Kisah Sapto Wibowo, Sang Tunanetra Pencari Lailatul Qadar
Sapto melantunkan Al-Qur'an dengan sangat indah dan merdu
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Pukul 23.00 WIB. Suasana Masjid Fathullah UIN Syarif Hidayatullah malam 24 Ramadan tidak terlalu ramai. Bukan saja karena hujan deras yang baru mereda. Tapi kebanyakan muslim memilih untuk beritikaf pada malam ganjil, waktu yang diyakini turunnya lailatul qadar.
Begitu memasuki masjid yang berada di bilangan Tangerang Selatan, hanya bising kendaraan yang terdengar. Maklum, letak masjid ini berada tepat di Jalan Ir. H. Juanda, salah satu jalur utama non-tol yang meghubungkan antara Jakarta-Bogor. Deru transportasi beradu dengan dengung kipas angin. Sesekali persaingan diramaikan dengan dengkuran mereka yang terlelap di pelataran masjid.
Dari kejauhan sayup-sayup terdengar lantunan tilawah. Sekilas tidak ada yang spesial. Terlebih, banyak santri dan mahasiswa pengampu studi agama yang ikut beritikaf. Artinya, mendengar seseorang yang mampu membaca Al-Qur'an dengan tartil di masjid ini merupakan hal yang lazim.
Setelah mengamati suasana masjid beberapa menit, saya memilih saf keempat di sisi kiri masjid sebagai tempat itikaf. Tempat itu dipilih karena jaraknya berjauhan dengan jemaah itikaf lain. Protokol kesehatan terikat kepada siapapun yang memasuki masjid. Setelah menggelar sajadah dan menurunkan peci serta tas selempang, kemudian saya bergegas untuk mengambil wudu.
Perjalanan antara saf menuju kamar mandi itulah yang mengubah malamku. Semakin saya berjalan, semakin dekat dengan satu-satunya sosok yang bertilawah malam itu. Dia duduk tegap. Al-Qur'an yang sangat besar bersimpuh di antara sila kakinya. Tepat berada di belakangnya, saat itulah saya menyadari bahwa dia seorang tunanetra yang sedang “membaca” Al-Qur'an braille.
Baca Juga: Menemui Para Pecinta Tuhan: Pencari Malam Lailatul Qadar
1. Kisah pertama kali berkenalan dengan Al-Qur'an braille
Karena tidak enak hati menyela tilawah Al-Qur'annya, saya menahan diri untuk bercengkrama hingga waktu istirahat. Setidaknya dia sudah tidak lagi membaca Al-Qur'an. Sembari menunggu, sayapun menunaikan salat tarawih 20 rakaat yang sempat tertunda.
Setelah menuntaskan salat tarawih selama 30 menit, masih terdengar suara ngajinya. Saya kemudian mengambil Al-Qur'an untuk menyambung bacaan hari-hari sebelumnya. 15 menit berselang, usai membaca tiga halaman terakhir Surat Al-Ahzab, suara tilawah tidak lagi terdengar. Lelaki itu menutup Al-Qur'an. Terlihat dari jauh dia memegang telepon genggam.
Lantaran penasaran bagaimana tunanetra menggunakan gawai, saya sempat berdiri di belakangnya selama beberapa saat. Rupanya, dia memanfaatkan voice note untuk berkomunikasi melalui perangkat elektronik. Gawai didekatkan dengan telinga. Dia menggulirkan tangan ke atas beberapa kali, tepat di atas layar gawai, untuk memastikan dia memperoleh pesan suara yang terbaru. Dia juga mengetahui bagaimana merekam suara, untuk membalas pesan masuk.
“Assalammu’alaikum, Pak,” sapa saya, sembari duduk di sebelah kirinya.
Ketika berada tepat di hadapannya, saya bergumam dalam hati, “dia pasti orang yang rajin salat.” Demikian kesan pertama saat melihat dahinya yang menghitam. Pertanda dia sangat sering sujud.
“Wa’alaikumsalam,” jawab dia, sambil mengarahkan tangan kanannya ke sumber suara. Menandakan dia ingin bersalaman dengan lawan bicara.
Setelah berjabat tangan, lelaki itu kemudian memperkenalkan diri. Dia adalah Sapto Wibowo, tunantera berusia 39 tahun yang memperoleh gelar sarjana sosiologi agama dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kediamannya di Pamulang, sekitar 7-8 kilometer dari masjid. Sapto bertolak dari rumahnya menuju masjid dengan niat itikaf menaiki angkutan umum.
“Alhamdulillah sudah bisa mandiri ke mana-mana,” kata dia, yang sudah tidak memiliki pengelihatan sejak lahir.
Pertama kali Sapto mengenal tulisan, termasuk berkenalan dengan huruf hijaiyah, ketika dia mengenyam pendidikan di Panti Sosial Tuna Netra Tan Miyat Bekasi. Kendati begitu, Sapto sesungguhnya telah akrab dengan Al-Qur'an sejak kecil.
“Bedanya kalau dulu anak-anak membaca, saya mendengar kemudian menghafal,” ujar lelaki kelahiran Cipete.
Minat Sapto untuk menghafal Al-Qur'an muncul ketika dia berusia 15 tahun, sekitar periode 1995-1996. Inisiatif itu muncul karena dia kesulitan menemukan Al-Qur'an braille masa itu. Sekalinya ada, dia tidak menemukan Al-Qur'an sesuai dengan surat yang ingin dibaca.
“Sekalinya ada Al-Qur'an (braille) itu juz pertengahan. Akhirnya saya inisiatif untuk menghafal Al-Baqarah dari kaset, jadi dengernya diulang-ulang,” sambungnya.
Kedekatan dengan Al-Qur'an mengantarkan Sapto hingga Yayasan Raudlatul Makfufin, setelah lulus dari Tan Miyat Bekasi. Lembaga pendidikan yang berlokasi di Serpong, Tangerang Selatan itu dikhususkan sebagai pesantren tunanetra. Di sanalah Sapto mendalami Al-Qur'an, mulai dari hafalan hingga membaca Al-Qur'an braille.
Butuh waktu tiga bulan baginya untuk bersahabat dengan huruf braille hijaiyah. Di pesantren itu pula Sapto memperoleh syahadah tahfiz dua juz, untuk juz 1 dan juz 30.
“Kemudian pas di kampus juga ikut LTTQ (Lembaga Tahfizh dan Ta’lim Alquran). Di Raudlatul Makfufin dan di LTTQ saya suka setor hafalan dengan guru-guru. Tapi karena keterbatasan waktu dan lain hal, akhirnya hanya dua juz yang disetorkan,” jelas Sapto.
Baca Juga: [Foto] Ramai-ramai Itikaf di Masjid Habiburrahman Bandung