UU Pemilu Tak Direvisi, Demi Kepentingan Politik Parpol Besar?
KPU masih merujuk pada UU Nomor 7 Tahun 2017 soal pemilu
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Komisioner KPU Betty Epsilon Idroos mengatakan, pemilu 2024 akan mengikuti semua ketentuan Undang-Undang yang masih berlaku.
Hal tersebut diungkapkan dia dalam Gelora Talks bertajuk "Pro Kontra Pileg dan Pilpres 2024 di Waktu Bersamaan, Apa untung dan Ruginya?" yang digelar secara daring Rabu (1/6/2022) sore.
Terkait pelaksanaan pemilu 2024, KPU sendiri masih merujuk pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu. Sedangkan untuk pilkada Serentak, KPU mengacu pada UU Tahun 2016 tentang pilkada.
"Kira-kira dalam waktu sekitar 20 bulan lagi, apakah akan ada revisi UU atau tidak, kita serahkan ke pemerintah dan DPR. KPU sekarang sedang melakukan simulasi dan tahapan untuk Pemilu 2024 yang jadwalnya akan dimulai pada 14 Juni 2022," katanya.
KPU berharap, pelaksanaan pemilu 2024 nantinya tetap berkualitas meskipun pelaksanaannya masih berdasarkan pada UU lama sebagai rujukan, laiknya pemilu 2019 lalu.
"Pengalaman yang buruk-buruk di pemilu 2019 akan diperbaiki dan kualitasnya akan kami tingkatkan. Mudah-mudahan kualitas pemilu 2024, lebih baik lagi. Catatan-catatan, perbaikan-perbaikan dan langkah-langkah mitigasinya akan kita sampaikan kepada seluruh pemangku kepentingan menjelang pemilu 2024," katanya.
Baca Juga: KPU Luncurkan Hari Pemungutan Suara Pemilu Serentak 2024
1. Pemisahan Pilpres dan Pileg di Pemilu 2024 mendorong terjadinya efektivitas
Akademisi Ilmu Politik Universitas Indonesia Hurriyah mengatakan, keengganan DPR merevisi UU Pemilu karena parpol besar masih terjebak pada zona nyaman kekuasaan. Sehingga, mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kekuasaan usai pemilu 2024.
"Kepentingan politik praktis membuat parpol besar tidak merevisi UU Pemilu. Mereka sengaja mempersempit ruang kompetisi, tetapi ini menjadi dilema dan membuat mereka menggali kuburnya sendiri jika hasil di pemilu 2024 tidak sesuai yang diharapkan," kata Hurriyah.
Padahal, dia menyebut jika UU yang masih digunakan, tidak hanya menyulitkan parpol baru, tetapi juga parpol lama dan menciptakan tantangan berat bagi semua pihak.
"Kita perlu mempertimbangkan ulang pelaksanaan pemilu serentak, karena dampak kerumitan yang bakal ditimbulkan sangat besar. Efektivitas pemerintahan yang dihasilkan juga tidak bisa menjawab problem-problem yang kita dihadapi sekarang. Pemilu 2024 super kompleks, menjadi pemilu yang super eksperimental," ujarnya.
Dia menilai pemisahan pilpres dan pileg di pemilu 2024 akan mendorong terjadinya efektivitas pemerintahan yang dihasilkan, serta akan memperkuat sistem presidensial, baik penguatan legislatif maupun eksekutif.
"Keserantakan pemilu seperti sekarang ini, banyak mudaratnya dan tidak akan membawa manfaat, sehingga kita perlu mengkaji lagi untuk memberi kesempatan lebih banyak tujuan penyelenggaraan pemilu itu tercapai," katanya.