TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pemerintah Akui Keliru Pakai Istilah "New Normal" Dalam Atasi Pandemik

"Masyarakat pikir sudah normal, padahal masih pandemik"

Juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona atau COVID-19 Achmad Yurianto (Dok. BNPB)

Jakarta, IDN Times - Usai prediksi berakhirnya wabah COVID-19 di Indonesia meleset dan korban meninggal terus berjatuhan, pemerintah akhirnya menyadari mereka keliru menggunakan istilah "new normal." Sebab, diksi tersebut sering disalahartikan oleh masyarakat.

Publik kerap beranggapan situasi saat ini kembali normal dan pandemik COVID-19 telah hilang. Padahal, angka penyebaran COVID-19 di Indonesia terus naik dan belum mencapai puncaknya. Data dari Kementerian Kesehatan per 11 Juli 2020 menunjukkan kasus COVID-19 di Tanah Air telah mencapai 74.018, di mana sebanyak 3.535 orang dilaporkan meninggal dunia. 

Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum masa pelonggaran PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan para ASN yang sudah kembali masuk bekerja sejak 8 Juni 2020 lalu. 

"Karena kan selalu dikatakan 'new' nya dihilangkan, sehingga tinggal normalnya aja. Masyarakat tahunya oh sudah normal," kata juru bicara pemerintah khusus untuk penanganan COVID-19, dr. Achmad Yurianto kepada IDN Times melalui telepon pada Jumat, 10 Juli 2020. 

Padahal, kali pertama yang mempopulerkan istilah "new normal" adalah Presiden Joko "Jokowi" Widodo. New normal digunakan oleh sejumlah negara sebagai exit strategy dalam menghadapi pandemik COVID-19. Namun, Jokowi juga menggunakan diksi "berdamai dengan corona" sebagai bagian dari kehidupan normal baru. Hal itu terlihat dari cuitannya pada 7 Mei 2020 lalu. 

Agar pemahaman di benak publik tidak keliru lagi, maka pemerintah mengganti istilah new normal menjadi Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB). Akan kah lebih efektif dalam mengajak masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan dan memutus pandemik?

Baca Juga: Jubir Pemerintah: Pakai Masker Lebih Penting dari Face Shield

1. AKB bermakna kebiasaan baru dalam berinteraksi antar manusia gantikan kebiasaan lama

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan yang juga Juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19 Achmad Yurianto berpose di Graha BNPB, Jakarta, Kamis (18/6/2020) (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Kepada IDN Times, pria yang akrab disapa Yuri itu mengatakan AKB bermakna selama pandemik COVID-19 masih ada, berarti ada kebiasaan lama yang harus diganti. Di antaranya bila bertemu kolega atau teman, kontak fisik dibatasi dulu. 

"Kebiasaan lama, masker dipakai ketika tengah sakit. Sekarang, kebiasaan baru walau gak sakit juga pakai masker. Kebiasaan baru sekarang kalau bicara gak kenceng-kenceng dan jaga jarak," tutur Yuri. 

Pria yang juga menjadi Dirjen Pencegahan Penyakit Menular (P2P) Kemenkes itu mengatakan kebiasaan baru perlu diterapkan secara konsisten agar tidak tertular COVID-19. 

2. Angka harian COVID-19 di Indonesia terus naik karena publik tak mematuhi protokol kesehatan

Puluhan tenaga kesehatan di Tulungagung terpapar virus corona, IDN Times/ Bramanta Pamungkas

Yuri juga membantah angka harian COVID-19 di Indonesia bisa terus naik dan konsisten mencapai 1.000 an kasus per hari lantaran pelonggaran PSBB. Menurutnya, hal tersebut karena publik yang tidak mematuhi protokol kesehatan seperti mengenakan masker. 

"Ini kan penyakit menular dan menularnya lewat droplet, kontak dekat, kontak yang tidak terlindungi karena tak pakai masker. Jadi, kalau angka hariannya naik karena itu penyebabnya," kata dia lagi. 

Sehingga, menurut Yuri masyarakat tetap bisa beraktivitas seperti biasa dan terhindar dari COVID-19, asal mematuhi protokol kesehatan secara disiplin. 

Baca Juga: New Normal, Kampanye Terorganisasi Pemerintah?

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya