WALHI NTT: Banjir dan Longsor karena Kerusakan Lingkungan
Saat ini, 128 warga NTT meninggal dunia dan 72 orang hilang
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nusa Tenggara Timur (NTT) mengatakan, banjir bandang dan longsor yang menimpa NTT sejak Minggu, 4 April 2021, disebabkan oleh tiga faktor.
Pertama, curah hujan. Kedua, Pemprov NTT tidak memiliki mitigasi bencana yang serius, dan ketiga, karena faktor lingkungan.
"Padahal, peringatan (ada siklon tropis Seroja) dari BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) itu kan sudah lama. Sudah diketahui bahwa NTT akan terdampak curah hujan yang tinggi karena ada efek La Nina," ujar Direktur Eksekutif WALHI NTT, Umbu Wullang T. Paranggi ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, Senin 5 April 2021 lalu.
Seharusnya dengan ada peringatan itu, kata Umbu, menjadi warning bagi pemerintah mengenai nasib masyarakat di pesisir, hulu, pinggir sungai dan lereng-lereng gunung.
"Apakah perlu diedukasi atau harus ambil tindakan ekstrem misalnya evakuasi," lanjut Umbu.
Terkait penyebab karena faktor lingkungan, Umbu menyebutkan, lingkungan di NTT sudah rusak dan tak sanggup untuk menampung tingginya curah hujan yang terjadi selama nyaris tiga hari berturut-turut.
"Kemarin itu kami sempat hujan selama 50 jam terus menerus dan tidak berhenti," kata dia.
Kerusakan lingkungan itu sudah terlihat sejak lama. Umbu menyebut banyak terjadi alih fungsi lahan hutan di Sumba Timur yang dibabat habis lalu digunakan untuk perkebunan tebu. "Di sana ada dua hutan yang dibabat habis," tutur dia.
Sementara, di Timor terdapat illegal logging. Sedangkan, di Kabupaten Adonara, banyak hutan yang berada di hulu sungai justru sudah gundul. Ada pula penambangan pasir yang dilakukan secara ilegal.
"Tetapi, menurut kami yang menyebabkan bencana kali ini sangat parah karena dua faktor terakhir yakni tidak ada mitigasi bencana dan kerusakan lingkungan," katanya.
Di sisi lain, Umbu sudah memprediksi pemerintah tidak akan mau menerapkan status darurat bencana untuk NTT. Apa kata WALHI NTT soal langkah pemerintah itu?
Baca Juga: WALHI Desak Gubernur NTT Tetapkan Status Darurat Bencana
1. Pemprov NTT dinilai tidak memiliki program mitigasi bencana
Menurut Umbu, sudah sejak lama Pemprov NTT tidak memiliki program mitigasi bencana. Bahkan, ketika terjadi banjir bandang dan longsor akibat dipicu siklon Seroja, posko bencana belum didirikan.
"Padahal, banjir bandang di Sumba Timur dua tahun lalu juga terjadi. Banjir itu terjadi di wilayah perkebunan investasi monokoltur. Bahkan, di Kabupaten Lembata kan sempat terjadi erupsi Gunung Ile Lewotolok pada Desember 2020. Jadi, memang pemimpin kita itu tidak belajar untuk siaga dari bencana-bencana lalu," tutur dia.
"Banjir itu selalu terjadi setiap tahun di Kabupaten Malaka. Makanya sekarang, kan mereka termasuk area yang paling parah dilanda banjir," ujarnya lagi.
Editor’s picks
Data dari BNPB, banjir bandang dan longsor dirasakan di ibu kota Kupang dan 10 kabupaten, termasuk Malaka Tengah.
Baca Juga: [UPDATE] 128 Orang Meninggal Akibat Banjir dan Longsor di NTT