Ada 1800-an Anak yang Orang Tuanya Terlibat Kasus Terorisme
Apa yang bisa kita lakukan bersama?
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times – “Kalau ISIS ini saya juga ngeri, karena saya juga punya anak. Jangan sampai anak saya mengikuti jejak saya, sampai meninggalkan keluarga berperang di Afghanistan selama lima tahun dan dianggap sudah mati sama keluarga saya, karena gak pamit dan gak boleh berkomunikasi,” ujar Ayub Abdurrahman, seminggu setelah serangan bom di Jalan Thamrin, Jakarta, 14 Januari 2016.
Ayub Abdurrahman adalah mantan pemimpin Jamaah Islamiyah (JI) untuk wilayah Australia. Dia pernah berlatih perang di Afghanistan dan melatih JI di Mindanao dan Malaysia.
Saya pertama kali bertemu dengan Ayub Abdurrahman dalam sebuah pertemuan yang saya kelola untuk Perkumpulan Alumni Eisenhower Fellowship di Indonesia, tahun 2015. Belum banyak diskusi tentang Negara Islam Irak Suriah saat itu di media sosial di Indonesia. Tetapi pengalaman mengikuti diskusi di berbagai forum di dalam dan luar negeri membuat saya makin khawatir akan aksi ISIS, sebutan yang sama untuk NIIS, merekrut pengikuti lewat media sosial.
Jadi, saya pikir ada baiknya penggiat media sosial mendapatkan informasi dari tangan pertama tentang aktivitas ISIS dan jejaringnya.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Saud Usman Nasution membawa Ayub ke acara yang diikuti oleh 100-an warganet, sebagian besar para pemberi pengaruh (influencer) di media sosial. Selain Kepala BNPT saya juga mengundang Prof Alwi Shihab mantan menteri luar negeri yang menjadi utusan khusus Presiden untuk Timur Tengah.
“Jika anakmu mengunci diri di kamar, mengakses konten pornografi, masih lumayan. Kalau mengakses konten radikalisme, membuat bom, berkomunikasi dengan orang-orang tidak dikenal yang mengajak jihad dengan kekerasan, itu musibah bagi keluarga,” kata Ayub saat itu.
Malam itu, Ayub membuka blak-blakan bagaimana cara teroris merekrut pengikuti. Bagaimana dia merekrut calon petarung. Memang mengerikan.
Pekan lalu saya mencoba mengontak Ayub via pesan singkat. Yang menjawab istrinya. “Ustaz tak bisa diwawancarai. Sulit bicara setelah kena stroke setahun lalu,” ujar istrinya. Saya memberi tahu Kepala BNPT Suhardi Alius tentang kondisi Ayub. Bagaimanapun, Ayub sempat ikut mendukung program deradikalisasi untuk para narapidana kasus terorisme (wawancara saya setelah kasus bom Sarinah dimuat di Rappler).
Percakapan dengan Ayub sebelum Tragedi Bom di Jalan Thamrin Jakarta membuat saya tidak begitu kaget dengan fenomena keterlibatan remaja usia muda dalam aksi terorisme.
Baca juga: Awal mula Gerakan Terorisme di Indonesia
1. Mereka terpapar ajaran radikalisme dengan kekerasan sejak di SD
Cerita RES yang baru berusia 16 tahun, adalah salah satunya. Menurut data yang dikumpulkan BNPT, pelajar sebuah sekolah menengah di provinsi Jawa Barat ini bergabung dengan kelompok Bahrum Naim.
Bahrum Naim disebut polisi sebagai dalang ledakan Bom di Jalan Thamrin, Jakarta.
RES diduga belajar membuat senjata api bom asap beracun dari internet. Sejak di kelas 5 SD RES sudah mengenal media sosial dan aktif menggunakan akun Facebook-nya. Dari situ terlihat kecenderungan RES mengakses informasi dari situs Islam garis keras. Keluarganya sempat mengajaknya belajar mengaji. Namun RES menganggap apa yang disampaikan guru mengaji tidak sesuai dengan pemahamannya.
IAH, 17 tahun, mencoba meledakkan bom di Gereja Santo Yoseph di Medan, Agustus 2016. Untung tidak ada korban jiwa tewas.
Pelaku sempat melukai pastor dengan menikam tangannya. Kepada polisi, IAH mengaku terinspirasi dari informasi di internet tentang serangan teroris di Prancis.
Pada bulan Juli 2016, seorang pastor di Perancis tewas digorok oleh dua orang tak dikenal. Keduanya juga menyandera beberapa orang. ISIS mengklaim pelaku adalah “tentara” mereka.
Mundur jauh ke belakang, ke Tragedi Bom Bali I yang menjadi titik awal maraknya serangan teror pasca Reformasi.
Terpidana seumur hidup kasus terorime, Ali Imron alias Alik mengaku sudah memiliki pemikiran radikalisme sejak duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar (SD).
Ali Imron yang tergabung dalam aksi bom Bali 2002 ini terkontaminasi paham teroris dari kakak kandungnya almarhum Ali Ghufron alis Mukhlas yang didakwa dengan hukuman mati, dan sudah dieksekusi.
Dari film Jihad Selfie kita mendapatkan pengakuan Teuku Akbar Maulana, remaja usia 17 tahun asal Aceh, yang nyaris menjadi tentara Abu Bakr Al-Baghdadi, pemimpin ISIS.
“Usia teroris makin belia. Mereka dalam rentang usia yang sedang aktif menggunakan medium komunikasi internet,” kata Kepala BNPT Komisaris Jendral Polisi Suhardi Alius.
Anak-anak pelaku teror bom di Surabaya dipengaruhi oleh orangtuanya untuk melakukan aksi jihad, dengan meledakkan bom bunuh diri.
Jadi, ada pengaruh keluarga. Besar pula pengaruh dari informasi di internet.
Editor’s picks
Jumlah 1.800-an itu tentu terus bertambah. Kita tentu cemas dengan masa depan dari AA (8 tahun), bocah yang selamat dari kasus bom bunuh diri ke Polresta Surabaya yang dilakukan orang tua dan kakak-kakaknya.
Bagaimana mengelola masa depan bagi bocah sekecil itu, adalah sebuah pekerjaan yang besar untuk program deradikalisasi yang selama ini dikelola BNPT bersama 17 kementerian dan lembaga.
Belum lagi mendeteksi bagaimana merasuknya paham radikalisme, jihad dengan mengorbankan nyawa orang lain dan diri sendiri di kalangan muda.
Sebenarnya ini lebih penting ditangani segera ketimbang menggunakan “daya sengat” dari Perubahan UU Nomor 15 Tahun 2003 yang baru disahkan Jumat (18/5/2018).
Bayangkan jika penanganan terhadap 1.800-an anak itu salah, dan mereka justru merasa dendam atas perlakukan kepada orang tuanya?
Apa yang bisa kita lakukan bersama sebagai masyarakat Indonesia?