TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Al Hidayah: Pesantren yang Didirikan Mantan Narapidana Terorisme

Pesantren deradikalisasi pertama di Indonesia

Rappler/Uni Lubis

Jakarta, IDN Times - Berjarak 20 kilometer dari pusat kota Medan, lebih tepatnya di Kabupaten Deli Serdang, terdapat pondok pesantren yang didirikan oleh seorang mantan narapidana terorisme. Pondok tersebut dinamai Al-Hidayah, didirikan oleh seorang mantan teroris yang sempat divonis enam tahun atas tindak pidana perampokan Bank CIMB Niaga pada 2010.

Dilansir dari Rappler Indonesia, Khoirul Ghozali mengatakan ide mendirikan pesantren tercetus saat dirinya berada di balik jeruji besi. Namun pesantren tersebut sendiri baru resmi berdiri sejak 16 Juni 2016 itu.

"Ide pesantren ini muncul sejak saya masih menjalani proses sidang kasus perampokan ini ya, kan sudah ditahan dipenjara. Saat itu saya divonis enam tahun penjara. Saya jalani empat tahun dua bulan, karena dapat remisi. Dari balik jeruji besi itu saya berpikir apa yang bisa saya sumbangkan pasca saya ditahan. Ide ini saya diskusikan dengan pimpinan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang berkunjung ke saya di penjara. Mereka antusias dan siap fasilitasi,” terang Ghozali kepada Rappler Indonesia.

Berikut lima fakta tentang Pesantren Al-Hidayah beserta pendirinya yang dihimpun oleh IDN Times. Yuk simak!

Baca juga: 2 Fakor yang Menjadi Cikal Bakal Terjadinya Radikalisme, Waspadai!

1. Jiwa radikalisme Ghozali tumbuh subur sejak 1985

Rappler/Uni Lubis

Perampokan Bank CIMB Niaga terjadi pada Agustus 2010 menggegerkan Kota Medan. Ghozali mengatakan bahwa uang hasil perampokan itu digunakan untuk mendanai kegiatan terorisme. Kegiatan merampok itu dikenal dengan istilah ‘fai’.

Jiwa radikalisme Ghozali muncul sejak usia 18 tahun, lebih tepatnya tahun 1985 ketika Soeharto mewajibkan seluruh organisasi masyarakat, termasuk organisasi berbasis Islam, harus berasaskan Pancasila atau asas tunggal. Namun siapa sangka, kebijakan tersebut justru melahirkan jiwa radikalisme dalam kalbu Ghozali.

Keinginan untuk berjihad semakin tumbuh subur tatkala Ghozali hijrah ke Malaysia. Di sana, dia bertemu dengan sekelompok Muslim yang siap merelakan jiwa raganya untuk berjuang di Afganistan.

“Kemudian, sampai di Malaysia ketemu dengan Abdullah Sungkar, ketemu dengan Hambali, yang sekarang di Guanatanamo, ketemu yang lain-lain lagi, para jihadis yang siap ke Afganistan. Dari situ saya semakin matang dalam memahami tentang jihad, apalagi akan dikirim untuk berperang melawan Uni Soviet, makin menggebu-gebu,” cerita dia.

2. Pasca Soviet runtuh, Ghozali mulai menyebarkan paham radikalisme 

IDN Times/Sukma Shakti

Pasca Soviet runtuh, Ghozali kembali ke Indonesia dan menyebarkan pahamnya ke ratusan orang medan karena melihat begitu banyak kemungkaran dan penyelewengan agama. Puncaknya adalah perampokan CIMB Niaga, pernyerangan pos polisi Hampar Perak, dan banyak dari anggotanya yang dikirim ke kamp pelatihan di Jantho (Aceh).

Dia menjelaskan, “Merencanakan perampokan hanya butuh waktu seminggu. Kenapa CIMB? Karena bank konvesional mengamalkan riba. Saat itu kita hanya bisa merampok Rp400 juta. Pelakunya sekitar 16 orang. Tapi waktu itu bukan jumlahnya yang penting, tapi efek yang kita lakukan yaitu ingin mengabarkan kepada dunia bahwa jihadis hadir di Indonesia,” .

3. Sebagai program deradikalisasi untuk anak narapidana terorisme

Istimewa

Pesantren Al-Hidayah didirikan khusus untuk membimbing anak-anak mantan terorisme. Mereka kerap menjadi korban atas perbuatan keji yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Rasa dendam lantaran ketidakpahaman, dikucilkan dari lingkungan, dan dibesarkan tanpa belaian orang tua, bergelut dalam batin setiap anak yang mengetahui bahwa orang tuanya adalah terorisme.

“Saya mendirikan pesantren untuk pendidikan ini, karena banyak anak-anak mantan teroris, keluarganya, terbengkalai. Begitu juga istrinya terbengkalai ekonomi, putus sekolah anak-anaknya, bahkan tulang punggung utamanya. Berbahaya kalau tidak diperhatikan masalah emosional mereka, memori ingatan saat ayahnya ditembak aparat, atau dipenjara. Kalau tidak ada pembinaan dan pendidikan, bisa bahaya. (Dendam) saat orang tuanya ditangkap, diadili dihukum, itu hanya bisa diputus dengan pendidikan,” terang dia.

Ghozali memaparkan, tidak mudah untuk mengubah stigma yang dimiliki oleh para anak mantan terorisme. Setiap kali melihat polisi atau TNI, mereka akan dianggap sebagai bagian dari thagut yang halal darahnya untuk ditumpahkan. Butuh waktu berbulan-bulan bagi Ghozali beserta rekan-rekannya untuk menghapus stigma yang mereka miliki terhadap aparat keamanan.

“Pada awalnya berat. Mereka menyimpan dendam. Setiap ada polisi yang lewat mereka masih menganggap itu toghut. Memori ingatan itu masih kuat sekali dalam jiwa mereka. Tiga empat bulan kita baru bisa menghilangkan dendam itu. Kita tanamkan rahmah, kasih sayang, Islam itu pemaaf. Berjalan setengah tahun (mereka) bisa menerima kenyataan. Bahkan sudah bisa punya cita-cita jadi polisi dan TNI. Mereka bahwa mengatakan jihad yang dilakukan bapaknya itu salah,” bebernya.            

4. Terinspirasi dari kehidupan keluarganya sendiri

IDN Times/Sukma Shakti

Titik balik Ghozali bermula saat dirinya menjalani sidang pada bulan keenam. Sebagai kepala keluarga, Ghozali merasa tidak melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami. Anaknya merasa kehilangan tokoh panutan, ekonomi keluarga terbengkalai, dan keluarga Ghozali lebih sering menghabiskan waktu serta ongkos untuk berkunjung ke penjara.

“Keluarga kita di rumah kehilangan tulang punggung ekonomi, anak-anak kehilangan idola, kita tidak bisa bersentuhan langsung mendidik mereka, padahal kewajiban suami itu adalah mendidik istri, memberi nafkah kepada merek. Jadi saya melihat bahwa jihad yang saya lakukan ternyata salah kaprah,” bebernya.

Sejak momentum itu, Ghozali baru paham bahwa jihad yang dianjurkan dalam Islam harus dilakukan secara humanis dan beradab, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan apalagi hingga korban nyawa. “Sementara yang terjadi pada diri saya adalah penganiayaan dan pengabaian anak dan istri, kehilangan nafkah bahkan anak ada yang putus sekolah,” imbuh Ghozali.

Ghozali tidak memungkiri bahwa radikalisme lahir karena kondisi politik-ekonomi di suatu negara. Kesenjangan ekonomi, korupsi, dan hukum yang tidak adil, kemudian agama menjadi justtifikasi untuk membenarkan tindakan nekat. Menurutnya, radikalisme merupakan bentuk lain dari perasaan putus asa lantaran negara yang tidak serius dalam mensejahterakan masyarakatnya.  

Baca juga: 'Bayu Sering Tiba-tiba Peluk dari Belakang Sambil Bilang I Love You'

 

 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya