Jakarta, IDN Times - Hajatan demokrasi bagi rakyat Indonesia masih akan berlanjut setelah 14 Februari 2024 lalu, mereka ramai-ramai menuju bilik suara memilih presiden dan wakil presiden untuk lima tahun yang akan datang. Kandidat nomor urut dua, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka keluar sebagai pemenangnya.
Dalam waktu yang tak lama lagi, hajat demokrasi di sejumlah daerah di Indonesia kembali akan berlangsung. Rakyat kembali akan memilih "raja-raja lokal" untuk memimpin daerahnya selama lima tahun ke depan melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024.
Namun, di tengah gagap gempita hajat demokrasi lokal itu, ada sebuah paradoks yang diakui atau tidak diakui menjadi sebuah realita yang perlu dihadapi. Paradoks itu adalah dinasti politik.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI melaporkan, total daerah yang akan mengikuti penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 di Indonesia terdapat sebanyak 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Pemungutan suara akan digelar dalam satu hari yang sama yaitu pada Rabu, 27 November 2024.
Lolosnya Gibran Rakabuming Raka pada arena Pilpres 2024 melalui palu hakim konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai cawapres Prabowo Subianto akan membuka jalan bagi elite-elite dinasti lokal untuk maju dalam kancah Pilkada 2024 mendatang. Pencalonan Gibran Rakabuming terus menuai kritik tak hanya di kalangan masyarakat, akademisi, dan para politisi.
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menilai, palu hakim konstitusi yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka telah mematikan etika dan moral dalam bernegara.
"Makanya aduh MK juga sama, kenapa bisa diintervensi oleh kekuasaan? Nampak jelas melalui keputusan terhadap perkara nomor 90 yang menimbulkan banyak antipati, ambisi kekuasaan sukses mematikan etika moral dan hati nurani, hingga tumpang tindih kewenangannya dalam demokrasi yang sehat," kata Megawati, saat menyampaikan pidatonya dalam Rakernas V PDIP, Ancol, Jakarta Utara, Jumat (24/5/2024) lalu.
Sebuah studi oleh Yuliartiningsih dan Adrison (2022) terkait perhelatan pilkada di rentang waktu 2017-2020, memperjelas eksistensi dinasti politik yang tersebar di banyak daerah di Indonesia.
Pada periode 2017-2020 terdapat 3 kali Pilkada tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia, yaitu Pilkada 2017 yang diikuti oleh 94 Kabupaten/Kota, Pilkada 2018 yang diikuti oleh 153 Kabupaten/Kota, dan Pilkada 2020 yang diikuti oleh 261 Kabupaten/Kota. Sehingga total peserta Pilkada adalah 508 Kabupaten/Kota.
Hasil studi itu mengungkapkan, dari total 508 Kabupaten/Kota peserta pilkada, terdapat 247 Kabupaten/Kota yang terindikasi dinasti politik di mana terdapat kandidat bupati/wakil bupati/walikota/wakil walikota yang memiliki hubungan darah/perkawinan dengan pimpinan nasional/pimpinan kepala daerah/anggota dewan yang berada di DPR/DPRD baik yang masih berkuasa ataupun berkuasa pada periode sebelumnya.
Lalu, dari 247 Kabupaten/Kota tersebut, kandidat dinasti politik menang di 170 Kabupaten/Kota atua sekitar 69 persen. Sementara, jumlah kandidat bupati/wakil bupati/walikota/wakil walikota yang terindikasi dinasti politik adalah sebanyak 305 orang atau sebanyak 10 persen dari total 3.030 orang jumlah kandidat.
Walaupun hanya 10 persen jumlah kandidat yang terindikasi dinasti politik, namun rasio kemenangan dinasti politik mencapai 69 persen. Sehingga kandidat bupati/wakil bupati/walikota/wakil walikota yang terindikasi dinasti memiliki probabilita yang besar untuk memenangi Pilkada.