TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Malaysia Sudah, DPR Dorong Pemerintah Riset Manfaat Ganja untuk Medis

50 negara di dunia bolehkan penggunaan ganja untuk medis

Anggota komisi IX dari fraksi Partai PDI Perjuangan, Charles Honoris (Dokumentasi Istimewa)

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Charles Honoris mendorong pemerintah mulai melakukan kajian tentang manfaat tanaman ganja untuk keperluan medis. Dengan adanya kajian yang obyektif, maka dapat menjadi legitimasi ilmiah dalam menentukan apakah program ganja medis perlu dilakukan di Indonesia.

"Terlepas apakah Indonesia akan melakukan program ganja medis atau tidak nantinya, riset adalah hal yang wajib dan sangat penting dilakukan untuk kemudian menjadi landasan bagi pengambilan kebijakan atau penyusunan regulasi selanjutnya," ungkap Charles melalui keterangan tertulis, Selasa (28/6/2022). 

Politikus dari PDI Perjuangan itu merespons kisah seorang ibu bernama Santi Warastuti. Ia diketahui tengah memperjuangkan anaknya, Pika Sasikirana yang menderita penyakit cerebral palsy. Santi meyakini, ganja medis bisa menjadi obat bagi anaknya.

Untuk itu, Charles memandang riset medis harus terus berkembang dan dinamis demi tujuan kemanusiaan. "Demi menyelamatkan kehidupan Pika, dan anak penderita radang otak lain, yang diyakini sang ibunda bisa diobati dengan ganja," kata dia. 

Ia melihat ada harapan penggunaan ganja dapat dimanfaatkan untuk pengobatan medis. Sebab, kini di 50 negara, telah tersedia program ganja medis. 

"Bahkan, di negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand," tutur dia lagi. 

Apakah program ganja medis memungkinkan di Indonesia? Sebab Badan Narkotika Nasional (BNN) tegas menyebut tak ada wacana untuk membahas legalisasi ganja.

Baca Juga: Wacana Legalisasi Ganja Medis, DPR Bakal Gelar Rapat Lintas Komisi

1. Komisi narkotika PBB sudah coret tanaman ganja dari daftar narkotika berbahaya

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Charles Honoris ketika memimpin rapat kerja di Gedung DPR pada Maret 2021. (Dokumentasi Humas DPR RI)

Lebih lanjut, menurut Charles, Komisi Narkotika PBB (CND) pada akhir 2020 lalu sudah mengeluarkan ganja dan resin ganja dari golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika tahun 1961. "Artinya, tanaman ganja sudah tidak masuk ke dalam daftar narkotika berbahaya," kata Charles.

Ia berharap segala riset untuk kemajuan dunia kesehatan dan kemanusiaan tidak boleh dihambat. Bahkan, riset dengan tujuan tersebut harus didukung. 

"Pada intinya, rakyat berhak mendapatkan kesembuhan dan kesehatan," tutur dia. 

2. Gugatan sudah bergulir selama dua tahun di MK tapi belum diputuskan

Santi Warastuti yang memperjuangkan hak anaknya penderita cerebral palsy agar bisa diobati dengan ganja medis. (www.twitter.com/@andienaisyah)

Sebelumnya, Santi bersama dua ibu lainnya telah melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal yang digugat yakni penjelasan pasal 6 ayat 1 huruf H dan pasal 8 ayat 1. Hal itu menyangkut larangan penggunaan narkotika golongan I untuk akses pengobatan. 

Santi disarankan oleh seorang teman yang merupakan warga asing untuk melakukan terapi cannabidiol yang terbuat dari ekstrak ganja (CBD oil). Terapi itu diyakini bisa menyembuhkan penyakit cerebral palsy yang dialami anaknya. Selain tiga ibu, gugatan yang sama juga dilayangkan oleh sejumlah lembaga, termasuk ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba dan EJA. 

Kuasa hukum pemohon Ma'ruf Bajammal pada 2020 lalu mendampingi tiga ibu itu memasukan gugatan ke MK. Salah satu alasan mengapa tiga ibu tersebut melayangkan gugatan ke MK karena pelarangan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan tidak sejalan dengan hak seperti yang dijamin di dalam konstitusi pasal 28H ayat 1 UUD 1945. 

Juru bicara MK, Fajar Laksono mengatakan sidang perkara itu cukup panjang karena menghadirkan banyak ahli melalui serangkaian persidangan. Itu sebabnya meski sudah bergulir selama dua tahun tetapi belum ada putusan. 

"Saat ini posisinya sedang dalam pembahasan internal oleh hakim konstitusi," ujar Fajar seperti dikutip dalam keterangan tertulis pada 27 Juni 2022 lalu. 

Fajar menerangkan, persidangan perkara ini sudah digelar sebanyak 11 kali. Perinciannya, dua kali sidang beragendakan mendengar keterangan DPR dan presiden, lalu tiga kali mendengarkan keterangan ahli pemohon.

Kemudian, dua kali mendengarkan keterangan saksi pemohon, dan satu kali mendengarkan keterangan ahli sekaligus saksi pemohon. Keterangan para ahli presiden dan DPR dalam sidang-sidang tersebut menyiratkan ketidaksetujuan atas upaya legalisasi ganja untuk kebutuhan medis. MK pun belum dapat memastikan kapan gugatan atas perkara ini diputuskan.

"Sejauh ini belum (ada kepastian) ya," katanya lagi. 

Baca Juga: Viral Ibu Butuh Ganja Medis Buat Anaknya, MK Buka Suara

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya