Persi: Warga Trauma Insiden Delta, Maka Pilih ke RS Jika Kena COVID-19
Kasus aktif COVID-19 di Indonesia tembus 52.555
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), dr Koesmedi Priharto, menjelaskan alasan warga memilih dirawat di rumah sakit meski gejala COVID-19 yang dialami tergolong ringan. Warga diduga mengalami trauma ketika melewati gelombang kedua COVID-19 yang didominasi varian Delta. Itu sebabnya, tingkat keterisian tempat tidur atau bed occupany rate (BOR) di DKI Jakarta melonjak hingga 45 persen.
"Kita tahu warga masih trauma atas insiden bulan Juni dan Juli 2022 lalu. Trauma itu sangat berat dan masih sulit dilupakan. Ketika itu kan banyak warga yang melakukan isolasi mandiri, tapi gagal," ungkap Koesmedi ketika berbicara dalam diskusi virtual MNC Trijaya yang dikutip dari YouTube, Minggu (30/1/2022).
Gagalnya warga melakukan isoman, kata dia, disebabkan banyak faktor. Mulai dari tempat di rumah yang tidak memadai untuk dilakukan isoman hingga ada banyak anggota keluarga di rumah. Di antara mereka ada yang mengidap komorbid hingga berusia lansia.
Alhasil, mayoritas warga saat ini memilih membawa anggota keluarga yang positif COVID-19 ke rumah sakit. Namun, Koesmedi mengingatkan masyarakat biaya rumah sakit bagi pasien COVID-19 yang saat ini ditanggung pemerintah adalah mereka yang mengalami gejala sedang, berat hingga ke kritis.
"Bila mengalami gejala ringan atau tidak menunjukkan gejala sama sekali, maka disarankan untuk isoman di rumah. Tapi, kalo mereka tetap ingin dirawat, maka wajib menyertakan informed consent secara tertulis. Di sana tertulis, bahwa biaya ditanggung oleh masing-masing individu," katanya.
Koesmedi telah mengimbau seluruh pimpinan rumah sakit yang menjadi anggota Persi agar menyampaikan informasi tersebut kepada warga. Ia tak mau terjadi persepsi yang berbeda di masyarakat sehingga tercipta pola pikir bahwa pemerintah tak bersedia memfasilitasi.
Lalu, apa saja gejala COVID-19 yang khas pada varian Omicron yang patut diwaspadai?
Baca Juga: BOR Rumah Sakit di Jakarta Sudah 45 Persen, Didominasi Tanpa Gejala
1. Mayoritas warga euforia dan abai terhadap prokes usai terima vaksin COVID-19
Berdasarkan data Satgas Penanganan COVID-19, per Sabtu (29/1/2022), jumlah kasus harian COVID-19 di Indonesia bertambah 11.588. Angka ini tertinggi sejak September 2021.
Sedangkan, kasus aktif COVID-19 yang menjadi indikator jumlah pasien yang melakukan isoman atau dirawat di rumah sakit sudah tembus 52.555. Jumlah pasien yang meninggal akibat COVID-19 bertambah 17 pasien.
Melonjaknya kasus COVID-19 ini diprediksi karena varian Omicron sudah menyebar luas. Hal ini sesuai dengan perkiraan dari Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan. Ia memprediksi puncak Omicron berlangsung pada Februari hingga Maret 2022.
Meski pemerintah berulang kali menyebut gejala yang ditimbulkan varian Omicron ringan, tetapi sudah ada tiga pasien meninggal usai terinfeksi varian baru tersebut. Satu di antaranya bahkan telah menerima vaksin booster.
Koesmedi pun mengakui salah satu penyebab kenaikan kasus COVID-19 setelah masa libur tahun baru karena warga mulai abai protokol kesehatan. "Ketika terjadi pelandaian kasus, mereka sempat euforia. Lalu, mereka mengatakan kan sudah divaksinasi, sehingga lebih kuat menghadapi varian Omicron," ujarnya.
Ia menyebut warga sebagian juga terlihat enggan ketika diminta menjalani tes COVID-19. Sebab, apabila hasil positif terekam di aplikasi PeduliLindungi, maka aktivitasnya terbatas.
Editor’s picks
"Maka, para nakes harus mencari terobosan lain untuk membujuk masyarakat, agar mau diperiksa lebih teliti," tutur dia.
Baca Juga: Tim Pembalap MotoGP Tetap Jalani Karantina 24 Jam Usai Tiba di Lombok