Curhat Seorang Atheis: Tuhan Konsep Usang, Agama Bak Partai Politik
Tuhan dianggap sebagai konsep yang penuh kontradiktif
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Besar di lingkungan yang relijius, pegiat hak asasi manusia (HAM) Rais Sapoetra justru memilih jalur hidup yang tidak mudah. Sejak usianya 24 tahun, tepatnya 10 tahun lalu, lelaki asal Solo ini mendeklarasikan dirinya sebagai atheis, tidak percaya Tuhan. Dalam benaknya, agama menyerupai institusi politik yang berlomba-lomba meningkatkan jumlah pengikutnya.
“Bagi saya agama seperti partai politik, dikumpulkan (penganutnya) dalam satu ideologi yang sama, pemikiran yang sama, dan kepercayaan yang sama,” kata Rais ketika live Instagram bersama @KabarSejuk2008, Sabtu (16/5).
Rais mulai mempertanyakan eksistensi Tuhan setelah lulus dari Pesantren Ngruki yang dulu didirikan Abu Bakar Ba’asyir di Sukoharjo, Jawa Tengah. Dia resah karena bagaimana bisa Tuhan yang Maha Segalanya, justru memiliki sifat-sifat yang paradoks. Menurut dia, apabila Tuhan adalah Maha Ada, mengapa Dia sulit sekali menunjukkan eksistensinya. Jika Tuhan Maha Pengasih, mengapa Dia juga memiliki Maha Pemarah.
“Awalnya di pondok saya suka baca buku dan banyak menemukan pemikiran yang gak rasional. Sifat Tuhan banyak yang paradoks. Sejak saya keluar dari pesantren di usia 17, akhirnya saya cari sendiri, tanya ustaz dan guru-guru, ikut kajian-kajian lintas agama,” ungkap dia.
Setelah menjajaki berbagai ideologi dan pemikiran, Rais terpuaskan dengan jawaban-jawaban yang ditawarkan sains. Menurut dia, perkembangan sains sekarang ini sudah bisa menjawab segala hal-hal yang dulunya bersifat mistik, salah satunya Tuhan. Karena itu, dia menganggap agama sudah usang.
“Saya mulai mencari, misalnya benar gak manusia pertama namanya Adam, begitu saya cari di sains, gak ada bukti satu pun Nabi Adam itu ada (sebagai manusia pertama). Sains menawarkan namanya evolusi, saya baca teori evolusi, ternyata lebih detail, lebih enak saya menerimanya,” kata dia.
“Atheis mengakui bahwa Tuhan itu ada sebagai konsep, tapi tidak ada sebagai sosok. Pemikiran bahwa Tuhan itu eksis memang ada. Atheis mengakui bahwa manusia itu mengkhayalkan Tuhan. Saya sebagai atheis dari awal memang berpikir ‘tidak percaya bahwa ada Tuhan’, bukannya ‘percaya bahwa tidak ada Tuhan’, begitu logikanya,” demikian tulis Rais dalam salah satu caption Instagramnya.
1. Transformasi Rais menjadi seorang atheis
Ibarat seseorang yang memendam unek-unek selama puluhan tahun, Rais kini merasa lega setelah mendeklarasikan diri sebagai atheis dan begitu pula orang memandangnya. Perjalanannya tentu tidak mudah. Kritik dari warganet, lingkungan bergaulnya, hingga kecaman dari orang tua harus dia terima demi mempertahankan pendiriannya.
“Keluarga saya relijius ya, adek saya bahkan guru agama. Resistensi dari keluarga lumayan besar. Kami sempat debat di keluarga, ada konflik, dan saya harus keluar dari rumah. Tapi sekarang ada perasaan saya lebih plong, happy, lebih enak aja. Ngerasa, oh begini toh rasanya jadi orang yang bisa berekspresi, bisa mengeluarkan unek-unek,” kata dia.
Rais mengakui, tidak mudah meninggalkan berbagai ritual keagamaan yang rutin ia jalani selama ini. Dia juga membantah stigma yang melekat kepada setiap atheis bahwa transformasi menjadi sosok yang tidak percaya dengan Tuhan disebabkan karena malas beribadah.
“Awal-awal jadi atheis, saya rajin salat, karena sudah terbiasa, jadi susah untuk meninggalkan salat. Saya atheis bukan karena malas salat, tapi karena perjalanan dan diskusi panjang. Untuk meninggalkan salat pun saya butuh bertahap, sangat susah. Bahkan, pertama kali makan babi saya gemeteran,” ungkap dia.
Pilihan menjadi atheis juga dilandasi atas keinginan membebaskan diri dari dogma agama yang mengekang. Menurut Rais, hal ini bisa menjelaskan mengapa banyak orang yang perlahan mulai meninggalkan agama. Namun, dia tidak bisa mengatakan fenomena meninggalkan agama merupakan suatu tren di kalangan anak muda.
Salah satu bentuk berekspresi yang dilakukan Rais adalah membuat tato di lengan kirinya. Padahal, membuat tato dilarang dalam Islam. Dalam bentuk kebebasan pemikiran, transformasi menjadi atheis juga menuntut Rais tidak lagi mempercayai surga dan neraka, begitu pula kehidupan setelah kematian.
“Kultur agama sendiri kan mengekang, apalagi bagi mereka yang ingin berekspresi. Mereka mulai kritis, skeptis, kenapa kok diatur-atur dan ini banyak terjadi di kalangan anak muda. Anak muda itu pengen cari tahu, pengen belajar banyak, nah mereka terkekang kalau di dalam agama, makanya tingkat apostasi keluarganya dari agama paling itu. Tapi saya tidak bisa bilang tren, karena survei terhadap orang atheis masih kurang valid. Banyak juga yang dia atheis tapi di publik masih ngaku beragama karena tuntutan sosial,” kata Rais.