Ilustrasi pemungutan suara atau pencoblosan (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal)
Pilkada Serentak 2020 tidak seperti pilkada sebelum-sebelumnya, karena berlangsung di tengah pandemik COVID-19. Maju mundur penyelenggaraan pesta demokrasi lima tahunan ini pun terjadi di tengah perjalanan tahapannya, karena situasi kesehatan yang tidak menentu.
Rencana penyelenggaraan pemungutan suara yang semula direncanakan berlangsung pada 23 September 2020, diundur menjadi 9 Desember 2020. Menjelang penetapan bakal pasangan calon pada 23 September, desakan penundaan pilkada kembali menguat dari berbagai elemen masyarakat, namun pemerintah, penyelenggara pemilu, dan DPR ngotot pilkada digelar sesuai jadwal.
Masyarakat mendesak penundaan Pilkada 2020 jelas karena ada kekhawatiran akan ada klaster pilkada, mengingat sejak September penambahan kasus terus meningkat drastis. Pada tahapan pendaftaran bakal pasangan calon saja, lebih dari 60 calon kepala daerah terpapar virus corona. Begitu juga juga penyelenggara pemilu, beberapa seperti komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan puluhan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) daerah, terinfeksi virus mematikan itu.
Aturan dan sanksi yang tidak tegas pada peserta pemilu yang melanggar protokol kesehatan juga menambah kekhawatiran munculnya klaster pilkada. Belum lagi masih banyak wilayah peserta pilkada yang masih rawan penularan virus corona, seperti di wilayah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan.
Ada 270 daerah yang akan menggelar Pilkada Serentak 2020, yang terdiri dari sembilan provinsi, 39 kota, dan 224 kabupaten. Sedangkan, peserta pemilu atau calon kepala daerah ada lebih dari seribu orang. Dari jumlah tersebut, ada 72 petahana yang kembali maju pilkada melanggar protokol kesehatan, dengan mayoritas melanggar pada saat mendaftar ke KPU.