Toleransi di Rumah Betang: Agama Hanya Jalan Menuju Tuhan
Orang Dayak sadar mereka berbeda agama tapi satu leluhur
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Beratap seng warna abu-abu dan sebagian merah bata, bangunan gereja itu dari samping sekilas mirip rumah betang atau rumah panjang, tempat tinggal khas suku Dayak di Kalimantan.
Bangunannya panjang ke belakang dengan bentuk rumah panggung dan terbuat dari kayu. Sebuah tanda salib menancap di atap pintu masuk, menjadi penanda bangunan itu sebuah gereja.
Pintu gereja tertutup rapat, tak ada jemaat. Ambresius Murjani, seorang pendamping Desa Ketungau Hulu yang juga warga setempat mengungkapkan, Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) itu merupakan rumah ibadah umat Kristen Protestan.
"Itu gereja Kristen Protestan," kata Murjani kepada IDN Times, Kamis (11/7/2019).
GKII terletak di Dusun Lepung, Desa Panggi Agung, Kecamatan Ketungau Tengah. Bangunannya berdiri sendiri, di atas tanah tinggi di pinggir jalan menuju perbatasan Indonesia-Malaysia. Tak ada rumah penduduk di kiri kanannya, hanya terlihat satu rumah di seberang jalan, dan beberapa rumah panggung lainnya di jarak 500 meter dari gereja.
Baca Juga: Lada Nanga Bayan, Penyatu Dua Bangsa di Tapal Batas
Kami bertemu gereja ini setelah menembus perkebunan sawit dan hutan di Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar). GKII bukan satu-satunya gereja yang kami temui di pedalaman Kalimantan. Banyak bangunan gereja lainnya, termasuk gereja umat Katolik dan juga masjid.
Rumah-rumah ibadah ini berdiri tenang, meski berada di tempat yang sangat terpencil, jauh dari rumah penduduk. Bahkan berada di wilayah yang penduduknya mayoritas beragama berbeda dari tempat ibadah tersebut, seperti masjid.
Seperti di Kecamatan Ketungau Tengah. Mayoritas penduduknya beragama Protestan, namun di wilayah ini juga terdapat gereja Katolik dan sebuah pondok pesantren.
Agama bukan identitas, apalagi pembeda
Di Kabupaten Sintang, yang wilayahnya hampir seluas Provinsi Sumatra Utara, sebagian besar penduduknya menganut agama Protestan, Katolik, dan Islam. Di beberapa desa dan kecamatan, agama mayoritas adalah Protestan dan Katolik. Kendati berbeda-beda agama, namun mereka menegaskan berasal dari satu suku yakni suku Dayak Iban.
Berasal dari garis leluhur yang sama, membuat masyarakat Dayak di Sintang tidak menjadikan agama sebagai identitas apalagi sebagai pembeda di antara mereka. Agama bagi mereka hanya jalan menuju Tuhan.
“Agama itu hanya jalan ke Tuhan saja, kita satu keluarga. Intinya satu darah (sesama orang Dayak),” ucap Murjani (48 tahun).
Karena itu, tak heran jika banyak keluarga di Sintang, anggotanya menganut agama berbeda-beda. Bahkan di satu rumah betang yang usianya sudah ratusan tahun, Rumah Betang Ensaid Panjang namanya, penghuninya menganut agama berbeda-beda.
Rumah Betang Ensaid Panjang terletak di Dusun Rentap Selatan Desa Sepanjang, Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang. Dari Kota Sintang, jaraknya sekitar 60 km dengan jarak tempuh sekitar 1,5 sampai 2 jam menggunakan kendaraan roda empat.
Tempatnya sangat terpencil, dengan kondisi jalan yang belum semuanya beraspal. Perjalanan menuju rumah betang ini melewati pinggir bukit, salah satunya Bukit Kelam.
Rumah Betang Ensaid Panjang berbentuk rumah panggung dengan semua bahannya terbuat dari kayu. Panjangnya sekitar 118 meter dengan lebar 17 meter. Jarak antara tanah hingga lantai rumah sekitar 2 meter, dengan total tinggi bangunan secara keseluruhan mencapai 12 meter.
Di dalam rumah betang ini terdapat 25 pintu bilik yang memisahkan ruangan yang satu dengan ruangan lainnya. Sementara di depan pintu-pintu itu terdapat ruangan sepanjang rumah betang tanpa sekat yang disebut ruai. Ruangan tanpa sekat ini menjadi seperti ruang publik tempat beraktivitas semua penghuni rumah betang.
Sembai (52 tahun), Kepala Dusun Rentap Selatan yang memimpin rumah betang ini mengungkapkan, Rumah Betang Ensaid Panjang dihuni oleh 101 jiwa dengan 32 kepala keluarga.
Penghuninya bekerja sebagai petani di ladang dan menganut agama Katolik dan Protestan. Sebelumnya, kata Sembai, di rumah ini juga pernah tinggal keluarganya yang beragama Islam, namun keluar karena bekerja.
Di rumah betang yang penghuninya berasal dari satu keturunan ini, semua keputusan diambil berdasarkan musyawarah mufakat, bukan berdasarkan agama mayoritas penghuninya, bukan juga berdasarkan agama yang dianut oleh pemimpinnya.
Sembai sendiri mengaku sebagai penganut agama Katolik, tapi tidak pernah memaksa mengambil keputusan untuk kepentingan dusun atau warga di rumah betang berdasarkan agama yang dianutnya.
“Keputusan itu bukan keputusan ketua, tapi mana yang enak dipakai bersama. Tidak bisa kita memaksakan orang lain untuk mengikuti agama kita, gak bisa,” kata Sembai saat ditemui Selasa (9/7/2019).
Dia menegaskan, agama adalah hubungan dengan Tuhan. "Kita bebas bergaul dengan siapa saja, kita tidak harus bergaul dengan si A, mentang-mentang kita di sini mayoritas Katolik misalnya terus yang lain gak boleh, tidak begitu. Itu adalah darah daging kita, saudara kita juga, kalau masalah keyakinan itu kita sama yang di atas,” ujarnya.
Bagi Sembai dan juga masyarakat Dayak lainnya di Sintang, yang utama adalah kekeluargaan. Apalagi jika mereka lahir dari garis keturunan yang sama, hanya satu yang mengikat mereka yakni adat dan budaya Dayak.
Sembai sangat menyadari bahwa dia dan warga kampungnya beragama setelah agama masuk di wilayah mereka. Sementara orangtua mereka dulu belum beragama.
“Tapi Tuhan nenek moyang kita sudah ada menghormati satu sama lain,” ungkapnya.
Baca Juga: Jelang Hari Toleransi, Majelis Hukama Gelar Lomba Persaudaraan Manusia
Murjani pun mengungkapkan hal yang sama. Malah, kata Murjani yang menjadi pemandu jalan kami, dia dan istrinya yang beragama Katolik, turun tangan mengarahkan sepupu-sepupu mereka yang beragama Islam untuk belajar ilmu agama di sekolah Islam yang baik, agar bisa mengajarkan ilmu agama kepada umat di tempat mereka tinggal.
Atas arahannya itu, sepupunya saat ini berhasil menjadi penyuluh agama Islam di desa perbatasan, Nanga Bayan.
“Saya dan istri bawa mereka sekolah (agama Islam) di Sintang, dari 3, 2 yang berhasil, sekarang satu jadi penyuluh agama Islam,” ujarnya sambil tersenyum.
Menurut Murjani, dia mengarahkan sepupu-sepupunya belajar agama Islam agar orang Dayak belajar Islam dari orang Dayak sendiri.
“Kalau orang luar kan meragukan, dia hanya fokus di agama tapi lupa darahnya. Kalau kita bisa kenapa suruh orang lain, kalau orang kita (Dayak) tidak akan bawa (ajaran) aneh-aneh. Kan rugi kita, masa saudara dipisahkan oleh agama, lalu gak boleh pergi sama-sama,” ujar bapak tiga anak ini.
Murjani mengungkapkan, orang Dayak sangat menjunjung tinggi nilai kekeluargaan. Karena itu, meski berbeda-beda agama mereka tetap berpegang teguh pada asal usul mereka.
“Kita di sini hanya beda agama, kalau untuk suku memang kita suku Dayak, agama itu tidak membedakan, di sini kita itu keluarga, tidak ada yang membuat kita kacau walaupun beda. Hanya beda agama, beda kepercayaan, tapi sukunya suku Dayak,” ujar Runa, Kepala Desa Nanga Bayan, Jumat (12/7/2019).
Runa merupakan kepala desa keempat di Nanga Bayan. Dia menganut agama Katolik, sementara banyak sepupunya beragama Islam. Bahkan ada yang menjadi penyuluh agama Islam di desa yang dipimpinnya.
Baca Juga: Bukit Kelam, Batu Tertinggi Dunia di Tanah Borneo