Konferensi pers di Komnas Perempuan, Jakarta, Kamis 28 November 2019. (IDN Times/Margith Juita Damanik)
Aas bercerita tentang berbagai permasalahan di Pulau Pari. Awalnya, dia menuturkan tentang usaha nelayan, sebagai pembudidaya rumput laut yang hancur akibat reklamasi Pulau H.
Perusahaan yang menjadi investor di pulau tersebut mengklaim 90 persen bagian dari Pulau Pari adalah milik mereka. Menurut Aas, hanya 10 persen yang tidak termasuk di dalamnya, yakni gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), tempat di mana para peneliti melakukan penelitian.
Perjuangan Aas dan warga Pulau Pari berjalan panjang. Alih-alih berdiskusi atau menuruti harapan masyarakat setempat, investor justru kini memasang talang yang bertuliskan di sana akan dibangun sebuah resort.
Keberadaan resort ini menurut Aas akan mematikan sumber mata pencaharian nelayan di Pulau Pari. Berulang kali masyarakat di sana melakukan demonstrasi untuk mempertahankan tanah kelahiran mereka.
Bahkan, perempuan-perempuan di Pulau Pari sempat mengalami bentrokan dengan polisi hingga terinjak-injak. Kenangan pahit ini menjadi trauma sendiri bagi perempuan di pulau ini, termasuk Aas.
Lebih ironis lagi, Aas mengetahui pemerintah daerah tempatnya tinggalnya mulai dari RT, RW, hingga camat bersekongkol dan membiarkan investor menguasai Pulau Pari.
"Tidak ada yang pro dengan kami. Kami sebagai warga Pulau Pari ingin legalitas tempat tinggal hidup kami. Kami tidak butuh investor. Kami hanya butuh laut. Kami hanya butuh tempat tinggal untuk beranak-pinak," ucap perempuan berhijab itu, terisak.
Aas menjadi salah satu perempuan yang aktif membantu perjuangan masyarakat Pulau Pari. "Kenapa saya mempertahankan tanah kelahiran saya? Karena anak saya lahir di sana, suami saya lahir di sana, mungkin kami bakal mati di sana," kata dia.