PKS: Mandatory Spending Dipangkas, Masyarakat Sulit Akses Faskes
Kini pemerintah pusat tak lagi wajib alokasikan 5 persen
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kembali menegaskan penolakannya dalam pengesahan Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan) menjadi undang-undang. Penolakan itu disampaikan dalam rapat paripurna yang digelar DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (11/7/2023).
Pandangan dan sikap fraksi PKS disampaikan anggota Komisi IX DPR, Netty Prasetiyani Aher, pada rapat paripurna. Salah satu poin yang disoroti PKS dalam RUU Kesehatan yang disahkan hari ini, yaitu sikap kukuh pemerintah dan parlemen yang menghapus ketentuan soal besaran minimal alokasi belanja (mandatory spending) untuk urusan kesehatan dalam anggaran negara dan daerah.
Dalam UU Kesehatan yang lama, yaitu UU Nomor 36 Tahun 1999, pemerintah wajib menganggarkan minimal 5 persen untuk anggaran kesehatan. Angka itu di luar dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji.
Sedangkan, besaran anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota, dialokasikan minimal 10 persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji. Bila anggaran minimal itu dihapuskan, maka berdampak pada rakyat kecil yang kesulitan mengakses fasilitas kesehatan yang baik.
Netty menegaskan dihapuskannya pengaturan alokasi wajib anggaran kesehatan dalam RUU Kesehatan, merupakan sebuah kemunduran dalam upaya menjaga kesehatan masyarakat Indonesia.
"Kebutuhan dana kesehatan Indonesia bagi negara berkembang justru semakin meningkat dari waktu ke waktu, karena makin kompleksnya masalah kesehatan di masa mendatang," ungkap Netty, seperti dikutip dari YouTube DPR hari ini.
Selain itu, selama masih berstatus negara berkembang, masyarakat masih sulit mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas. Itu pun ketika pemerintah belum menghapus kewajiban alokasi anggaran kesehatan.
"Padahal, penyelenggaraan kesehatan yang merata, adil, dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat, adalah amanat di dalam konstitusi UUD 1945," tutur dia.
Dengan dihapuskannya mandatory spending, kata Netty, maka akses terhadap fasilitas kesehatan yang berkualitas akan semakin mahal. "Bila pasal yang mengatur mandatory spending tidak dihapus, maka jaminan anggaran kesehatan dapat teralokasi secara adil dalam rangka menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat," katanya.
Baca Juga: RUU Kesehatan Bakal Disahkan Hari Ini, Fraksi Demokrat-PKS Menolak
1. RUU Kesehatan berisi penggabungan 13 UU, tapi dibahas dalam waktu kilat
Lebih lanjut, Netty turut menyentil cara kerja pemerintah dan koleganya di parlemen dalam menyusun Omnibus Law Kesehatan. Sebab, RUU Kesehatan berisi peleburan 13 undang-undang menjadi satu kesatuan, tetapi pembahasannya singkat.
"Sungguh sangat ironis, apabila ditarik secara logis membahas 13 undang-undang terdampak hanya dalam kurun waktu kurang dari dua bulan (pembahasan tingkat I). Pembahasan yang terkesan tergesa-gesa ini mengangkibatkan tidak tercapainya meaningful participation," kata dia.
Netty mencontohkan, ketika rapat dengar pendapat (RDP) dengan sejumlah organisasi profesi, masing-masing organisasi hanya diberikan waktu 10 menit menyampaikan aspirasinya.
"Sehingga, pelibatan masyarakat dalam pembahasan RUU itu melalui organisasi profesi membuat penjelasan yang diperoleh dan masukannya tidak optimal," tutur dia.
Netty juga menyampaikan keluhan masyarakat yang sulit mengakses naskah draf RUU Kesehatan. Bahkan, hingga RUU ini disahkan, naskahnya juga belum tersedia.
Editor’s picks
"Sehingga penyusunan RUU tidak memenuhi prasyarat, yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered) dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained)," ujarnya.
Baca Juga: Fraksi Demokrat: RUU Kesehatan Terindikasi Muluskan Bisnis Asing