TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Gen Millennial, Yuk Kenali  Sosok 4 Pahlawan Reformasi Mei 1998

Mereka meninggal, untuk demokrasi

Trisakti Picture;Wahyu Hasianta

Jakarta, IDN Times -  Sampai akhir hayatnya, Hira Tetty Yoga tak juga mendapat keadilan atas kematian putranya, Elang Mulia Lesmana.  

Bunda Tetty, demikian perempuan itu biasa dipanggil, berpulang kepadaNya, kalah bertempur melawan kanker yang menggerogoti tubuhnya belakangan ini.  Hampir 20 tahun dia menunggu, berjuang mencari keadilan atas tewasnya putra tercinta dalam Tragedi Trisakti 12 Mei 1998. 
 
"Sepeninggalnya Bunda Tetty, kami seluruh aktivis alumni Universitas Trisakti masih dan akan terus menagih utang penyelesaian atau penuntasan kasus ini kepada Pemerintah sampai benar-benar tuntas," kata Saidu Solihin, Ketua Ikatan Alumni Universitas Trisakti, seperti dikutip dari Antara, Senin (26/2/2018).

Maut menjemput empat mahasiswa Trisakti, Selasa malam, 12 Mei 1998.  Elang saat itu mahasiswa Arsitektur Universitas Trisakti.  Ketiga rekannya yang juga ditemukan tak bernyawa setelah serbuan tembakan ke arah kampus, Selasa malam, 20 tahun lalu itu adalah, Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi), Hafidhin Royan (Teknik Sipil), dan Hery Hartanto (Teknologi Industri).

Presiden keenam Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada 15 Agustus 2005 memberikan Bintang Jasa Pratama kepada Elang bersama mahasiswa Trisakti lain yang meninggal dalam tragedi tersebut.  Mereka dianggap Pahlawan Reformasi.
Tapi itu tidak cukup.  Keadilan tak bisa ditukar status bintang jasa.

Setelah 20 tahun, generasi millennial dan gen Z perlu mengenal sosok mereka, empat mahasiswa yang saat seusia kalian, meregang nyawa diterjang peluru, memperjuangkan kebebasan, dan demokrasi yang sekarang kita nikmati.

Berikut profil empat mahasiswa itu sebagaimana dimuat Majalah Mingguan Gatra edisi 23 Mei 1998. IDN Times sudah mendapatkan izin untuk memuat secara lengkap profil para Pahlawan Reformasi ini.

Baca juga: Kronologi Reformasi Mei 1998, Terjungkalnya Kekuasaan Soeharto

Baca juga: Jadi Target Operasi Kopassus, Aktivis 1998 Ini Dilindungi Marinir

1.    Elang Mulia Lesmana,  Mahasiswa Fakultas Teknik Arsitektur, Angkatan 1996

Trisakti Picture

Penampilannya gagah, berwajah tampan, berkulit putih bersih, dan berambut hitam berombak. Pemuda murah senyum ini selalu menyapa siapa saja yang berpapasan dengannya. Itulah Elang Mulia, kelahiran Jakarta, 5 Juli 1978, buah hati dari pasangan Boy Bagus Yoganadita Rahman dan Hira Tetty Yoga.

“Sebagai pengunjuk rasa, Elang bukanlah aktor ataupun konseptornya. Keponakan penyanyi “Sendu” Nia Daniaty itu, sesuai dengan pembawaannya, lebih suka bercanda. Dalam suasana yang serius dan emosi pun, Elang masih bisa bercanda.

Lihat misalnya ketika rekan-rekannya menggelar spanduk dan poster yang “keras-keras”, Elang berani tampil beda dan kocak. Dengan santai ia mangacung-acungkan poster bertuliskan: “Turunkan Harga Fotokopi dan Minyak Wangi!” Inilah, barangkali, satu-satuya poster “lain” yang digelar oleh seseorang pengunjuk rasa dalam atmosfer demonstrasi keras dan memanas itu.

“Saya ikhlas, Elang mati sebagai pejuang,” tutur Hira Tetty ketika mengantar kepergian anaknya ke liang lahat, dengan suara berat tertelan, 13 Mei 1998.

Anak kedua dari enam bersaudara yang tinggal di kawasan Graha Permai, Ciputat, itu sejak kecil sudah punya hobi melukis. Ketika menginjak remaja, penggemar seafood ini gandrung dengan olahraga basket.

Kegemarannya melukis itulah yang mengantarkannya studi ke jurusan arsitektur. “Itu sudah cita-citanya sejak kecil,” kata salah seorang pamannya, Untung. Sebagai mahasiswa, Elang sangat rajin belajar, jujur, dan cerdas. Buku tentang arsitektur, baik yang berbahasa Inggris dan Indonesia, mendominasi rak bukunya. 

“Ia tak pernah menyusahkan orang tua,” kenang sang ibu. Bahkan, selama tiga hari sebelum lehernya tertembus peluru petugas keamanan, di malam hari, Elang tidur minta ditemani ibunya. Dengan tulus sang ibu menuruti permintaan anaknya yang berusia 19 tahun itu.

Kepergian Elang yang begitu cepat itu menyebabkan bukan hanya keluarganya saja yang merasa kehilangan, juga teman-teman kuliahnya. “Kami kehilangan seorang teman yang ramah dan suka menolong,” tutur seorang teman almarhum.

“Elang telah tiada, perjuangan harus dilanjutkan,” kata Boy, sang ayah, yang dengan tegar memberi semangat pada rekan-rekan almarhum, mahasiswa Indonesia, yang kini gencar menuntut reformasi itu. 

2.    Hafidin Royan,  mahasiswa Fakultas Teknik Sipil, angkatan 1996

Trisakti Picture

Penampilan pemuda yang lahir di Bandung, 28 September 1976, ini kalem. Anak keempat dari lima bersaudara pasangan Ir. Enus Yunus, pegawai Binamarga Pusat, dan Ir. Sunarmi, pegawai Puslitbang Pengairan, Jawa Barat, ini menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja di Bandung. 

Setelah menamatkan SMU di Bandung tahun 1966, Royan melanjutkan pendidikannya ke Trisakti. Di Jakarta, Royan ikut ayahnya dan tinggal di perumahan Cipayung, Jakarta Timur. Bila tak ada kesibukan di kampus, hampir setiap akhir pekan Royan pulang ke Bandung.

Royan adalah satu-satunya anak lelaki yang dipunyai pasangan Enus Yunus dan Sunarmi. Meski berpenampilan kalem, Royan suka bercanda, terutama pada kakak dan adiknya. Menurut penuturan seorang kakaknya, Husnun, Royan tak jarang menggoda saudara-saudaranya itu. Kalau candaannya itu membuat kesal sang kakak atau adik, Royan selalu mengatakan, “Ah, begitu saja kok marah!”

Di mata orangtuanya, Royan adalah anak baik, tak pernah macam-macam. “Dia itu anak saleh dan giat belajar,” kata Sunarmi, sang ibu. Pengakuan sang ibu tak berlebihan. Di kampusnya, almarhum dikenal sebagai seorang ustaz. “Soalnya, ia sangat rajin mengajak teman-temannya salat tepat waktu,” begitu kata salah seorang temannya. 

Sebagai aktivis, Royan tak pernah berada di garis depan, dan tak pula menyemburkan umpatan. Ia berhati-hati, dan sopan. “Dia hanya ikut-ikutan saja, sebagai solidaritas,” kata seorang temannya yang enggan disebut jati dirinya. Ia hanya berdiri, dan sesekali ikut memberi semangat berupa tepukan. 

Di hari Selasa sore 12 Mei 1998 ketika salah seorang temannya, Agung, mau mengambil posisi di depan dalam berunjuk rasa, almarhum sempat mengingatkannya. “Jangan jauh-jauh, nanti kena,” tutur Agung menirukan saran almarhum.

Saat itulah keduanya pisah, karena Agung tetap berada di barisan terdepan. Maka, ketika kepala Royan tertembus peluru, Agung pun tak tahu. Di akhir minggu, Royan sempat ditanya ibundanya, kapan akan pulang ke Bandung? “Mungkin hari Rabu,” jawabnya. 

Ternyata benar. Di hari Rabu itu Royan datang ke Bandung, untuk dimakamkan di TPU Pasir Layung, yang berjarak 200 meter dari rumah duka di Gang Sirnagalih, Padasuka, Bandung. 

Baca juga: Melacak Jejak Reformasi Mei 1998, Ini Petanya

3. Hendriawan Lesmana, Fakultas Ekonomi, angkatan 1996

Trisakti Picture

Rabu dini hari, 13 Mei 1998, telepon di rumah Hendriksie di Balikpapan berdering nyaring. Si penelepon, Subaning, tak lain adalah adik iparnya, mengabarkan bahwa Hendriawan Lesmana telah gugur sebagai pahlawan reformasi. “Dada ini langsung terasa sesak,” kata Hendriksie, ayah Hendriawan. Berita duka itu pun diteruskan pada istrinya, Karsiah, yang langsung pingsan. Kedua orangtua almarhum baru bisa terbang ke Jakarta, Rabu pagi. 

“Syukur alhamdulillah, kami masih bisa melihat dan mengantarkan jenazahnya,” tutur sang ayah dengan mata berkaca-kaca. “Aksi di dalam kampus kok ditembak, kan sah-sah saja,” kata sang ayah dengan wajah yang tak bisa menyembunyikan kesedihan. 

Hendriawan lahir di Balikpapan, 3 Mei 1978. Anak tunggal pasangan Hendriksie dan Karsiah ini menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja di kota minyak Balikpapan. Pemuda bertampang macho dengan rambut sebahu yang disisir rapi itu juga dikenal sebagai pemusik, dengan petikan gitarnya yang cukup memukau. Tak hanya itu, berjalan di atas catwalk, sebagai peragawan, juga pernah dilakoninya.
 
Pada 1996, usai tamat SMU di kota kelahirannya, Hendriawan masuk Fakultas Ekonomi di Universitas Trisakti. Di Jakarta, Hendriawan ikut pamannya, Subaning –pegawai pemerintah DKI- di Kawasan Kedoya, Jakarta Barat. Di kalangan anak-anak di kawasan Kedoya itu, Hendriawan dikenal sebagai pencerita yang suka memberi permen. “Sejak kecil ia memang sudah pandai bercerita,” tutur Subaning.

Sehari sebelum putranya gugur, Hendriksie -bekerja di PT THIESS Contractor- menerima dua pucuk surat dari almarhum. Isinya, ia meminta uang, karena koceknya sudah menipis, minta didoakan juga agar ujian semester bisa dijalaninya dengan baik, dan ceritanya panjang lebar tentang gerakan reformasi yang diperjuangkan mahasiswa Indonesia.

“Tentang aparatur keamanan bentrok dengan mahasiswa, dan soal PHK juga diceritakan,” tutur Hendriksie.

Karena itu, Selasa pagi, 12 Mei 1998, sang ayah langsung mentransfer sejumlah rupiah ke rekening Aalmarhum. Tapi rupanya uang itu belum sempat diambil, karena sore harinya Hendriawan terkena tembakan yang mematikan itu. 

Baca juga: Tak Kalah Heroik, Begini Aksi Mahasiswa Surabaya Menuntut Reformasi 1998

 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya