TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pembebasan Pilot Susi Air Jadi Pertaruhan RI di Mata Dunia, Kenapa?

Jadi pertaruhan Indonesia di mata dunia

Captain Philips Mark Merthens yang kini disandera oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pimpinan Egianus Kogoya di Papua. (Dokumentasi Sebby Sambom)

Jakarta, IDN Times - Peneliti keamanan dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Dominique Nicky Fahrizal, mengatakan pilot maskapai Susi Air, Kaptena Philip Mark Mehrtens, harus secepatnya dibebaskan pasukan gabungan TNI dan Polri. Sebab, kata dia, semakin lama ia berada dalam cengkeraman Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), maka nyawanya semakin terancam.

Pilot asal Selandia Baru itu sudah berada di tangan KKB sejak 7 Februari 2023. Artinya, ia sudah disandera KKB pimpinan Egianus Kogoya hampir dua pekan. 

"Secara taktikal ya karena ini menyangkut nyawa, keselamatan jiwa, bebaskan dulu (korban) penyanderaan. Pemerintah harus menyelenggarakan operasi khusus untuk pembebasan sandera itu," ungkap Nicky ketika dihubungi IDN Times, Minggu (19/2/2023). 

Meski ia tak menampik bisa saja jatuh korban, baik di tim yang menyelamatkan maupun sandera sendiri. Tetapi, kata Nicky, itu semua bisa diminimalisasi bila operasi penyelamatan sandera disusun secara matang. 

"Potensi adanya korban dalam operasi pembebasan sandera, pasti ada. Bahkan, ketika (Kopassus) terlibat dalam pembebasan sandera Garuda Indonesia di Thailand yang dikenal dengan Operasi Wolya, itu pun ada korban," tutur dia. 

Nicky menilai dalam operasi pembebasan Mehrtens, sudah tak bisa lagi personel Polri yang berada di garda terdepan. Justru, personel TNI yang harus memimpin.

"Karena untuk pembebasan sandera yang berada di tengah-tengah hutan seperti itu, maka hal tersebut menjadi (kewenangan) satuan 81 Kopassus atau Denjaka Marinir. Operasi ini kan masuk ke dalam kontra teror," ujarnya.

Namun, Nicky mewanti-wanti bila akhirnya diputuskan pasukan khusus yang turun, maka dibutuhkan keputusan politik antara pemerintah dan DPR.

Lalu, apakah pemerintah dapat membebaskan Kapten Mehrtens tanpa disebut melanggar HAM?

Baca Juga: Pria Asing Diduga Pilot Susi Air Gabung KKB, TNI: Foto Itu Hoaks!

1. Bila operasi terus diulur maka kemampuan pemerintah bisa diragukan dunia internasional

Ilustrasi peta Papua (IDN Times/Sukma Shakti)

Lebih lanjut, Nicky mengatakan, adanya penyanderaan terhadap Kapten Mehrtens semakin menguatkan persepsi dunia internasional bahwa Papua tidak aman. Maka, Nicky mendorong agar operasi penyelamatan pilot Mehrtens tak lagi diulur-ulur. 

"Kalau ini mengulur-ulur waktu, negara lain, terutama Selandia Baru akan meragukan kemampuan Indonesia, mulai dari militer hingga penegakan hukum," kata dia. 

Nicky memberikan contoh operasi penyelamatan sandera di pesawat Garuda Indonesia di Thailand hingga Mapenduma yang menyita perhatian dunia.

"Yang disorot itu mengenai kemampuan angkatan bersenjata Indonesia membebaskan sandera. Karena salah satu prestasi pasukan anti-teror di dunia, termasuk Indonesia adalah kemampuan membebaskan sandera," ujarnya.

Lantaran belum ada perkembangan, pemerintah Selandia Baru pun mengambil sikap. Melalui Kedubes di Jakarta, Wakil Duta Besar Brendan Stanbury terbang ke Kabupaten Mimika dan menemui Panglima Kodam XVII/Cendrawasih, Mayor Jenderal Muhammad Saleh Mustafa. Kedubes Selandia Baru meminta penjelasan terkait langkah yang disiapkan TNI-Polri untuk menyelamatkan Mehrtens. 

Saleh pun menjelaskan tindakan pelanggaran hukum yang akan lebih dulu diterapkan. Sebab, Indonesia sedang tidak memberlakukan status darurat militer. Ia juga menyebut mengedepankan dialog dengan kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). 

"Wakil Duta Besar Selandia Baru mendukung apa yang diupayakan oleh TNI-Polri. Upaya penyelamatan nyawa pilot Philip Mehrtens menjadi prioritas utama," kata dia.

2. Kelompok separatis Aceh dengan Papua berbeda

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Organisasi Papua Merdeka (OPM). (dok. TPNPB-OPM)

Lebih lanjut, Nicky menyebut, kelompok separatis di Aceh dengan Papua berbeda. Kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang terjadi pada 1970 hingga 2006 satu komando. 

"Komandonya itu datangnya dari luar Indonesia, Helsinki, Finlandia. Sehingga, ketika dilakukan proses perundingan damai, maka yang diajak adalah yang memegang otoritas tertinggi," ungkap Nicky. 

Ketika terjadi perundingan dengan tokoh GAM di Finlandia, maka keputusannya diikuti hingga di tingkat bawah di Aceh. Sementara, kelompok separatis di Papua berbeda. 

"Karena ada banyak faksi yang berbeda dan memiliki kepentingan yang berbeda pula. Ada yang datang dari daerah yang berbeda, beda suku, bahasa, hingga kepala sukunya pun berbeda. Sehingga, pemerintah kesulitan identifikasi komandonya ada di siapa," tutur Nicky. 

Ia memberikan contoh seandainya tercapai kesepakatan dengan kelompok United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) pimpinan Benny Wenda, maka belum tentu diikuti pasukan di bawah Egianus Kogoya.

Baca Juga: Panglima TNI Sempat Larang Susi Air Terbang di Paro Nduga Papua

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya