TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Meutya Hafid Ungkap Sisi Lain Teroris yang Menyekapnya di Irak

Mereka heran uang SPJ wartawan yang kecil tapi mau ke Irak

Instagram.com/@meutya_hafid

Jakarta, IDN Times- Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Meutya Hafid, menceritakan pengalamannya ketika disekap oleh salah satu kelompok terorisme di Irak. Yang menarik, dia justru melihat sisi kemanusiaan ketika disekap berhari-hari bersama para teroris.

“Saya disekap di goa. Orang Timur Tengah kan badannya gede-gede. Semuanya pegang senjata laras panjang. Saya selamat pasti karena ada sedikit sisi kemanusiaan dari orang yang menyandera saya. Kalau gak ada, gak mungkin selamat,” ungkap Meutya di Palmerah, Jakarta Barat, Selasa (9/8) malam.

1. Disekap oleh anak berusia remaja

Instagram.com/@meutya_hafid

Kala itu, tahun 2005, Meutya merupakan wartawan Metro TV yang sedang bertugas di Irak bersama rekannya, Budiyanto. Pada hari ketiga penyanderaan, Meutya sempat bercengkrama dengan seorang teroris yang kira-kira berusia 17 tahun. Hal yang lucu adalah orangtua dari teroris tersebut tidak tahu bila ia menculik orang.

“Hari ketiga, sudah agak longgar, sudah mulai bercanda. Anak muda usia 17 itu cerita ‘besok akan ada yang menggantikan saya untuk menjaga kamu’. Saya tanya, kenapa? katanya “karena saya bilang sama ibu saya kalau saya menginap di rumah tante’. Ibunya bahkan tidak tahu kalau anaknya menculik seorang wartawan,” bebernya.

Baca Juga: Kerap Dikaitkan dengan Aksi Teroris, Apa Sih Makna dari Radikalisme? 

2. Berbicara tentang uang jalan wartawan

Instagram.com/@meutya_hafid

Mereka saling berkomunikasi tentang anak dan pekerjaan. Bahkan, salah satu teroris bertanya tentang berapa uang jalan yang diberikan kantor kepada Meutya untuk bertugas di Irak.

“Dia (teroris) nanya, berapa uang jalan kamu, kok mau ke Irak? Dikasih berapa sama kantor? Angka yang bagi mereka malah gak masuk akal,” kata Meutya.

“Artinya ini percakapan yang bukan semata-mata antara penyandera dengan yang disandera, tapi percakapan sesama manusia,” lanjutnya.

3. Orang tidak dilahirkan menjadi teroris

Instagram.com/@meutya_hafid

Dari berbagai pengalaman tersebut, Meutya bisa menyimpulkan bahwa seseorang tidak dilahirkan untuk menjadi teroris. Ada proses hidup yang mengubah pola pikirnya.

“Orang-orang ini (para teroris) adalah orang biasa, yang kemudian negaranya diinvasi. Setiap hari dengar keluarganya mati. Saya aja yang 10 hari merasa tertekan karena suasana, ada jam malam, ke mana-mana diperiksa,” ujarnya.

Baca Juga: UU Terorisme Masih Mengabaikan Korban, Ini Kritik dari AIDA

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya