TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Ramai Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran, Ini 3 Hal Yang Harus Dikritisi

Dalam Islam, wanita diperbolehkan aktif di ranah publik

IDN Times/Sukma Shakti

Jakarta, IDN Times - Ribuan pemuda hadiri deklarasi gerakan Indonesia Tanpa Pacaran (ITP) di Islamic Center Bekasi, Minggu 15 April lalu. Tak ketinggalan, aktor muda Cholidi Asadil Alam juga hadir dalam acara ini dan mendukung gerakan ini.

Silang pendapat pun terjadi menanggapi deklarasi ini. Munafar menyebut solusi meninggalkan pacaran adalah menikah muda, dengan syarat sudah mampu secara lahir dan batin. Misalnya, cuitan Firliana Purwanti yang diteruskan oleh pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Tunggal Pawestri.

Melalui akun @TheOproject milik Firliana, dia menulis “Oh come on. There’s so much more in life than dating and marriage. Young women, get education, study hard. Trust me, that’s the real path to fredom. Freedom from want, freedom from violence,”.

Baca juga: Indonesia Ditargetkan Terbebas dari Budaya Pacaran pada 2024

1. Melalui komunitas ITP harusnya bisa membentuk kematangan jiwa

IDN Times/Sukma Shakti

Ketua Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Abdul Halim berpendapat, pada dasarnya pacaran adalah budaya yang dilarang dalam Islam. Karenanya, gerakan semacam ITP tidak perlu dideklarasikan secara massif.

“Kalau saya melihat ITP, pacaran kan sebenarnya memang tidak dianjurkan dalam Islam. Apalagi model berduaan, bertemu, itu dalam Islam pun tidak dibenarkan. Fokusnya, harus nya itu melalui komunitas bisa membentuk kematangan jiwa,” ujar Halim kepada IDN Times, Senin (17/4).

Meski demikian, kata Halim, sebagai gerakan dakwah, niat tulus ITP patut dihargai. “Tapi sebagai bentuk dakwah, untuk mengantisipasi kemungkinan hamil di luar nikah atau hubungan ilegal, mungkin itu salah satu usaha mereka untuk mengantisipasi itu. Ya, bisa diambil nilai positifnya,” kata dia.

2. Penetapan standar kesiapan untuk menikah

IDN Times/Sukma Shakti

Sebagaimana pernyataan Munafar kepada IDN Times, standar menikah bukanlah usia, melainkan kesiapan terhadap materi, fisik, dan mental untuk membangun bahtera rumah tangga.

Namun, Halim sedikit berpendapat berbeda. Pernikahan harus memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan oleh negara dan syariat Islam. “Tidak ada itu istilah menikah sah dari segi agama atau dari segi negara saja. Harus sah secara dua-duanya. Karena bisa jadi menimbulkan banyak mudarat jika hanya satu yang dipenuhi,” kata dia.

Pembahasan soal kesiapan fisik dan mental atau bahkan secara sosiologis dan psikologis, kata Halim, tidak bisa dipukul rata. Setiap orang memiliki standar kesiapannya masing-masing. Dia menyebut istilah itu sebagai kondisi objektif.

Menurut Halim, negara telah mengatur usia batas nikah sebagaimana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 7, batas usia untuk laki-laki adalah 19 tahun dan 16 tahun untuk perempuan.

Baca juga: Eksklusif: Mengenal Gagasan Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya