TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Jenderal TNI Agum Gumelar: Komunis Tak Bisa Muncul Lagi!

Isu PKI selalu muncul jelang G30S

Agum Gumelar, Ketua Ikatan Alumni Lemhanas saat Temu IKAL dan Pemimpin Redaksi pada 22 September 2021. (IDN Times/Uni Lubis)

Jakarta, IDN Times – Setiap tahun, menjelang peringatan Gerakan 30 September (G 30 S), selalu ramai diskursus soal komunis dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kali ini, tudingan datang dari mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo.

Gatot menyebut indikasi institusi TNI telah disusupi paham komunis, karena ada sejumlah patung atau diorama di Markas Kostrad terkait penumpasan gerakan 30 September 1965, telah hilang. Tuduhan itu disampaikan Gatot Nurmantyo ketika berbicara di diskusi virtual dengan tajuk TNI vs PKI, pada Minggu (26/9/2021).

Tuduhan Gatot ini telah dibantah Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Kepala Penerangan Kostrad, Kolonel (Inf) Haryantana, membantah Kostrad telah menghilangkan sejumlah patung tokoh negara di Museum Dharma Bhakti Kostrad.

Ia menegaskan, Kostrad tidak pernah membongkar atau menghilangkan patung bersejarah. "Tapi, pembongkaran patung-patung tersebut murni permintaan Letnan Jenderal TNI (Purn) Azymn Yusri Nasution sebagai pembuat ide. Hal itu untuk ketenangan lahir dan batin," ujar Haryantana yang dikutip dari kantor berita ANTARA, Senin (27/9/2021).

Benarkah komunis masih jadi ancaman di negeri ini? Beberapa hari sebelum Gatot melontarkan isu ini, Jenderal TNI (Hor) Agum Gumelar membantah komunis bisa eksis di Indonesia.

Dalam sebuah pertemuan dengan sejumlah pemimpin media yang berlangsung di kediamannya di Jakarta Selatan, pada 22 September 2021, Agum yang kini menjabat Ketua Ikatan Alumni Lemhanas (IKAL), juga Ketua Umum Pepabri (Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI Polri), menjelaskan strategi tematik komunis dalam upaya menguasai isu.

Acara itu membahas tema ancaman hoaks bagi ketahanan negara, yang menghadirkan pembicara Donny Yoesgiantoro dan Universitas Pertahanan dan Rosarita Niken Widyastuti, staf khusus Menteri Komunikasi dan Informasi.

Baca Juga: Eks Panglima TNI Gatot Nurmantyo Sebut Ada Indikasi Komunis Masuk TNI

1. Dua cara kerja PKI mencoba kuasai pemerintahan sebelum G30S 1965

ANTARA FOTO/Didik Suhartono

Dalam pertemuan yang dihadiri sejumlah pengurus IKAL termasuk Prof Gumilar Somantri, mantan Rektor Universitas Indonesia, Agum menjelaskan cara PKI eksis.

“Pertama PKI selama eksis dulu, adalah satu-satunya partai yang gunakan dua cara kerja. Pertama adalah cara kerja legal melalui komite sentral PKI. Disitulah kita tahu DN Aidit sebagai ketuanya. Cara kerja kedua adalah yang strictly illegal, melalui apa yang disebut biro khusus PKI dan kita baru tahu ada yang namanya Sjam Kamaruzaman dengan berbagai macam aliasnya sebagai ketua biro khusus PKI. Itu yang pertama yang harus kita ketahui soal komunis PKI semasa eksis dulu,” ujarnya.

Yang kedua, lanjut Agum yang pernah menjabat Menteri Koordinator Politik, Sosial dan Keamanan di era Presiden Abdurachman Wahid atau Gus Dur, PKI semasa eksis dulu, selain merupakan partai yang eksis di kancah perpolitikan Indonesia, juga merupakan bagian dari gerakan komunisme internasional, yang terikat kepada solidaritas internasionalnya.

Jadi, PKI Indonesia ini di bawah kendali komunisme internasionalnya. Komunisme internasional berusaha menciptakan dunia yang berpaham komunis. PKI di Indonesia berusaha menciptakan Indonesia menjadi negara komunis dengan dukungan dari komunisme internasional.

 

2. Tiga strategi besar PKI dalam menebar hoaks

Ilustrasi korban massal G30S/PKI (IDN Times/Rosa Folia)

Ketiga, lanjut Agum, yang ada kaitannya dengan masalah hoaks, soal cara kerja operasionalnya Partai Komunis Indonesia, "ada tiga grand strategy mereka itu. Pertama, satu pergerakan komunis di satu wilayah pergerakan PKI di Indonesia, apabila kekuatannya masih di bawah satu kekuasaan pemerintah yang sah, maka strategi yang mereka terapkan adalah hidup berdampingan secara damai.” 

Mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI ini mengajak hadirin membayangkan saat PKI seolah-olah partai yang jadi ujung tombak pemerintah, sehingga Bung Karno pun terbuai, hidup berdampingan secara damai. Itu strategi pertama.

Strategi kedua, ujar Agum, apabila suatu kekuatan komunis di satu wilayah pergerakannya sudah berada di atas kekuatan kekuasaan, maka strategi yang mereka terapkan adalah rebut kekuasaan itu dengan menghalalkan secara cara. Et d’elle, segala cara digunakan untuk mencapai tujuan. Itulah G30 S PKI.

“Strategi ketiga, komunis tidak mengenal istilah kalah, yang ada adalah pasang dan surutnya perjuangan. Apabila strategi kedua belum mencapai apa yang mereka harapkan, maka strategi ketiga diterapkan, mengendap ke bawah permukaan, bergerak di bawah permukaan untuk bisa menciptakan kondisi agar bisa bangkit kembali dalam segala bentuknya," ujar Agum yang pernah menjabat ketua umum PSSI.

"Ini terjadi di tahun 1965, yang kita menilai kejadian di tahun 1965 ini ternyata, dua kali perjuangan komunis untuk mengomuniskan Indonesia ternyata gagal, PKI Muso dan G30 S PKI. Artinya apa? Bumi kita ini, tanah kita ini tidak cocok dengan benih-benih Marxisme. Tidak cocok, maka keluarlah keputusan rakyat, dalam bentuk TAP MPR Nomor XXV (Tahun 1966) melarang paham komunis di Indonesia. Membubarkan PKI,” lanjut Agum berapi-api.

3. Agum menganggap di tingkat internasional pun komunis sudah kalah

Pertemuan IKAL dan Pemimpin Redaksi (22/9/2021)

Jadi, kata Agum, kalau sekarang ada ancaman, seolah-olah dikedepankan ancaman dari komunis, "saya pikir ya, kita sudah punya payung, kalau tidak salah Pak Presiden (Jokowi) saat berdialog dengan santri di Manonjaya (Tasikmalaya) sana, ada pertanyaan, kekhawatiran dari seorang santri akan bangkitnya kembali komunis. Jawaban Presiden apa? Lho kalau soal itu kan kita sudah punya payung, kalau mereka bangkit kembali ya digebuk. Kita sudah punya payung," ujar Agum.

"Ini yang harus kita sadari betul, bahwa dulu perjuangan mereka didukung oleh komunisme internasional. Sekarang coba lihat deh komunisme internasional. Kemarin aja perkembangan terakhir, Partai Rusia Bersatu menjadi pemenang di Pemilu Rusia, 50 persen lebih. Partai Komunis cuma 21 persen,” ungkap Agum.

Dia mengungkapkan, di China, sejak Deng Xiao Ping jadi perdana menteri dengan falsafahnya tidak peduli kucing itu warna hitam, putih, atau kuning, yang penting adalah kucing itu bisa menangkap tikus. Karena itu, dalam upaya menyejahterakan rakyat China, membangun ekonomi China, Deng Xiao Ping mengadopsi sepenuhnya sistem kapitalisme.

"Dan sekarang China, coba lihat deh ke China sana, mereka sudah menjadi negara kapitalis terbesar di dunia bersama Amerika," ucap Agum.

"Jadi ancaman komunisme itu sebenarnya ancaman yang dibuat-buat sedemikian, sehingga menimbulkan kekhawatiran dari bangsa Indonesia mengenai ancaman komunis. Ini sebenarnya merupakan pengalihan. Ada ancaman lain dari sini, yang mereka alihkan dari perhatian masyarakat Indonesia. Seolah-olah ada komunis. Komunis tidak akan bisa muncul lagi. Tidak akan muncul lagi. Tolong deh siapa yang punya data intelijen. Di mana tokoh yang akan menghidupkan kembali komunis. Apa organisasinya? Bagaimana modus mereka? Tolong sampaikan kepada saya, sampaikan kepada saya. Tidak usah TNI-Polri yang menghantam mereka. Ketua Umum PEPABRI bersama pasukan PEPABRI, saya hantam mereka, kalau ada,” lanjut Agum.

Baca Juga: Respons Panglima Hadi soal Tudingan Komunis Susupi TNI

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya