Tolak Dwifungsi TNI, Ini Kritikan Para Aktivis di Aksi Kamisan

Para aktivis menolak militer bergabung dengan kementerian

Jakarta, IDN Times - Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi Kamisan ke-576 di depan Istana Negara, Jakarta, Kamis (28/2) sore sekitar pukul 16.00 WIB. Dalam aksi tersebut, para aktivis menolak agenda restrukturisasi dan reorganisasi TNI dengan rencana penempatan anggota militer aktif di jabatan sipil yang dianggap bertentangan dengan reformasi TNI.

Acara itu juga dihadiri oleh Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid. Ia pun mengkritisi soal wacana sejumlah perwira tinggi (Pati) TNI non job yang sempat diusulkan bergabung dengan lembaga pemerintahan Indonesia.

1. Wacana itu dinilai merenggangkan hubungan antara militer dan sipil

Tolak Dwifungsi TNI, Ini Kritikan Para Aktivis di Aksi KamisanDirektur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid (IDN Times/Axel Jo Harianja)

Usman menilai, wacana tersebut dapat merenggangkan hubungan antara militer dan sipil. Bahkan, menurutnya wacana itu dapat merugikan TNI itu sendiri.

"Wacana kebijakan itu berbahaya bagi relasi dan sipil di Indonesia. Wacana kebijakan itu merugikan TNI itu sendiri, serta mengancam kelangsungan reformasi militer itu sendiri," jelasnya saat berorasi di depan Istana Merdeka, Kamis (28/2).

Usman menambahkan, prajurit TNI didik untuk menjadi militer tempur. Hal itu lah yang dinilai Usman bahwa negara akan rugi jika para jenderal yang ahli di bidang strategi perang dan militer bergabung di ranah sipil.

"Begitu banyak uang negara diinvestasikan untuk membangun profesionalisme mereka, beli senjata perlengkapan militer. Tiba-tiba ketika seharusnya menuai dia justru keluar dari kandang tentara dan mengurusi bukan urusan pertahanan," tambahnya menjelaskan.

2. Usman minta pemerintah mengkaji kebijakan tersebut.

Tolak Dwifungsi TNI, Ini Kritikan Para Aktivis di Aksi KamisanAksi Kamisan ke-576 di depan Istana Negara (IDN Times/Axel Jo Harianja)

Atas hal tersebut, Usman meminta kepada pemerintah untuk mengkaji kembali kebijakan yang dinilai berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI. Usman tidak menginginkan, para jenderal TNI lebih ahli di bidang bisnis dan politik ketimbang pertahanan, seperti pada masa Orde Baru.

"Di masa Orba (Orde Baru) tentara ahli bisnis, ahli politik. Tapi tidak ahli dalam bidangnya sendiri, itu yang harus kita cegah," jelas Usman.

Ditempat yang sama, Direktur Imparsial Al Araf juga menilai, wacana kebijakan itu bertentangan dengan reformasi TNI.

"Kekerasan-kekerasan yang melanggar HAM dihasilkan akibat dari penguatan politik militer pada era baru sehingga penguatan politik era baru basis dasarnya itu adalah dwifungsi itu sendiri," katanya kepada wartawan di lokasi, Kamis (28/2). 

3. Aksi Kamisan untuk menolak pelanggaran HAM di masa lalu

Tolak Dwifungsi TNI, Ini Kritikan Para Aktivis di Aksi KamisanDirektur Imparsial Al Araf (IDN Times/Axel Jo Harianja)

Al Araf juga mengatakan, aksi kamisan yang selama ini dilakukan para aktivis itu sangat relevan dilakukan. Hal ini dikarenakan, aksi itu bertujuan untuk menolak terjadinya kembali pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu.

Al Araf menjelaskan, para aktivis dalam kegiatan aksi kamisan kali ini telah melakukan upaya pembatalan kebijakan dwifungsi TNI seperti mengirim surat kepada Presiden, dan juga mencoba bertemu dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Hari ini kan kamisan kita selalu kirim surat ke presiden atas nama Suciwati dan Sumarsih, kedua kita mencoba melakukan peluang lobi kepada komisi I DPR dan juga membuka ruang kepada pemerintah serta akan melakukan langkah-langkah lain untuk menyampaikan aspirasi," jelas Al Araf.

Baca Juga: Temui Perwakilan Aksi Kamisan, Jokowi Gak Ajak Wiranto

4. Jokowi dinilai tidak memiliki empati kepada keluarga korban HAM masa lalu

Tolak Dwifungsi TNI, Ini Kritikan Para Aktivis di Aksi KamisanIbu Sumarsih orang tua korban pelanggaran HAM masa lalu (IDN Times/Axel Jo Harianja)

Dalam aksi itu, terlihat seorang Ibu yang turut ikut dalam aksi kamisan tersebut. Sumarsih namanya, ia menilai hingga saat ini Presiden Joko "Jokowi" Widodo tidak memiliki empati kepada keluarga korban pelanggaran HAM di masa lalu.

Sumarsih adalah ibu dari almarhum Norma Irmawan (Wawan), salah satu mahasiswa Universitas Atma Jaya yang menjadi korban tewas dalam Tragedi Semanggi tahun 1998. Terkait hal itu, Sumarsih menilai, Jokowi tidak memiliki kesempatan untuk menyelesaikan kasus HAM masa lalu.

“Sekarang ini Pak Jokowi sudah tidak mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, karena Pak Jokowi sibuk dengan kampanye pemilu,” ucap Sumarsih saat ditemui IDN Times di lokasi.

Dalam kesempatan itu, Sumarsih berpendapat, Jokowi merangkul dan memberi kesempatan kepada para terduga pelanggar HAM yang mengisi jabatan penting dalam pemerintahannya. Bahkan, ia mengaku kecewa, karena Jokowi kerap ingkar janji untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.

“Jokowi merangkul para pelanggar HAM berat. Contohnya, pengangkatan Wiranto menjadi Menkopolhukam,” jelas dia.

5. Aksi kamisan ke-576 menolak dwifungsi TNI

Tolak Dwifungsi TNI, Ini Kritikan Para Aktivis di Aksi KamisanAksi Kamisan ke-576 di depan Istana Negara (IDN Times/Axel Jo Harianja)

Aksi Kamisan ke-576 hari ini juga secara khusus menolak wacana pemerintah untuk menempatkan perwira aktif TNI ke dalam birokasi pemerintahan. Para peserta kamisan itu menilai, kebijakan itu sama saja mengembalikan dwifungsi ABRI seperti yang pernah terjadi pada masa Orde Baru.

6. Awal Isu dwifungsi TNI bermula

Tolak Dwifungsi TNI, Ini Kritikan Para Aktivis di Aksi KamisanANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Wacana militer menempati jabatan sipil ini bermula ketika Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto berencana membuat kebijakan agar Pati dan perwira menengah (pamen) TNI bergabung ke kementerian atau Lembaga Pemerintahan di Indonesia. Menurut Hadi, wacana itu merupakan solusi atas banyaknya pati dan pamen yang belum mendapat jabatan di struktur TNI.

Hadi kemudian mengusulkan revisi Pasal 47 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Revisi itu nantinya akan memungkinkan TNI bisa menduduki kursi birokrat sesuai dengan jumlah pati dan pamen yang non-job

Wacana ini kemudian menuai banyak kritik dan dinilai sama menghidupkan kembali dwifungsi ABRI seperti yang pernah terjadi pada masa Orde Baru.

Baca Juga: Massa Aksi Kamisan Ragukan Niat Jokowi Tuntaskan Kasus HAM

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya