TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Tim Reformasi Hukum Mahfud Minta Jokowi Tolak Revisi UU MK, Kenapa?

Bila dikabulkan hakim konstitusi makin tidak independen

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD ketika mengumumkan tim percepatan reformasi hukum pada Jumat, 9 Juni 2023. (IDN Times/Santi Dewi)

Jakarta, IDN Times - Tim percepatan reformasi hukum yang dibentuk Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, mengirimkan surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko "Jokowi" Widodo, agar menolak revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).

Anggota tim, Bivitri Susanti, mengatakan bila undang-undang itu diteken, maka akan semakin membuat hakim konstitusi tidak lagi memiliki independensi. Apalagi sebelumnya sudah ada cawe-cawe terhadap hakim konstitusi terkait penetapan syarat capres dan cawapres. 

"Kami, individu-invidu dari kalangan masyarakat sipil yang berhimpun sebagian di dalam anggota tim percepatan reformasi hukum Kemenko Polhukam, bermaksud meminta kepada Presiden RI untuk menolak menyetujui pembahasan revisi UU MK," demikian isi surat terbuka yang dikutip, Rabu (6/12/2023). 

Revisi undang-undang tersebut saat ini tengah digodok bersama DPR RI dengan pemerintah. Bivitri menyebut permintaan agar Jokowi menolak  isi revisi UU MK yang tengah dibahas di parlemen itu, sesuai rekomendasi yang pernah disampaikan pada 14 September 2023 di Istana Bogor.

Saat itu, total ada 150 rekomendasi jangka pendek dan menengah yang disampaikan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

"Revisi ini akan semakin memperlemah independensi hakim konstitusi yang telah jadi sorotan, termasuk akibat kontroversi penghentian hakim konstitusi oleh parlemen pada 2022 lalu," kata pakar hukum tata negara itu. 

Salah satu poin di dalam revisi UU MK yang ditentang anggota tim percepatan reformasi hukum, yakni mengenai pengaturan batas usia yang bersifat retroaktif.

Dalam Pasal 87 huruf a dan b UU MK versi revisi tertulis, hakim konstitusi yang telah menjabat 5-10 tahun melanjutkan jabatannya sampai dengan 10 tahun, bila disetujui lembaga pengusul.

Sementara, hakim konstitusi yang sudah menjabat lebih dari 10 tahun berakhir mengikuti usia pensiun 70 tahun selama masa jabatannya tidak melebihi 15 tahun. 

Contoh nyata lainnya di mana hakim konstitusi sudah tak lagi independen menimpa Aswanto. Ia dicopot parlemen  lantaran dianggap sering membatalkan undang-undang yang sudah dibahas parlemen. Aswanto merupakan hakim konstitusi yang diajukan DPR pada 2019. 

1. Usulan pengaturan batas usia dalam revisi UU MK menyalahi ketentuan

Bivitri Susanti, Pakar Hukum Tata Negara dan pengajar, di program Real Talk with Uni Lubis pada Selasa (04/04/2023) di Studio IDN Media HQ (youtube.com/IDN Times)

Lebih lanjut, Bivitri mengatakan, usulan soal pengaturan batas usia yang bersifat retroaktif itu bertentangan dengan butir 20-21 Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region dan the Bangalore Principles of Judicial Conduct.

Poin pertama dari Bangalore Principles, kata Bivitri, menyangkut nilai independensi. "Di sana dikatakan bahwa independensi peradilan adalah syarat utama prinsip negara hukum atau rule of law. Hal itu harus dipahami dalam konteks individual maupun institusional," ujarnya. 

Bivitri mengaku sudah mendengar Kemenko Polhukam dan Kementerian Hukum dan HAM telah menyampaikan penolakan untuk membahas revisi UU MK ke tingkat II pada 5 Desember 2023. Bivitri dan rekan-rekan di dalam tim reformasi hukum pun mengapresiasi sikap Menko Mahfud MD dan Menteri Yasonna Laoly. 

"Kami berkeyakinan upaya untuk menguatkan independensi kekuasaan kehakiman harus terus dilakukan," kata dia. 

Tim reformasi hukum Mahfud juga mengingatkan kepada DPR dan presiden, bahwa mereka seharusnya tidak melakukan perubahan yang strategis atau berdampak signifikan terhadap ketatanegaraan pada masa-masa transisi ke pemerintahan baru. 

Baca Juga: Mahfud Kaget DPR Revisi UU MK Padahal Tak Masuk Prolegnas

2. Revisi UU MK bisa berdampak kepada tiga hakim konstitusi yang sedang menjabat

Hakim konstitusi Saldi Isra terpilih sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2023-2028. (youtube.com/Mahkamah Konstitusi)

Bila ketentuan peralihan yang tertulis di dalam revisi UU MK itu diberlakukan, maka akan berdampak langsung pada ketiga hakim konstitusi. Mereka adalah Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, dan Suhartoyo. 

Artinya, kelanjutan nasib mereka bertiga harus melalui penilaian dari lembaga pengusul hakim MK yang terdiri dari Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan DPR. Sementara, nasib Anwar Usman dan Arief Hidayat tidak terdampak dengan adanya ketentuan peralihan. Sebab, mereka sudah bekerja lebih dari 10 tahun. 

Di sisi lain, Saldi Isra termasuk salah satu hakim konstitusi yang menyatakan penolakan keras terhadap keputusan nomor PKPU 090 terkait perubahan syarat menjadi capres dan cawapres. Ia termasuk salah satu pihak yang membenarkan ada upaya cawe-cawe dalam pengambilan keputusan tersebut. 

Mahfud dan Yasonna menolak untuk melanjutkan pembahasan revisi UU MK di tingkat II, lantaran belum sepakat soal ketentuan peralihan menyangkut batas usia itu. 

"Bagi kami, (aturan peralihan) itu berlaku ke SK pengangkatannya yang pertama. SK pengangkatan yang berlaku sesuai undang-undang. Artinya, dihabiskan dulu masa jabatan yang dua itu (Ketua MK dan Wakil Ketua MK)," ujar Mahfud ketika memberikan keterangan pers virtual di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin, 4 November 2023. 

"Nah, kami usul bertahan di situ karena itu lebih adil berdasarkan hukum transisional," tutur dia. 

Berdasarkan hukum transisional, seharusnya aturan peralihan diberlakukan terhadap jabatan harus bersifat menguntungkan. Atau tidak merugikan subjek yang bersangkutan.

"Bila pemerintah mengikuti yang diusulkan oleh DPR, maka itu akan merugikan subyek yang sekarang sedang jadi hakim. Sehingga, kita pada waktu itu tidak menyetujui," katanya. 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya