Masyarakat Sipil Desak Panglima TNI Batalkan Siaga Tempur Lawan KKB
Operasi tempur dikhawatirkan memelihara tindak kekerasan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari sejumlah LSM, mendesak Panglima TNI Laksamana Yudo Margono membatalkan rencana operasi siaga tempur di Papua. Mereka khawatir operasi siaga tempur justru bakal terus menciptakan peristiwa kekerasan di Bumi Cendrawasih. Seharusnya, kata koalisi, peristiwa penyerangan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) kepada prajurit TNI pada 15 April 2023 dijadikan pelajaran, bahwa pendekatan keamanan militer tidak cocok untuk diterapkan di Papua.
"Bila itu pilihan kebijakan yang akan ditempuh, maka koalisi mendesak agar rencana itu dibatalkan," ungkap Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari 21 LSM, dalam keterangan tertulis yang dikutip Kamis (20/4/2023).
Mereka memahami bahwa gugurnya prajurit dalam operasi penyelamatan pilot maskapai Susi Air tentu menyisakan duka bagi keluarga para prajurit tersebut. Maka, koalisi masyarakat sipil mengucapkan duka mendalam dan berharap tidak ada lagi anak bangsa yang gugur dalam operasi militer di Papua.
"Tetapi, kami memandang peristiwa baku tembak yang menewaskan prajurit kemarin seharusnya dijadikan pelajaran berharga oleh Presiden dan DPR," kata mereka.
Apalagi, peristiwa gugurnya prajurit bukan hanya terjadi pada 15 April 2023 lalu. Berdasarkan data Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, ada 22 prajurit TNI dan Polri yang gugur pada 2022 saja.
Pendekatan keamanan militer berdampak secara langsung dan tidak langsung terhadap tindak kekerasan serta pelanggaran HAM kepada warga di Papua. Lalu, apa masukan dari koalisi masyarakat sipil agar pilot Susi Air bisa dilepas dan tindak kekerasan di Papua berkurang?
Baca Juga: Kesaksian Nakes di Papua Lihat Rekan Disiksa dan Dibunuh KKB
1. Operasi militer untuk hadapi tindak separatisme di Papua dianggap langgar UU TNI
Lebih lanjut, Koalisi Masyarakat Sipil mencatat tindak kekerasan yang semakin meningkat di Papua kerap direspons dengan peningkatan jumlah pasukan TNI-Polri. Dalam catatan lembaga Imparsial, pasukan baik dari unsur organik maupun non-organik diperkirakan mencapai 16 ribu prajurit. Belasan ribu pasukan itu terdiri dari 13 ribu prajurit TNI organik dari tiga matra (TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Darat, dan TNI Angkatan Udara) dan sekitar 3.000 prajurit non-organik.
"Bila dilihat latar belakangnya, maka sebagian besar prajurit TNI yang dikirim ke Papua adalah satuan dengan kualifikasi tempur," kata mereka.
Mereka pun turut mempersoalkan legalitas dan akuntabilitas pelibatan TNI dalam penanganan tindak separatisme di Papua. Sebab, menurut UU TNI pada Pasal 7 ayat (3) tertulis Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang dilakukan oleh prajurit TNI termasuk penanganan separatisme harus didasarkan pada keputusan politik. Artinya, harus ada keputusan dari Presiden usai berkonsultasi dengan DPR.
"Sementara, berdasarkan penelusuran Imparsial, hingga saat ini pemerintah tidak pernah mengeluarkan kebijakan tertulis terkait dengan pengerahan pasukan TNI ke Papua. Dengan demikian, dari sisi hukum, pelibatan militer dalam aksi melawan separatisme dapat dikatakan ilegal," tutur mereka.
Selama belum ada keputusan politik, maka isu separatisme dihadapi oleh kepolisian.
Baca Juga: Panglima TNI Yudo Gunakan Operasi Siaga Tempur untuk Lawan KKB