Titi Anggraini, Pakar Politik dan Pemilu dalam program Real Talk with Uni Lubis pada Rabu (27/3/2024). (IDN Times/Aldila Muharma)
Seperti pola-pola persidangan perselisihan pemilu sebelumnya, MK selalu menjawab semua dalil-dalil pemohon, sehingga putusannya sangat panjang. Dalam menjawab salah satu dalil pemohon, MK menyebutkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) belum bekerja secara komprehensif.
"Tapi kemudian ujung-ujungnya, MK memberikan toleransi dan menetralisir pelanggaran itu. Walaupun demikian para pemohon tidak berusaha membuktikan supaya Mahkamah memutuskan itu. Dia (MK) menyatakan dalil-dalil itu tidak terbukti secara hukum," kata dia.
Titi juga menggarisbawahi hal lain dalam putusan MK, seperti petahana yang sudah tidak mencalonkan kembali agar bersikap netral, dan juga distribusi bansos yang didalilkan memberikan dampak elektoral pada salah satu paslon. Kendati, kata dia, pada akhirnya MK menyatakan hal itu belum ada aturan yang jelas, hanya menyarankan agar ke depan aturan diperbaiki.
"Mahkamah tidak memberikan solusi hari ini. Jadi saya melihat dari dalil-dalil yang dijawab Mahkamah Konstitusi ada logika-logika yang melompat antara pengakuan persoalan yang bisa menyerang pemilu yang jujur dan adil, tapi kemudian dinetralisir oleh argumen 'ya aturannya belum ada'. Itu membutuhkan moralitas, etik, kerelaan, untuk bersikap netral. Jadi ada ruang bermasalah tetapi kemudian tidak terjawab. Ini yang terjadi dissenting opinion dari tiga hakim," paparnya.
Titi melihat dissenting opinion tiga hakim konstitusi menyadari adanya pelanggaran yang tidak bisa dijangkau hukum, namun konstitusi harus bisa ditegakkan, karena itu menyarankan agar digelar Pemungutan Suara Ulang (PSU). Pelanggaran itu misalnya soal distribusi bansos, ketidaknetralan kepala daerah, atau cawe-cawe presiden.
"Secara legal ini memperkokoh keputusan KPU, tetapi legitimasi dari hasil Pemilu 2024 itu tidak kokoh, tidak solid, karena akan ada pubik yang merujuk dissenting opinion tiga hakim sebagai basis dalam menilai hasil Pemilu 2024. Dan mungkin akan diikuti dinamika adanya eksaminasi, kritik, atau bahkan adanya Mahkamah Rakyat sebagai komparasi untuk memberikan penilaian dari kelompok-kelompok masyarakat. Di MK saja tidak kompak, dan itu hal yang normal, biasa saja, bukan hal yang merongrong atau mendeligitimasi," kata dia.