Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Jakarta, IDN Times - Aksi persekusi yang menimpa Biksu Mulyanto Halim di Desa Babat, Tangerang membuat publik geram. Betapa tidak, Mulyanto diminta untuk meninggalkan rumahnya, hanya karena dia diduga menjadikan kediamannya sebagai tempat beribadah. Belum lagi, ia dituding akan menyebar ajaran agama Buddha di Desa Babat.
Namun, Bupati Tangerang, Ahmad Zaky menegaskan kepada publik insiden penggrebekan yang menimpa Biksu Mulyanto tidak menggambarkan area Babat secara keseluruhan. Justru di kota Tangerang masih banyak terdapat vihara dan klenteng. Artinya, kota itu masih menunjunjung tinggi toleransi.
"Memang, yang di area Babat ini masih perlu kami dorong agar bisa seperti wilayah lain yang sudah rukun. Bisa hidup berdampingan dengan beragam agama," ujar Zaky kepada IDN Times melalui pesan pendek pada Sabtu malam (10/02).
Lalu, apa yang sesungguhnya terjadi pada Minggu (5/02) lalu dan mengapa peristiwa itu menuai banyak kecaman?
1. Bermula dikira mengadakan kegiatan agama Buddha di dalam rumah
Peristiwa yang menimpa Mulyanto terjadi pada (4/02/2018). Tiba-tiba sekelompok orang menggrebek kediamannya di Kecamatan Legok, karena diduga sering diadakan kegiatan ibadah agama Buddha di sana. Yang lebih ekstrim lagi, sekelompok orang itu menuding ada upaya dari Mulyanto untuk mengajak warga sekitar pindah agama.
Dari video yang beredar viral, Mulyanto kemudian diminta untuk membuat surat pernyataan dan diminta meninggalkan rumahnya pada periode 5-10 Februari 2018.
"Menyatakan untuk meninggalkan Kampung Babat Desa Babat dalam kurun 1 minggu pada periode 4 Februari - 10 Februari 2018. Saya pun berjanji untuk tidak melakukan ritual atau ibadah yang bersifat melibatkan warga umat Buddha yang dapat menimbulkan keresahan warga Desa Babat," ujar Mulyanto.
Di bagian akhir video itu, ia juga mengaku siap diproses secara hukum kalau terbukti melanggar surat pernyataan tersebut.
2. Dilakukan musyawarah
Isu itu akhirnya berbuntut panjang karena pada Rabu (7/02) digelar sidang musyawarah yang melibatkan beberapa pihak mulai dari Camat, Ketua MUI, perwakilan pemimpin umat Buddha, hingga ke polisi. Dalam pertemuan itu, terungkap bahwa salah satu keberatan sekelompok orang yang mengklaim mewakili warga Babat yaitu adanya seorang Biksu di area mereka.
Mereka tidak ingin rumah yang digunakan sebagai tempat tinggal kemudian dimanfaatkan sebagai tempat untuk beribadah.
"Permasalahan terjadi pada Minggu (5/02) di kediaman Biksu Mulyanto Nurhalim yang diadakan bakti sosial dari umat Buddha dan diduga setiap hari Minggu diadakan kegiatan agama Buddha. Kami tidak bisa membenarkan kalau ada kegiatan ibadah keagamaan yang dilakukan. Saya melarang karena izin Biksu Mulyanto di rumah tersebut adalah izin tempat tinggal dan bukan kegiatan ibadah," ujar Kapolsek Legok, AKP Murodih.
Ia pun meminta kalau ada kegiatan yang sifatnya hiburan atau kegiatan agama, supaya secepatnya mengabarkan kepada pihak mereka.
3. Mengklaim desa yang toleran
Walaupun bagi sebagian orang, alasan penolakan terhadap Biksu Mulyanto tidak masuk akal, namun para petinggi di desa tersebut mengklaim bahwa mereka tidak anti terhadap warga dari agama lain. Bahkan, mereka menyebut sejak dulu selalu bersikap toleran terhadap pemeluk agama lain baik itu Nasrani, Buddha atau Khonghucu.
"Bahkan, ada dua RT di desa kami yang Ketua RT nya berasal dari keturunan Tionghoa," ujar Kepala Desa Babat, Sukron Ma'mum.
4. Pemuka Agama Buddha membantah ada kegiatan ibadah
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Editor’s picks
Romo Kartika yang mewakili pemuka agama Buddha membantah akan dilakukan kegiatan ibadah di Desa Babat. Ia juga membantah akan dibangun Vihara di area tersebut.
"Kami jamin di tempat tersebut tidak ada kegiatan ibadah," kata Romo Kartika dalam pertemuan itu.
Ia menjelaskan setiap Minggu Biksu Mulyanto mendapat kunjungan dari warga dari luar Desa Babat karena ingin memberikan bekal makan. Biksu Mulyanto pun membalasnya dengan mendoakan orang-orang yang telah memberikan bekal makanan itu.
Romo Kartika mengakui ada kekeliruan sehingga terdapat mispersepsi terhadap kegiatan Biksu Mulyanto.
"Ini menjadi pengalaman bagi kami bahwa silaturahmi dengan lingkungan itu perlu. Apalagi kami sebagai tamu, perlu melakukan silaturahmi dengan masyarakat, tokoh agama, perangkat desa maupun Muspida," kata dia lagi.