang. (Dok. Direktorat Komunikasi Universitas Hasanuddin)

Sementara, Ketua Badan Legislatif DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Supratman Andi Agtas, menegaskan sebelum undang-undang kontroversial itu disahkan, baik pemerintah dan parlemen sudah membuka ruang yang luas untuk menjaring aspirasi dan partisipasi publik. 

"Di pembicaraan tingkat satu, kami sudah membuka akses seluas-luasnya kepada publik. Kami menerima aspirasi dalam rangka Rapat Dengar Pendapat Umum dan itu telah kami lakukan. Kami mengundang berbagai stakeholder dari kalangan kampus dan buruh," kata Supratman ketika dihubungi pada pekan lalu. 

Ia mengatakan parlemen sudah membuka diri dan menerima aspirasi. Supratman pun mendorong pemerintah untuk menjawab putusan MK di bagian mana undang-undang itu dibuat tanpa adanya partisipasi publik. 

Pernyataan politikus Partai Gerindra itu terbantahkan lantaran proses pembuatan hingga pengesahan undang-undang hanya membutuhkan waktu enam bulan. Ketika terjadi aksi unjuk rasa besar-besaran untuk memprotes isi UU Cipta Kerja, baik DPR dan pemerintah justru tak mendengarkan sama sekali.

3. Putusan hakim MK soal UU Cipta Kerja dinilai kalangan pengusaha multi tafsir

Ketua Umum PHRI, Hariyadi Sukamdani. IDN Times/Hana Adi Perdana.

Sementara, kebingungan juga melanda kalangan pengusaha dengan putusan MK soal UU Cipta Kerja. Kalangan pengusaha dan investor menilai putusan MK multitafsir dan menyebabkan kebingungan yang tidak perlu. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Hariyadi Sukamdani, mengaku sempat mendapat pertanyaan dari investor di luar negeri soal putusan tersebut. 

"Ada pendapat investor luar negeri yang menanyakan ke kami bagaimana nasib UU yang kalian buat bagaimana. Apakah akan diubah semuanya?" ujar Hariyadi ketika memberikan keterangan pers pada 26 November 2021. 

Menurut dia, multitafsir putusan tersebut sangat tidak produktif dan membawa persepsi negatif terhadap konsistensi negara dalam upaya membawa ekonomi lebih maju. Terutama, dalam menciptakan lapangan kerja.

Ia menilai persoalan itu sangat serius lantaran ada beberapa pendapat yang muncul terkait putusan MK tersebut. Misalnya, ada yang mempertanyakan isi UU Cipta Kerja lantaran sudah diputuskan cacat formil oleh MK.

Ada pula yang menganggap revisi hanya perlu dilakukan pada persyaratan waktu membentuk undang-undang, yaitu melalui revisi UU 12 Tahun 2011, sementara materinya tidak berubah.

Hariyadi mengaku juga khawatir adanya gerakan dari para buruh yang meminta beleid tersebut harus diubah. "Kami ingin sama-sama mengetahui sebetulnya seperti apa. Jangan sampai di dalam masyarakat ada multitafsir dan ada kegaduhan dan kontraproduktif pada upaya kita susah payah membangun Indonesia apalagi setelah mengalami pandemik," kata dia lagi. 

Baca Juga: Tolak UMP, 2 Juta Buruh Ancam Mogok Nasional 6-8 Desember

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya