Perlindungan bagi PRT dan Pekerja Migran Mandek, Ini Rekomendasi GPPI

Indonesia gagap soal ini pada sidang sesi ke-80 Komite CEDAW

Jakarta, IDN Times – Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI) melakukan refleksi atas respons pemerintah Indonesia pada Sidang sesi ke-80 Komite Converntion on the Elimination of All Form of Discrimination Against Woman (CEDAW) kemarin di Jenewa, pada Jumat, 29 Oktober 2021 melalui Zoom Meeting.

Komisioner Komnas Perempuan, Thaufiek Zulbahary mengatakan delegasi pemerintah tampak terbata-bata ketika menjawab pertanyaan dari Komite CEDAW mengenai kebijakan perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan pekerja migran.

"Termasuk ketika ditanyakan mengenai langkah-langkah konkret pemerintah Indonesia untuk mengesahkan RUU Perlindungan PRT, ratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak PRT dan Pelindungan Pekerja Migran," kata Thaufiek.

Delegasi Indonesia bahkan meminta ijin kepada komite untuk memberikan jawaban tertulis, dengan alasan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terlalu spesifik.

Bagaimana kondisi terhadap PRT dan pekerja migran asal Indonesia saat ini? Bagaimana perlindungan negara terhadap mereka? 

1. Indonesia belum punya kemajuan untuk isu perlindungan PRT dan pekerja migran

Perlindungan bagi PRT dan Pekerja Migran Mandek, Ini Rekomendasi GPPITangkapan layar Gerakan Perempuan Perlindungan Indonesia (GPPI) melakukan sharing seputar sidang Komite CEDAW ke-80 pada kegiatan Media Briefing "Implementasi CEDAW di Indonesia" pada Jumat (29/10/21) (IDN Times/Annisa Dewi Lestari)

Thaufiek mengatakan hal tersebut telah memperlihatkan bahwa Indonesia belum mempunyai kemajuan yang bisa dibanggakan di sidang Komite CEDAW untuk isu-isu perlindungan PRT dan pelindungan pekerja migran.

“Patut diakui, pemerintah Indonesia memang belum melakukan langkah-langkah meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak PRT, untuk memastikan perlindungan perempuan PRT, termasuk PRT migran, dan untuk mencegah Kekerasan berbasis gender, dan pelecehan terhadap mereka,” kata Thaufiek dalam keterangan tertulis, Jumat (29/10/21).

Indonesia belum mempunyai Undang-Undang Perlindungan PRT, yang sudah lebih dari 17 tahun diperjuangkan pengesahannya oleh masyarakat sipil. Thaufiek menilai stagnasi ini akan terus menempatkan PRT migran pada situasi rentan kekerasan, pelecehan dan eksploitasi seksual.

“Situasi kekosongan hukum ini, tentu saja berkontribusi pada masih maraknya kekerasan dan pelanggaran dan kondisi PRT yang jauh dari layak, baik pada PRT di dalam negeri maupun PRT migran,” kata Thaufiek.

Baca Juga: Menaker Ingatkan Pekerja Migran Pilih P3MI yang Bertanggung Jawab

2. Undang-Undang Pekerja Migran Indonesia saja dinilai tidak cukup

Perlindungan bagi PRT dan Pekerja Migran Mandek, Ini Rekomendasi GPPIIlustrasi buku undang-undang dan palu pengadilan. (Pixabay.com/succo)

Thaufiek menegaskan Undang-Undang yang ada masih belum cukup untuk melindungi para pekerja migran Indonesia. Saat ini, Indonesia memiliki UU No 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). 

"Tetapi tata kelola migrasi pekerja ke Luar negeri masih minim pelindungan dan belum berkontribusi pada penghapusan diskriminasi, kekerasan, eksploitasi seksual, hingga perdagangan orang," tegas Thaufiek.

Dia mengungkapkan, setelah UU PPMI disahkan (antara 2017- 2019), data pengaduan kasus di Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) justru meningkat hingga dua kali lipat. Selain itu, pelanggaran terhadap pekerja migran perempuan dan PRT migran yang terjadi sejak 30 tahun lalu, masih terjadi dan berulang.

Bentuk pelanggaran dan kekerasan tersebut antara lain kekerasan fisik, psikis, dan seksual (termasuk pelecehan seksual, perkosaan, pemaksaan pelacuran), jeratan utang, ancaman dan pemerasan, pelanggaran hak atas informasi, manipulasi dokumen, dan perampasan dokumen.

Data Bareskrim Polri 2019 menunjukkan mayoritas korban adalah perempuan dewasa berjumlah 2.047 orang (atau 77,30 persen). Dari 554 Laporan Polisi (LP) yang masuk, 40,07 persen diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi tenaga kerja menjadi pekerja migran.

Data tersebut menyiratkan bahwa perdagangan orang masih menjadi bagian integral dalam proses migrasi pekerja ke luar negeri. Para pekerja migran sangat rentan menerima perlakuan sewenang-wenang oleh pelaku.

Baca Juga: Kisah Pilu PRT di Semarang, 2 Kali Dirumahkan Hingga Difitnah

3. UU PPMI direduksi dan dilemahkan oleh UU Ciptaker

Perlindungan bagi PRT dan Pekerja Migran Mandek, Ini Rekomendasi GPPIIlustrasi seorang buruh berunjuk rasa di kawasan EJIP (East Jakarta Industrial Park), Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (5/10/2020). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah

Thaufiek mengatakan alih-alih terimplementasi, UU PPMI justru direduksi dan dilemahkan oleh UU Ciptaker. Menurutnya omnibus law itu malah memperlemah pengawasan negara terhadap Perusahaan Penempatan Pekerja Migran (P3MI).

UU Cipta Kerja menghilangkan aturan mengenai jangka waktu berlaku dan perpanjangan Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) beserta persyaratannya sebagaimana diatur Pasal 57 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017. 

"Ini berpotensi menyuburkan praktek perekrutan tidak etis dan merentankan perdagangan orang,” kata Thaufiek.

Di sisi lain, kata Thaufiek, kerentanan pekerja migran perempuan belum tersentuh oleh UU PPMI. "Khususnya yang bekerja di sektor domestik yang jumlahnya mencapai 60 persen dari PMI yang ditempatkan." 

Baca Juga: Pandemik Masih Hambat Keberangkatan Pekerja Migran

4. Rekomendasi GPPI kepada pemerintah

Perlindungan bagi PRT dan Pekerja Migran Mandek, Ini Rekomendasi GPPITangkapan layar Gerakan Perempuan Perlindungan Indonesia (GPPI) melakukan sharing seputar sidang Komite CEDAW ke-80 pada kegiatan Media Briefing "Implementasi CEDAW di Indonesia" pada Jumat (29/10/21) (IDN Times/Annisa Dewi Lestari)

Mandeknya kebijakan pemerintah untuk melindungi Pekerja Rumah Tangga dan Pekerja Migran, GPPI memberikan rekomendasi kepada pemerintah, sebagai berikut:

  • DPR RI segera: 1)  mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan 2) mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
  • Pemerintah RI melakukan langkah konkrit untuk meratifikasi Konvensi ILO  Nomor 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga
  • Pemerintah RI mengimplementasikan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, termasuk segera menerbitkan berbagai aturan turunan yang dimandatkan dalam UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan PMI, diantaranya Peraturan Pemerintah tentang Pengawasan Pelaksanaan Penempatan dan Pelindungan PMI, dengan melibatkan masyarakat sipil, NHRI dan lembaga oversights di Indonesia.
  • Pemerintah memastikan komitmen pada kebijakan di internasional maupun regional, diintegrasikan ke dalam kebijakan nasional yang implementatif dan konkrit untuk perlindungan PMI perempuan dan Pekerja Rumah Tangga.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya