Ironi 17 Agustus di "Kampung Syiah", Bak Imigran di Negeri Sendiri
"Kami gak punya air ajaib, Kami gak bisa hipnotis"
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Surabaya, IDN Times - Hari kemerdekaan telah tiba. Tujuh puluh tiga tahun sudah Indonesia terbebas dari penjajah. Bendera Merah-Putih di setiap rumah menjadi pemandangan yang lumrah. Lagu Hari Merdeka menjadi lantunan melodi yang begitu akrab. Kerupuk, kelereng, dan belut menjadi komoditi yang paling banyak dicari menjelang 17 Agustus 2018. Semua itu adalah panorama yang begitu dinanti ketika hari bersejarah itu tiba.
Namun, seluruh bayangan tersebut seakan pupus di Rusunawa Jemundo. Jangankan kumandang lagu Hari Merdeka, pernak-pernik kemerdekaan saja hampir tidak ada di rusun yang berlokasi di Jalan Raya Sawunggaling, Jemundo Taman, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Yang ada di sana hanyalah dua umbul-umbul merah-putih selebar 250x50 centimeter.
Lebih ironis lagi, warga setempat sering lupa dengan nama asli rusun tersebut. Rusun empat tingkat dan dua blok itu lebih dikenal sebagai Rusun Syiah. Ya, itulah tempat pengungsian penganut Syiah Sampang. Mereka terusir setelah tempat tinggalnya dibakar. Sebagian keluarga mereka menjadi korban persekusi, bahkan harus meregang nyawa. Jika dihitung, inilah tahun keenam bagi sekitar 81 keluarga atau sekitar 340 jiwa di sana merayakan momen kemerdekaan.
"Yaa kalau setiap tahunnya memang kami pasang bendera-bendera mas. Cuma, karena memang di sini, sebelum Agustus-an, ada yang kecelakaan. Harus dijahit, dirawat di rumah sakit. Akhirnya uang urunan yang harusnya buat bendera kami berikan untuk membantu mereka," terang Iklil Almilal kepada IDN Times, Jumat (17/8). Dia adalah koordinator pengungsi Syiah Sampang.
Sepi dan hening. Begitulah suasana Rusunawa Jemundo di pagi 17 Agustus 2018. Kala itu jarum jam menunjukkan pukul 09.30 WIB. Tidak ada upacara di sini. Menurut Iklil, momen kemerdekaan hari ini tidak ada bedanya dengan tahun-tahun sebelumnya.
"Kami begini-begini saja mas. Paling lomba-lomba buat anak kecil. Palingan juga kami nanti malam akan mengadakan doa bersama," lanjutnya dengan aksen Madura yang begitu kental. Mewakili suara pengungsi, pria berusia 46 tahun itu berharap agar pemerintah mewujudkan kemerdekaan yang hakiki bagi mereka.
Lantas, apa arti kemerdekaan bagi mereka? Apakah sesungguhnya mereka masih "terjajah"?
Baca Juga: Ma'ruf Amin Jadi Cawapres, Pengungsi Syiah Yakin Tak Akan Difatwa Sesat
1. Merasa menjadi korban politisasi agama akibat Pilkada
Kotor dan penuh tumpukan sampah beraroma tak sedap. Itulah kesan pertama yang pasti ditangkap oleh pendatang baru. Tembok yang dulunya putih mulai tertutup oleh lumut. Ubin yang awalnya berwarna putih mulai berubah menjadi hitam. Bahkan, tiang penyangga yang harusnya kokoh mulai rapuh seakan termakan usia.
Tepat 21 Juni 2013 silam mereka mulai menjadi penghuni Rusunawa Jemundo. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa setelah kampungnya dibumihanguskan. Para pengungsi merasa bahwa apa yang mereka rasakan saat ini adalah buah dari politisasi agama saat Pilkada.
"Sebelumnya kami tinggal di Gor Sampang selama 9 bulan. Akhirnya pemerintah memindahan kami ke sini. Yaa beginilah kondisinya, kami tinggal di kamar dengan luas 5x6 meter, itupun ada yang keluarganya 8 orang. Pastinya gak cukup mas," ujarnya.
Pemerintah memang memberikan kompensasi setiap bulannya sebesar Rp709 ribu untuk setiap jiwa. Kendati begitu, Iklil mengatakan angka tersebut sangatlah kurang untuk tetap hidup di tahun 2018. "Kami kan punya anak. Ada yang SMP, SMP, ada juga yang kuliah," kata dia. "Kalau memang kami gak punya uang, kami akan minta sekolah supaya mengizinkan hutang dan dibayar bulan depan."
"Kami sangat yakin mas kami ini korban fitnah. Kami korban kepentingan. Kami dianggap mengubah tatanan Sampang. Itulah yang dijadikan alat politik saat Pilkada. Akhirnya yang gak senang sama kami tega membakar rumah kami. Kenapa kami yakin korban fitnah? Karena kami bertemu dengan mereka yang membakar dan mereka sudah minta maaf. Mereka mengakui bahwa mereka tersulut fitnah," Iklil menambahkan.