Analis Politik: Kegusaran Jokowi Wajar, Sudah Tak Lagi Jabat Presiden

- Tuduhan ijazah palsu harus dibawa ke jalur hukum
- Prabowo tepat tidak merespons seruan pemakzulan Gibran
- Elite politik mempertimbangkan gempa politik bila Gibran dimakzulkan
Jakarta, IDN Times - Peneliti utama di Indikator Politik Indonesia (IPI), Bawono Kumoro, menilai kegusaran Presiden ke-7 Joko "Jokowi" Widodo dengan menyebut adanya skenario besar di balik dorongan pemakzulan Gibran dan tuduhan ijazah palsu, merupakan hal yang wajar. Apalagi kini ia sudah tidak lagi menjabat sebagai RI-1. Momen tersebut akan dimanfaatkan oleh lawan-lawan politik untuk mengikis citra yang selama satu dekade sudah dibangun.
"Jadi, ini terkonsolidasi lawan-lawan politiknya untuk melakukan political fight back terhadap Pak Jokowi. Maka, wajar kalau Beliau menilai ada upaya untuk melakukan downgrade (ke dirinya). Itu kalau dari sisi politik," ujar Bawono ketika dihubungi oleh IDN Times melalui telepon pada Rabu (17/7/2025).
Ia mengatakan, kini Jokowi mengalami post power syndrom setelah sebelumnya sangat berkuasa selama satu dekade. Ketika turun dari kursi RI-1 dan menjadi warga biasa maka mulai mendapat serangan politik.
Peristiwa serupa juga pernah dialami oleh Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setelah lengser dari kursi RI-1. Salah satu upaya downgrade yang dilakukan terhadap SBY yakni dengan mengambil alih Partai Demokrat. Ketika itu mantan Panglima TNI dan Kepala Staf Presiden (KSP), Moeldoko, disodorkan jadi ketum baru Partai Demokrat.
"Ketika itu kan, Pak SBY juga merasa ada beberapa hal yang Beliau merasa ini seperti menyerang saya setelah saya tidak lagi jadi presiden. Sehingga, ini bukan hal baru dan ada skenario politik untuk menarget mantan presiden. Jadi tak dirasakan Pak Jokowi saja," tutur dia.
Presiden ke-3, BJ Habibie pun, kata Bawono, juga pernah mengalami pemeriksaan soal alasan Timor-Timur yang lepas dari kekuasaan Indonesia.
1. Sudah tepat bila isu tuduhan ijazah palsu dibawa ke jalur hukum

Lebih lanjut, Bawono mengatakan, dalam kasus tuduhan ijazah sarjana Jokowi palsu, sudah tepat bila hal tersebut dibawa hingga ke ranah hukum. Sebab, jalur itu dipilih bila opsi politik tidak berhasil.
"Agar jadi pendidikan bagi kita semua bahwa kalau secara politik suatu masalah tidak ketemu ujungnya atau komprominya, memang jalan di jalur hukum yang bisa menyelesaikan," katanya.
Apalagi Jokowi, kata Bawono, sudah bersedia menunjukkan ijazah aslinya di pengadilan. Meskipun hasil pengecekan dari salinan ijazah disebut Polri asli.
Dalamn kasus perebutan Partai Demokrat, SBY akhirnya membawa perkara tersebut hingga ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sehingga, akhirnya Kementerian Hukum dan HAM kala itu memutuskan kepemimpinan Demokrat yang sah ada di bawah kendali Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
2. Prabowo sudah benar tidak merespons seruan pemakzulan Gibran

Sementara, terkait isu pemakzulan Gibran dari kursi wakil presiden, apa yang dilakukan oleh Prabowo dengan bersikap pasif, dinilai sudah benar. Sebab, bola kini ada di pihak parlemen.
"Karena yang tertuduh kan adalah wakilnya. Jadi, sebaiknya Pak Prabowo memang tak merespons. Biarkan proses itu ada di DPR," kata Bawono.
Sikap terhadap dorong pemakzulan Gibran, diakui Bawono ditunggu-tunggu oleh publik. Meskipun di atas kertas melihat dari komposisi partai pendukung dan oposisi, aspirasi itu bakal sulit diwujudkan. Sebagian besar partai politik di dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) mendukung Prabowo-Gibran.
PDI Perjuangan (PDIP) tak sepenuhnya menjadi oposisi, sebab di berbagai kesempatan mereka ikut berada di barisan pendukung pemerintah. Bawono tak menampik bisa saja Prabowo menginstruksikan orang kepercayaannya di DPR untuk menindak lanjuti seruan pemakzulan Gibran.
"Tetapi, yang harus diingat di parlemen itu bukan hanya Partai Gerindra. Partai-partai politik lain, termasuk PDIP belum tentu memiliki keinginan yang sama," tutur dia.
3. Para elite akan mempertimbangkan apakah akan ada gempa politik bila lengserkan Gibran

Bawono juga menjelaskan sebelum diambil keputusan, para elite akan mempertimbangkan apakah pemakzulan Gibran bakal menimbulkan gempa politik. Partai politik enggan menindak lanjuti aspirasi para purnawirawan TNI bila tidak ada keuntungan yang mereka rasakan.
"Jangan-jangan benefitnya tidak terlalu besar, sedangkan gempa (politiknya) jauh lebih besar sehingga bisa menciptakan instabilitas. Elite kan pasti berpikir seperti itu," kata Bawono.
Ia mengatakan elite bisa membuat reformasi bila tercapai dua hal. Satu, apakah perubahan itu bakal menguntungkan mereka secara politik dan ekonomi. Kedua, bila ada gelombang tekanan yang besar. Contohnya, kata Bawono, aksi demonstrasi besar Mei 1998.
"Elite kan terpaksa harus mereformasi dirinya," tutur dia.
Bahkan, ada faktor ketiga yang memaksa elite terpaksa berubah yakni putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menilai saat ini elite-elite politik sedang berhitung apakah ada keuntungan yang diperoleh bila ikut mendorong pemakzulan Gibran.
"Mungkin salah satu keuntungan yang dihitung yaitu apakah salah satu dari kumpulan elite itu bisa menggantikan Gibran sebagai wapres. Dari partai mana, Demokrat kah, Gerindra kah. Jangan-jangan setelah memakzulkan Gibran, mereka malah jadi tidak solid dan berebut kursi wapres," katanya.