Virus Corona, Para Ahli Ajarkan Berislam di Era Pandemik
Ini perjuangan kolektif umat
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - “Kami lebih takut sama Allah. Karena setiap manusia pasti mati, kami takut dengan sakit, kematian. Tapi ada sesuatu yang lebih penting daripada jasad, yaitu jiwa kami,” ujar Mustari Burhanuddin, salah satu panitia Ijtima Ulama Dunia 2020 di Gowa, Sulawesi Selatan, sebagaimana dikutip dari Reuters.
Imbauan pembatasan fisik (physical distancing) di tengah pandemik COVID-19 tidak mengendurkan semangat ribuan umat Islam untuk berkumpul di Gowa, Sulawesi Selatan. Pada Rabu, 18 Maret 2020 itu, diperkirakan lebih dari 8.956 orang dari 12 negara dan 29 provinsi sudah berada di Gowa untuk menghadiri Ijtima Ulama Dunia 2020.
Pemerintah daerah berupaya menunda acara tersebut mengingat sifat penyebaran virus corona yang begitu cepat. Kepolisian daerah juga dituntut untuk tidak mengeluarkan surat izin keramaian. Kendati begitu, panitia penyelenggara bersikukuh untuk mengadakan acara yang diagendakan berlangsung pada 19-22 Maret dengan dalih tidak sepatutnya umat Islam takut terhadap penyakit yang juga ciptaan Allah SWT.
Atas permintaan Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Letnan Jenderal TNI Doni Monardo, lewat kepala daerah dan kepolisian, akhirnya panitia menunda acara tersebut. Tetapi kerumunan ribuan orang di Gowa dan sekitar Makassar tak bisa terhindarkan. Kekhawatiran menjadi nyata ketika satu orang asal Balikpapan dinyatakan meninggal dunia akibat virus corona setelah kembali dari Gowa.
Kini, Ijtima Ulama di Gowa menjadi salah satu klaster COVID-19 yang paling mematikan di Indonesia. Bukan hanya Kalimantan yang merasakan imbasnya. Hasil penelusuran pasien positif virus corona di Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, bahkan Thailand, kebanyakan dari mereka memiliki riwayat pernah mengunjungi Gowa.
Pemerintah daerah tentu tidak ingin kecolongan. Sejak acara resmi ditunda pada Kamis, 19 Maret 2020, Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah telah memerintahkan jajarannya untuk mengambil langkah-langkah pencegahan. Mulai dari penyemprotan disinfektan di titik-titik keramaian, penyediaan tempat karantina, hingga fasilitas transportasi untuk pemulangan peserta.
Sayangnya, ikhtiar tersebut belum cukup untuk meminimalisir jumlah penderita virus corona imbas kerumunan di Gowa.
Menjadikan sejarah pandemik sebagai pelajaran
Kejadian di Gowa patut disayangkan karena banyak peserta dan panitia yang tidak mengambil ibrah dari tabligh akbar di Malaysia yang berlangsung pada 28 Februari hingga 1 Maret 2020. Otoritas setempat memprediksi jumlah peserta yang hadir mencapai 16 ribu orang. Dari angka tersebut, per 15 Maret 2020 atau 4 hari sebelum Ijtima Ulama Dunia di Gowa, lebih dari 190 orang terinfeksi virus corona. Angkanya berlipat menjadi 1.290 orang pada 30 Maret 2020. Seharusnya, empat hari adalah waktu yang cukup bagi panitia untuk mempertimbangkan keberlangsungan acara tersebut di tengah pandemik.
Pertanyaannya, kenapa patut disayangkan? Karena mereka yang merasa beriman, lantaran menghadiri forum-forum keagamaan, justru menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan seruan Allah SWT. Salah satu ciri orang beriman adalah belajar dari kejadian masa lalu untuk diambil hikmahnya. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al-Hasyr:18)
Guru besar bidang Tafsir Alquran, Muhammad Quraish Shihab, dalam Tafsir Al-Mishbah memaknai ayat tersebut sebagai kewajiban seorang muslim untuk menyambut hari yang akan datang dengan perbaikan dan penyempurnaan.
Lebih lanjut, dengan mengutip pernyataan ulama Muhammad Husayn Tabataba'I, mantan Menteri Agama Republik Indonesia itu menyarankan seluruh umat muslim untuk berkaca pada tukang bangunan dalam urusan evaluasi diri.
“Tukang yang telah menyelesaikan pekerjaannya dituntut untuk memperhatikan kembali agar menyempurnakannya bila telah baik, atau memperbaikinya bila masih ada kekurangannya, sehingga jika tiba saatnya diperiksa, tidak ada lagi kekurangan dan barang tampil sempurna. Setiap mukmin dituntut melakukan hal itu,” tulis Quraish.
Keterkaitan sejarah dengan virus corona adalah tidak seharusnya umat Islam panik atau “kehilangan arah” di tengah situasi pandemik ini. “Kehilangan arah” dalam arti mengabaikan segala anjuran pemerintah dan ulama.
Sebagai contoh, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk meniadakan salat Jumat di tengah pandemik virus corona merupakan pertimbangan dari para ahli medis yang menjelaskan bahwa penyebaran COVID-19 rentan terjadi di kerumunan orang. Salat Jumat pasti berkerumun karena minimal harus 40 orang.
Sayangnya, banyak umat Islam yang justru tidak mengindahkan fatwa tersebut dengan dalih tawakkal. Belum lagi narasi tanda-tanda kiamat karena umat Islam sudah dilarang beribadah. Tidak kalah meresahkan, pemerintah dan ulama dituding berkonspirasi dengan Yahudi untuk melarang ibadah. Kok ujuk-ujuk Yahudi yang disalahkan?
Kejadian-kejadian di atas tidak sepatutnya terjadi jika umat Islam melihat bagaimana umat-umat terdahulu menghadapi pandemik. Sejarawan Michael W Dols dalam tulisannya berjudul Plague In Early Islamic History (1974) menerangkan bahwa peradaban Islam pernah berurusan dengan tiga macam pandemik, yaitu The Plague of Justinian (pertengahan abad ke-6), The Black Death (pertengahan abad ke-14), dan Bombay Plague (penghujung abad ke-19).
Sebagai gambaran betapa mengerikannya penyakit-penyakit di atas, sejarah mencatat lebih dari 50 juta orang atau 60 persen dari penduduk Eropa meninggal akibat The Black Death.
Jika ingin melihat sejarah lebih jauh, maka penyakit menular juga pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad di Madinah. Wabah serupa juga terulang di Syam ketika masa Umar bin Khattab menjadi khalifah, sekitar 25 ribu orang meninggal dunia. Apa yang ingin dikatakan adalah sesungguhnya umat Islam tidak kekurangan contoh perihal bagaimana seharusnya menyikapi COVID-19.
Salah satu ulama terkemuka yang memaparkan dengan gamblang soal pandemik adalah Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab karangannya berjudul Badzl al-Ma’un fi Fadhl al-Tha’un. Kitab yang tebalnya melebihi 450 halaman itu dijadikan sebagai referensi utama oleh banyak sarjana yang hendak menelaah penyakit menular dari masa sahabat Nabi hingga tabi’in.
Al-Asqalani memberi sumbangsih besar ketika dia membedakan terma tha’un dan waba’. Sejarawan dari University College London, Lawrence I Conrad, dalam Ta’un and waba’ Conception of Plague and Pestilence in Early Islam menjelaskan, tantangan terberat untuk mempelajari sejarah penyakit menular di dalam peradaban Islam adalah penggunaan istilah tha’un dan waba’ yang sering disamaartikan.
Dalam epidemiologi, dikenal istilah wabah, epidemi, endemik, dan pandemik untuk menggambarkan skala penyebaran suatu penyakit. Al-Asqalani menjelaskan bahwa tha’un berada satu tingkat di atas waba’. Setiap waba pasti tha’un, namun tidak setiap tha’un pasti waba’. Penyebab tha’un lebih khusus, sedangkan waba adalah penyakit menular secara umum.
“Tapi waba’ dan tha’un sama-sama menyebabkan kematian, maka sering kali disamaartikan,” ungkap guru besar bidang filologi, Oman Fathurrahman, melalui akun YouTube Ngariksa ketika membahas Tha’un dan Waba’ dalam manuskrip Arab dan Nusantara pada 6 April 2020 lalu.
“Membaca tha’un belum tentu seperti COVID-19. Tapi, secara umum yang disebut sebagai tha’un adalah jenis penyakit menular yang sampai menimbulkan pandemik atau menimpa banyak manusia, tanpa membedakan latar belakangnya,” tambah dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga dipercaya sebagai juru bicara Kementerian Agama Republik Indonesia.
Terlepas dari perdebatan terma penyakit menular yang digunakan oleh ulama klasik atau kontemporer, tujuan artikel ini adalah melihat bagaimana al-Asqalani menggambarkan tindak-tanduk umat Islam di tengah pandemik pada masanya. Supaya apa? Supaya kita bisa mengambil langkah yang baik dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Berdasarkan penjelasan Oman, al-Asqalani menulis kitab tersebut ketika pandemik The Black Death menyerang Eropa dan Timur Tengah. Di antara jutaan orang yang meninggal akibat penyakit yang disebabkan oleh kutu tikus itu adalah tiga putri al-Asqalani.
Salah satu kisah menarik yang ia tuliskan adalah ternyata kebebalan umat Islam juga pernah terjadi di masa pandemik The Black Death. Kala itu, pada hari Jumat, muncul seruan di Damaskus agar seluruh muslim dan non-muslim berkumpul di Masjid Qodam. Mereka diminta berdoa kepada Allah SWT agar tha’un segera diangkat.
“Caranya dengan berkumpul. Akibatnya manusia berkumpul dari berbagai pelosok. Mereka bertebaran di jalan, mereka berdoa dan menangis meminta kepada Allah agar tha’un dihilangkan. Apa yang terjadi? Justru penyebaran tha’un semakin masif dan kematian justru semakin banyak,” papar Oman.
Kenapa umat tersebut dikatakan bebal? Karena sedari awal Nabi Muhammad SAW sudah mengingatkan untuk menjaga jarak dari mereka yang terkena penyakit menular. Sabda Rasulullah yang belakangan populer di tengah pandemik corona adalah:
“Larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari singa.”
Kisah yang juga terkenal adalah bagaimana Umar bin Khattab berdebat dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Syam, perihal wabah.
Di tengah perjalanan menuju Syam, Umar mendapat kabar bahwa kota tujuannya sedang dilanda penyakit menular. Dengan ijtihadnya, Umar akhirnya memutuskan untuk kembali ke Madinah. Abu Ubaidah tentu kecewa karena kedatangan amirul mukminin dibatalkan.
Dia sempat bertanya kepada Umar “apakah engkau hendak menghindari dari takdir Allah?”. Maksudnya adalah penyakit yang ada di Syam merupakan ciptaan Allah. Momentum wabah melanda juga ditentukan oleh Allah. Maka, ketika Umar berbalik arah, dia dianggap menghindari takdir Allah.
Umar justru menjawab, “kita lari dari takdir Allah yang satu untuk menuju takdir Allah lainnya.”