TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Eni Lestari, Aktivis Pejuang Hak Buruh Migran

#AkuPerempuan Eni Lestari pernah berbicara di forum PBB untuk meminta perlindungan bagi buruh migran

www.facebook.com/Eni Lestari

Jakarta, IDN Times - Ketika menjejakan kaki di Hong Kong tahun 1999 lalu, aktivis buruh migran Eni Lestari Andayani memiliki mimpi besar. Ia ingin memperbaiki nasib keluarganya yang berada di Kediri, Jawa Timur. 

Terlahir sebagai puteri sulung, perempuan berusia 40 tahun itu, tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi di bangku kuliah karena keterbatasan biaya. Maka, ia kemudian mendaftar sebagai buruh migran melalui calo pada tahun 1999 usai lulus Sekolah Menengah Atas (SMA). 

Maka ia diberikan pelatihan di Surabaya sebelum akhirnya dikirim ke Hong Kong. Namun, menurut Eni, itu bukan sebuah pelatihan. 

"Sebenarnya, bukan training, tapi merupakan proses untuk mengontrol agar kita tunduk dan tidak melawan," ujar Eni seperti mengutip pernyataan media beberapa waktu yang lalu. 

Orang tua lebih mendukung Eni untuk bekerja di Hong Kong karena sistem hukum di sana lebih terjamin untuk buruh migran. 

"Selain itu, di tiga negara tadi (Timur Tengah, Singapura dan Malaysia), banyak kasus yang kerap menimpa TKI. Maka orang tua merasa lebih aman kalau saya berangkat ke Hong Kong," ujar Eni kepada IDN Times beberapa waktu yang lalu melalui telepon.  

Sayang, begitu tiba di Hong Kong, mimpinya sempat kandas. Paspornya diambil oleh agen penempatan TKI dan selama tiga bulan pertama, ia tidak pernah menerima gaji. 

Lalu, bagaimana Eni bertahan hidup di Hong Kong?

1. Sempat berganti majikan sebanyak lima kali 

Facebook/@Eni Lestari

Eni mengisahkan ia hanya betah bekerja selama tujuh bulan dengan majikan pertamanya. Sebab, hak-haknya sebagai pekerja migran tidak pernah dipenuhi. 

Ia mengaku selama empat bulan pertama bekerja, Eni tidak pernah diberikan hari libur. Ia juga dilarang berkomunikasi dengan dunia luar. 

"Saya dilarang pergi ke luar rumah, tidak boleh menggunakan telepon dan tidur pun harus satu ruangan dengan anak remaja mereka yang berusia 14 tahun," kata Eni. 

Akhirnya, usai bekerja selama tujuh bulan, Eni mengaku tidak tahan dan kabur dari rumah. Ia kabur dengan hanya baju yang melekat di badan dan uang seadanya di dalam dompet. Eni kemudian ditampung di sebuah shelter khusus bagi kaum buruh migran bernama Bethune House.

"Di situ, saya bertemu dengan buruh migran asal India, Nepal, Filipina dan warga Indonesia lainnya. Saya baru menyadari bahwa, permasalahan ini tidak hanya dialami oleh saya sendiri," kata Eni. 

Kini Eni bekerja dengan majikannya yang keenam. Dengan majikannya yang terakhir, Eni mengaku lebih nyaman lantaran dia sudah tahu mengenai hak-hak buruh migran. 

"Majikan saya saat ini bekerja sebagai seorang misionaris. Dia lebih banyak (bertugas) di luar Hong Kong dan tidak pernah melarang saya menjadi aktivis," katanya. 

Baca juga: Erwiana Sulistyaningsih, TKW yang Menang di Pengadilan Hong Kong

2. Berjuang ikut mengadvokasi buruh migran yang lain 

www.scmp.com

Selama lima bulan berada di tempat penampungan, Eni menggunakan waktunya untuk mempelajari hukum perburuhan dan cara mengorganisir para buruh migran. Pada tahun 2010 lalu, ia dan beberapa buruh migran mendirikan Asosiasi Buruh Migran Indonesia (ATKI). Ini nantinya menjadi cikal bakal banyak kelompok gerakan dan organisasi buruh migran Indonesia. 

Ia kemudian memanfaatkan penggunaan media sosial dan telepon untuk bisa menjangkau rekannya sesama buruh migran. Eni mencoba memberikan pencerahan kepada mereka tentang hak-hak buruh migran. 

Nama Eni mulai dikenal di dunia internasional ketika ditunjuk sebagai Ketua Aliansi Migran Internasional (IMA) di tahun 2008. Dari sini, ia memimpin tidak hanya buruh migran di Hong Kong dan asal Indonesia saja. Tetapi, jejaringnya sudah melebar hingga ke-19 negara lainnya, termasuk Afrika dan Amerika Latin. 

Salah satu kasus ia advokasi yakni tindak kekerasan yang menimpa TKI asal Ngawi, Jawa Timur yakni Erwiana Sulistyaningsih. Ia disiksa oleh majikannya yang bernama Law Wan Tung sejak Mei 2013 hingga Januari 2014. 

Usai melalui proses peradilan yang panjang, pengadilan menyatakan mantan majikan Erwiana bersalah. Dalam sidang vonis Februari 2015, hakim memutuskan Law harus dibui selama enam tahun. Selain itu, pada Desember 2017, pengadilan juga mengabulkan tuntutan Erwiana berupa pemberian uang ganti rugi. Pengadilan memerintahkan Law memberi uang ganti rugi sebesar Rp1,4 miliar karena mantan majikannya itu terbukti telah menyiksa dan memberikan perlakuan tidak manusiawi kepada Erwiana.

3. Berbicara lantang di depan forum PBB dan meminta perlindungan bagi buruh migran

www.un.org

Tahun 2016, Eni mendapatkan kesempatan emas dan langka untuk berbicara di forum sidang umum PBB di New York, Amerika Serikat. Ia menorehkan sejarah, karena menjadi orang Indonesia pertama yang berbicara di KTT mengenai Pengungsi dan Buruh Migran. Saat itu, Eni diberi kesempatan untuk berbicara selama tiga menit pada (19/3/2016). 

Eni berbagi panggung dengan dua aktivis lainnya yaitu aktivis asal Irak, Nadia Taha dan aktivis Suriah, Mohammed Badran. 

Ia berkisah bisa mendapatkan kesempatan emas itu karena ikut memasukkan aplikasi untuk mewakili IMA. Dari 400 pelamar, Komite seleksi yang dibentuk PBB menyeleksi para pelamar. 

"Dari 400 pelamar itu, hanya diambil 30 nama. Dari 30 nama itu, kemudian komite menciutkannya menjadi tinggal 9 orang," kata Eni. 

Di forum PBB itu, Eni menyampaikan pesan yang jelas: dengarkan suara buruh migran. Jangan sampai para pemangku kepentingan berbicara tanpa keberadaan buruh migran. 

Di hadapan para pemimpin dunia, termasuk Presiden Barack Obama ketika itu, Eni menggambarkan realita yang dialami sekitar 244 juta buruh migran di seluruh dunia. 

"Yang terjadi, sebagian besar dari kami malah terjebak dalam praktik perbudakan, perdagangan manusia dan rentan dianiaya. Banyak di antara kami yang akhirnya menghilang, bahkan mati," kata Eni yang ketika itu mengenakan kebaya berwarna merah. 

Oleh sebab itu, Eni berharap ada perlindungan dan pelayanan dari pemerintah dan para pemimpin dunia lainnya. Sementara, hingga saat ini, buruh migran hanya dianggap sebagai komoditas belaka agar bisa menambah pemasukan ke kas negara. 

"Tidak peduli betapa kami sudah bekerja keras, kami tidak pernah diakui sebagai manusia yang bermartabat atau setara," tutur Eni lagi. 

Baca juga: Hebat! Wanita Asal Indonesia Ini Akan Jadi Pembicara dalam Konferensi PBB Bulan Depan

 

 

 

 

 

 

 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya