Pemulung: Saya Warga DKI, Tidak Dapat Sembako dan Tak Tahu Prakerja
Seminggu terakhir Kuat hanya bisa mengumpulkan Rp30 ribu
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Satu jam menjelang magrib, Kuat Turyono bersama istri dan tiga anaknya menepi di pinggir jalan. Sejak pukul 11.00 WIB, mereka menjajaki ruas Kalibata-Mampang-Pancoran untuk mencari rongsokan. Dari botol minum bekas sampai kardus tak terpakai. Semua yang memiliki nilai jual pasti mereka angkut. Tapi sayang, hingga jarum jam menunjukkan angka 17.00 WIB, tak banyak barang yang dibawa Kuat di gerobaknya.
Dua bulan terakhir, Kuat merasakan hidup keluarganya kian terhimpit kemiskinan. Di satu sisi, dia menyadari betapa bahayanya virus corona. Di sisi lain, dia tidak tega melihat istri dan anak-anaknya mengeluh akibat perut yang tak kunjung berisi. Alhasil, imbauan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) terpaksa dia abaikan. Baginya, lebih mulia mati terkena penyakit daripada mati dilindas kelaparan.
“Tahu kalau ada imbauan PSBB. Tapi ya kalau gak kerja, apa pemerintah nyuruh anak saya mati kelaparan di rumah? Yang ada bukannya mati gara-gara penyakit, keluarga saya mati karena kelaparan,” ungkap lelaki yang sudah berjuang mengais rezeki di Ibu Kota sejak 1988 itu kepada IDN Times, Senin (4/5) lalu.
Di tangan sang istri, Sukarti, terlihat ada dua buah donat. Pemberian orang-orang yang merasa iba kepada mereka. Donat itu dijaga baik-baik, terlihat ada bekas gigitan kecil. Sukarti tidak ingin donat yang sedikit itu membuat tiga anaknya bertengkar. Berebut makanan. Tidak jarang Sukarti dan Kuat rela menahan lapar dan memberikan makanannya kepada sang buah hati.
“Yang penting anak gak kelaparan. Kalau ada pendapatan ya cukup buat anak-anak sehari-hari aja. Orang tua bisa nahan lapar, tapi jangan sampai anak-anak kelaparan terus sakit,” tambah Sukarti.
Baca Juga: Kakek Sebatang Kara di Tangsel Ini Belum Dapat Bansos
1. Akibat COVID-19 dan PSBB, Kuat hanya bisa kumpulkan Rp30 ribu seminggu terakhir
Sebelum COVID-19 menjadi momok mengerikan, Kuat bekerja sebagai pengepul sampah di sekitar tempat tinggalnya. Dia bekerja dari pukul 08.00 hingga 11.00 WIB. Oleh warga setempat, dia dibayar Rp1 juta per bulan.
Tetapi, besaran itu belum cukup untuk menghidupi keluarganya. Sewa kontrakannya saja, di sekitar Pasar Mampang Prapatan, Rp700 ribu per bulan. Tidak mungkin Rp300 ribu sisanya bisa menghidupi satu keluarga. Karena itu, Kuat memilih bekerja sambilan sebagai pengepul sampah.
“Dari jam 11.00 WIB sampai magrib itu ya pengepul rongsokan, keliling Kalibata-Mampang-Pancoran-Kuningan. Untuk tambahan-tambahan, karena gak cukup dari gaji saja,” tambahnya.
Dari pengepul rongsokan sekalipun Kuat tidak bisa mengumpulkan banyak uang. Sekurangnya, dia bisa mendapat tambahan Rp150 ribu hingga Rp200 ribu seminggu. Tapi, akibat virus corona dan imbauan PSBB, seminggu terakhir Kuat hanya mendapat Rp30 ribu.
“Karena semakin sedikit barang yang bisa dijual rongsokannya. Ini saja belum bayar kontrakan dua bulan. Karena virus corona juga sekarang sudah gak ngumpulin sampah lagi di RT,” ungkap lelaki kelahiran Pangandaran itu.
Baca Juga: Ombusman Jakarta Terima 25 Pengaduan Warga soal Bansos Dampak COVID-19