Terancam Denda, Kemhan Gugat Vendor Satelit Komunikasi ke PN Jakpus
RI dikenakan denda Rp304 miliar di Arbitrase Singapura
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Kementerian Pertahanan melayangkan gugatan putusan arbitrase internasional, terkait pengadaan satelit komunikasi pertahanan orbit bujur timur ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan dilayangkan Kemhan terhadap dua vendor yakni Navayo International AG dan Hungarian Export Credit Insurance PTE Ltd.
Dikutip dari petitum gugatan yang terdaftar dengan nomor 64/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, Kemhan meminta majelis hakim mengabulkan dua gugatan pokok. Pertama, menyatakan penetapan putusan arbitrase internasional, putusan sela final dan putusan final pada 2014 tidak dapat dieksekusi, batal demi hukum. Kedua, menyatakan putusan Arbitrase Internasional-International Chambers of Commerce (ICC) tanggal 22 April 2021 Nomor 20472/HTG, tidak dapat diakui dan tak dapat dilaksanakan.
Putusan arbitrase di Singapura pada Mei 2021 itu menyatakan Kemhan telah wanprestasi terhadap dua vendor. Alhasil, pemerintah diharuskan membayar denda 20,9 juta dolar AS atau Rp304 miliar ke Navayo.
Berdasarkan keterangan sumber yang dikutip dari Majalah Tempo, Indonesia berpeluang terhindar membayar denda ini bila dalam pengadaan satelit itu ditemukan unsur tindak pidana korupsi. Sementara, Kementerian Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan sudah menyatakan ada dugaan korupsi dalam proyek yang bermula pada 2015 itu. Penyidikannya pun kini ditangani Kejaksaan Agung (Kejakgung).
Lalu, apa perkembangan penyidikan di Kejakgung? Apakah sudah ditetapkan tersangka?
Baca Juga: Sengkarut Proyek Satelit Kemenhan yang Rugikan Negara Ratusan Miliar
1. Kejaksaan Agung temukan unsur perbuatan melawan hukum
Sementara, penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejakgung, Febrie Adriansyah, menemukan beberapa perbuatan melawan hukum dalam dugaan korupsi proyek pengadaan satelit komunikasi Kemhan. Salah satu unsur perbuatan itu, yakni proyek tersebut tidak direncanakan dengan baik.
Selain tidak direncanakan dengan baik, Febrie menyebut, saat kontrak dilakukan anggaran untuk menyewa satelit tersebut belum tersedia dalam Daftar Isian Pelaksana Anggaran (DIPA) Kemenhan 2015.
“Kemudian, dalam prosesnya pun ini juga ada penyewaan satelit dari Avanti Communication Limited (Avanti),” ujar Febrie, ketika memberikan keterangan pers pada 14 Januari 2022.
Kejakgung juga menemukan, seharusnya penyewaan satelit itu tak perlu dilakukan. Sebab, di dalam ketentuan yang berlaku, saat satelit lama tidak berfungsi, maka pemerintah negara tersebut diberikan waktu tiga tahun untuk mengisi Slot Orbit 123 Bujur Timur (BT).
Hal itu merujuk ke peraturan International Telecommunication Union (ITU). Di dalamnya tertulis, negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit. Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan Slot Orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan negara lain.
“Jadi masih ada tenggang waktu. Tapi, penyewaan (satelit) tetap dilakukan. Sehingga di sini kita lihat ada perbuatan melawan hukum,” ujar Febrie.
Tim penyidik, kata Febrie, sempat menemukan satelit yang disewa ternyata tidak berfungsi dengan baik dan spesifikasinya tidak sama seperti satelit lama yang sudah rusak.
Baca Juga: Andika Ungkap Dugaan Prajurit TNI Terlibat Proyek Satelit Kemenhan