TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Menko Mahfud Akui Sulit Tindak Buzzer di Medsos karena Minim Bukti

Perludem dorong agar ada tindakan yang tegas ke buzzer

Menko Polhukam Mahfud MD (IDN Times/Tunggul Kumoro)

Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, mengatakan sulit menindak akun-akun di media sosial yang diklaim sebagai buzzer dan menyebarkan hoaks atau fitnah. Akun-akun yang diklaim buzzer itu semakin berseliweran jelang agenda politik seperti pemilihan presiden.

Istilah buzzer mulai sering terdengar sejak Pilkada DKI Jakarta 2012. Buzzer bisa dimaknai seseorang yang menyuarakan suatu pendapat secara langsung, menggunakan identitas pribadi atau disamarkan, untuk menyampaikan suatu kepentingan di media sosial.

Buzzer bekerja di media sosial untuk mendukung suara, opini, atau isu lain untuk perorangan atau kelompok, untuk memengaruhi pengguna media sosial.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menyebut buzzer tidak hanya membela pemerintah. Namun ada juga kelompok yang berseberangan dengan pemerintah, lalu menggunakan buzzer untuk membuat narasi negatif tentang pemerintah. 

"Itu kan sulit diidentifikasi ya (siapa yang mengerahkan buzzer). Kadang kala setiap orang menjadi buzzer untuk siapa pun. Kadang kala A menjadi buzzer untuk menyerang B, besoknya sudah menyerang si C dan itu silang," ungkap Mahfud menjawab pertanyaan IDN Times di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, Rabu (19/7/2023). 

Sehingga, menurut Mahfud, sulit bila melarang keberadaan mereka. Sebab, diperkirakan buzzer bisa mencapai ribuan. "Setiap hari ada saja orang yang disebut buzzer," tutur dia. 

Mahfud menyebut pihak yang kerap dituding sebagai buzzer disebut-sebut menerima sejumlah bayaran dari pihak tertentu. Saat ditanya siapa yang membayar dan mengorganisir mereka, tak ada yang mampu membuktikan. 

"Itu terjadi kepada semua pihak. Taruhlah kalau Anda menyebut buzzer adalah seorang, kelompok, pembela pemerintah ya lawannya yang selalu menyerang pemerintah. Cara mereka juga sama dengan yang menyerang ini," ujarnya. 

Baca Juga: Prabowo soal Buzzer: Rakyat Tak Suka Pemimpin yang Saling Mengejek

1. Mahfud akui sudah lama pemerintah didesak agar menutup akun-akun medsos tertentu

Ilustrasi Provokator (IDN Times/Mardya Shakti)

Lebih lanjut, Mahfud mengakui, pemerintah sejak lama didesak agar akun-akun media sosial tertentu ditutup. Ia pun mengaku juga berhati-hati dalam menyikapi fenomena ini. Sebab, kata Mahfud, bila keliru maka pemerintah dituding hendak membungkam kebebasan berekspresi atau berpendapat di media sosial. 

"Tapi memang sudah lama seruan dari masyarakat, sebelum Pak Menkominfo Budi Arie (menyerukan pengawasan di media sosial) atau Pak Johnny Plate diganti sekalipun, agar akun-akun tertentu itu ditutup. Kalau orang buat berita yang tidak sopan lalu istilahnya ditake down," kata dia. 

Mahfud menambahkan bila pemerintah keliru mengambil kebijakan malah bisa dituntut dengan penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Alih-alih menutup akun, Mahfud mengajak publik untuk membangun kesadaran bersama, agar tidak mudah percaya terhadap berita yang berseliweran di media sosial. 

"Apalagi bila didistribusikan oleh akun-akun yang tidak jelas," tutur dia. 

2. Masyarakat sipil desak pemerintah agar buat ketentuan untuk menindak buzzer

Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Sementara, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni, menyampaikan salah satu evaluasinya terkait Pemilu 2019 adalah dibutuhkan adanya upaya hukum untuk menindak tegas buzzer di media sosial.

Titi mengatakan fenomena yang ada di lapangan, buzzer kerap mengklaim merupakan suara masyarakat di media sosial. Namun, setelah ditelusuri, buzzer tersebut terafiliasi kepada tokoh politik tertentu yang sedang ikut kontestasi. 

"Selain itu pendanaan para buzzer ini juga tidak transparan. Itu yang harus dikejar yakni transparansi terkait biaya yang digunakan untuk mendanai buzzer. Terus terang buzzer itu tidak gratis. Dalam banyak riset buzzer justru terafiliasi dalam gerakan politik tertentu," katanya. 

Salah satu cara yang bisa dilakukan di Pemilu 2024, kata Titi, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat peraturan terkait penggunaan buzzer dan transparansi pendanaannya.

"Dia kan bekerja untuk pemenangan politik, tetapi tidak bisa diakses akuntabilitas pendanaannya. Itu masalah besar menurut kami," tutur dia. 

Baca Juga: Mahfud di HPN 2022: Fenomena Buzzer Jangan Cuma Dituding ke Pemerintah

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya