TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Dikejar Makelar, Melonjaknya Harga Tanah di Calon Ibu Kota Negara

Harganya naik hingga 5 kali lipat

Suasana hutan di calon Ibu Kota Negara, Penajam Paser Utara (IDN Times/Vanny El Rahman)

Penajam, IDN Times- Sehari setelah Presiden Republik Indonesia, Joko “Jokowi” Widodo, mengumumkan Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kutai Kartanegara sebagai calon Ibu Kota Negara (IKN), raksasa properti PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) merilis iklan berjudul “Borneo Bay City: Investasi Terbaik di Ibu Kota Negara”. Iklan itu terpampang jelas, satu halaman penuh warna, di Harian Kompas edisi Selasa (27/8/2019).

Aksi gesit APLN investasi properti di Kalimantan Timur seolah pertanda pemindahan Ibu Kota bakal membawa berkah bagi para pengembang. Angin segar disambut baik mengingat iklim jual-beli properti di Benua Etam, julukan Kalimantan Timur, cenderung lesu akibat sektor tambang yang tidak terlalu baik.

Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) Kalimantan Timur Bagus Susetyo mengatakan, sejumlah pengembang papan atas seperti APLN, Ciputra Development, hingga Sinar Mas Land siap berduet dengan pengembang lokal untuk “mempersiapkan” IKN. Mereka mulai membidik kawasan yang paling dekat dengan rencana Pusat Pemerintahan, yaitu Kecamatan Samboja, Muara Jawa, dan Sepaku.  

Soal kemampuan penyediaan lahan, tidak tanggung-tanggung, Bagus mengutarakan kolaborasi ini mampu menyediakan tanah seluas 40 hingga 200 hektare.

“Duet pengembang lokal dan nasional tentu lebih dari cukup untuk mempersiapkan IKN. Kami optimis dengan hal tersebut,” tutur Bagus, yang juga politikus Partai Gerindra, di kantornya, Jalan Siradj Salman, Kota Samarinda, pada Kamis (29/8/2019).

Harga tanah melonjak drastis

Ilustrasi lahan di calon Ibu Kota Negara, Kabupaten Penajam Paser Utara (IDN Times/Vanny El Rahman)

Kendati pemerintah baru memberikan ancar-ancar posisi ring satu IKN, yaitu di tanah Hak Guna Usaha (HGU) yang dikelola oleh PT Indonesia Hutani Manunggal (IHM) seluas 41.219,97 hektare, para spekulan tanah sudah mulai bergerilya. Mereka mencari warga yang ingin melepas tanahnya sebelum harga meningkat tajam.

Ketika tim IDN Times mengunjungi Kabupaten PPU pada 1-3 Februari 2020, sudah banyak mobil off road yang lalu-lalang. Banyak yang dibawa langsung dari Jakarta. Sebagian dari mereka berhenti di pinggir jalan, seperti melakukan survei lapangan. Ada juga warga asing yang sibuk memutari lahan yang dipenuhi pohon dan semak belukar. Mereka ditandai oleh warga setempat sebagai makelar tanah.

Bahkan, ketika tim IDN Times singgah di sebuah warung sembari menulis laporan perjalanan, beberapa warga mengira maksud kedatangan kami adalah mencari tanah yang dijual. Kehadiran orang asing ditanggapi sebagai pihak yang ingin membeli tanah dalam jumlah besar.

Warga setempat masih bingung menanggapi tingginya peminat tanah di lokasi IKN. Apakah itu sebuah berkah atau musibah. Kepala Lembaga Adat Paser Desa Sepan, Yossie Samban, mengakui bila banyak orang yang sudah mulai bernegosiasi soal harga tanah dengannya.

“Ya kalau yang tanya banyak. Tapi kalau sama saya sampai sekarang belum ada yang deal. Kayaknya sih makelar, soalnya pas dikasih harga yang kami mau, mereka bilang nanti-nanti,” kata Yossie kepada IDN Times di Desa Sepan, Kecamatan Penajam, Kabupaten PPU, Sabtu (1/2/2020).

Sebelum diumumkan sebagai lokasi IKN, harga tanah di sepanjang Desa Sepan hingga Kelurahan Pemaluan sekitar Rp50 ribu hingga Rp200 ribu per meter persegi. Setelah pengumuman, harganya naik dari Rp250 ribu hingga Rp500 ribu per meter persegi. Bahkan, IDN Times mendapat kabar adanya tanah yang dijual dengan harga Rp1,5 juta meter persegi. Angkanya tentu bisa meningkat seiring tawar-menawar penjual dengan pembeli.

Meski terdengar menggiurkan, apalagi rata-rata tanah yang dimiliki warga setempat mencapai ribuan meter bahkan ada yang memiliki beberapa hektare, sedikit dari mereka yang rela melepaskan satu-satunya harta yang bisa diwariskan kepada anak cucunya itu.

“Saya pribadi ada 1,4 hektare tanah, belum ada yang nawar sampai sekarang sih. Tapi kalau tanah dilepas, walaupun diganti rugi, itu gak bisa menjamin kehidupan saya,” ungkap Yapan, lelaki berusia 55 tahun yang merupakan mantan Ketua RT 5 Desa Sepan, kepada IDN Times, di Kecamatan Penajam, Sabtu (1/2/2020).

Keluhan serupa juga dilontarkan oleh Gaya. “Kami ini petani biasa, gak ngerti apa-apa, masalah pupuk saja gak ngerti. Kalau kami gak punya tanah (lahan untuk berkebun), bagaimana (hidup) kami nanti,” kata perempuan berusia 64 tahun itu.  

Mencegah supaya tanah warga tidak habis terjual

IDN Times/Arief Rahmat

Sebagai pihak yang diberi kepercayaan oleh masyarakat, Yossie mengambil inisiatif untuk menetapkan kebijakan satu harga atas tanah yang dimiliki oleh Suku Paser di Desa Sepan. Per meter perseginya, Yossie mematok harga Rp250 ribu.

“Kami sudah membuat kesepakatan, bahkan sudah diketahui kelurahan dan Kades, harga tanah di Desa Sepan itu per meter Rp250 ribu, hitung-hitungannya per hektare Rp2,5 miliar. Kalau mereka tidak mau, ya tidak kami lepas,” papar ayah dua anak itu.

Semakin dekat dengan kawasan inti pemerintahan, harga tanah semakin mahal. Belakangan, permintaan Surat Segel kepada kelurahan sebagai bukti awal kepemilikan tanah juga semakin meningkat. Hal ini menandakan bahwa banyak warga yang berencana untuk menjual tanahnya, setidaknya lahannya sudah diamankan.

Hal yang menarik adalah menjual tanah di Kabupaten PPU tergolong perkara tabu. Ada rasa gelisah apabila harga tanah yang telah dijual diketahui oleh tetangganya. Oleh sebab itu, transaksi jual-beli sering kali dilakukan secara sembunyi-sembunyi, bahkan tidak diketahui pengurus desa atau kelurahan setempat.

“Saya rasa sudah ada (yang melakukan proses jual-beli) tapi kami belum tahu pasti. Tapi, yang jelas, yang minta dibuatkan surat segel ada,” ungkap Lurah Pemaluan, Ari Rahayu Purwati, kepada IDN Times di kantor Kelurahan Pemaluan, Sabtu (1/2/2020).

Setiap ada warga yang ingin membuat Surat Segel tanah, Ari selalu mengingatkan agar mereka tidak tergiur dengan uang ratusan juta bahkan milyaran rupiah. Sebab, hingga hari ini, Pemerintah Pusat belum memasang patok sebagai tanda kawasan IKN. Artinya, harga tanah bisa menjulang semakin tinggi ketika pemerintah sudah menetapkannya.

“Kalau mereka mau jual kami selalu sampaikan, agar tunggu dulu, tidak langsung menjual, mungkin saja hari ini harganya masih murah. Nanti mungkin saja ada regulasi dari Bupati soal penetapan harga standar. Kalau lebih mahal akan menguntungkan mereka juga,” paparnya.

Dia menambahkan, “kami juga usul supaya tidak menjual seluruh tanahnya. Kalau bisa disewakan ke pengembang, jadi mereka tetap memiliki tanah.”

Selain khawatir soal fluktuasi harga tanah, Ari juga was-was dengan proses transaksi yang ditandai dengan serah terima Surat Segel. Ketentuan hukum surat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pada intinya, Surat Segel menandakan bahwa warga memiliki hak atas pengelolaan suatu lahan, bukan sebagai bukti kepemilikan tanah.

Perkaranya adalah warga sering salah memahami fungsi surat ini. Akibatnya, tidak jarang terjadi konflik horizontal dan vertikal karena mereka menjual tanah tanpa sertifikat, sekadar bermodalkan Surat Segel.

“Kalau ditanya lebih kuat mana, tentu lebih kuat sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Negara (BPN). Surat Segel ini hanya bukti awal kalau warga punya tanah, yang ditandai dengan pernah mengelola tanah tersebut. Surat Segel ini bisa diteruskan hingga jadi sertifikat tanah,” tutur Ketua LBH Palangka Raya, Aryo Nugroho, saat dihubungi IDN Times, Senin (17/2/2020).   

Biasanya, konflik horizontal terkait Surat Segel muncul karena tanah yang diklaim oleh warga beririsan dengan tanah warga lainnya. Hal ini sangat lumrah mengingat sistem pendaftaran tanah di Indonesia adalah negatif bertendensi positif. Negara cenderung pasif soal pendataan tanah, dengan menerima laporan dari warga untuk diverifikasi kembali. Tidak pro-aktif dengan mendata tanah secara langsung.

Warga yang terlanjur mengelola tanah tidak terima dengan klaim tanah yang baru saja diajukan oleh warga lainnya. Sementara, warga yang baru mengklaim tanah biasanya mengaku sudah memiliki tanah tersebut sejak lama namun belum sempat diurus kembali.

“Kebiasaan umum di Kalimantan, karena dulu di sini semua hutan, siapa yang membuka tanah, maka dialah pemilik tanah tersebut. Permasalahannya, sejak ada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), warga tidak ada yang mengkonversi karena menurut mereka selama ini tidak ada masalah dengan tetangga. Pas ramai investasi di calon Ibu Kota, barulah orang meributkan legalitas tanah itu,” sambung Aryo.

Perkara konflik vertikal dengan pemerintah pusat, biasanya BPN juga mengeluarkan sertifikat tanah atas lahan yang telah diklaim oleh warga melalui Surat Segel.

“Kalau begini, nanti tinggal dilihat mana yang lebih tua suratnya. Putusan PTUN Palangka Raya, pernah membatalkan surat sertifikat tanah dengan warga yang menggugat hanya bermodalkan Surat Segel,” terang dia.  

Kendati terkesan dilematis dan berpotensi melahirkan konflik, Ari mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menolak permintaan warga yang ingin membuat Surat Segel.

“Kami ini kan pelayan masyarakat, ya jadi kalau ada yang minta buatkan surat segel, kami gak bisa nolak. Tapi kami juga akan melakukan proses verifikasi tanah dengan seksama,” kata Ari.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya