Ilustrasi Corona (IDN Times/Arief Rahmat)
Segudang rekomendasi yang Tedros paparkan bisa diaplikasikan jika setiap negara memiliki kurva epidemi. Sayangnya, di tengah situasi Indonesia yang tidak memiliki kurva epidemi, pemerintah justru berencana melonggarkan PSBB.
Ironi lainnya adalah pemerintah yakin bahwa PSBB berdampak terhadap pelambatan transmisi virus corona di DKI Jakarta. Padahal, sekali lagi ditekankan, Indonesia belum memiliki kurva epidemi.
“Alat visualisasi standar untuk menjelaskan perlambatan ini (virus corona) adalah kurva epidemiologis. Masalah utamanya, sudah 68 hari setelah kasus pertama COVID-19 diumumkan, Indonesia belum menampilkan kurva epidemi COVID-19 yang sesuai dengan standar ilmu epidemiologi,” demikian tulis Iqbal Elyazar bersama rekan-rekannya, sebagaimana dipublikasikan oleh The Conversation, Jumat (8/5) kemarin.
Menurut penulis, kurva yang selama ini ditunjukkan oleh pemerintah hanya menampilkan peningkatan kasus harian. Padahal, jumlah kasus konfirmasi tambahan tidak sama artinya dengan jumlah kasus baru.
Kurva epidemi mengharuskan pemerintah untuk menampilkan kapan seseorang mulai terinfeksi COVID-19, kapan gejalanya mulai keliatan, hingga kapan sampelnya diambil. Dengan demikian, pemerintah bisa memprediksi kapan puncak dari pandemik ini sekaligus mengevaluasi apakah kebijakan yang diambil sudah berdampak positif.
Ketiadaan kurva epidemi menandakan pemerintah yang belum transparansi dalam membeberkan data seputar virus corona. Tanpa data atau alat ukur yang valid dan akurat, kebijakan yang akan diambil cenderung berakhir blunder.
“Sudah saatnya pemerintah Indonesia mengeluarkan kurva epidemi. Data tersebut sudah tersedia di rekam medis, sistem informasi fasilitas kesehatan. Pemerintah perlu terbuka dan transparan menyampaikan data jumlah pemeriksaan PCR dan lamanya waktu pemeriksaan untuk setiap provinsi untuk menaikkan kepercayaan publik terhadap kurva epidemi yang dikeluarkan pemerintah,” demikian tulis Iqbal sebagai bentuk harapannya.
Sebagai catatan tambahan, jika usia 45 tahun ke bawah diberi kelonggaran untuk beraktivitas semasa pandemik dengan alasan daya tahan tubuh yang bagus, maka pemerintah seharusnya melihat data kasus positif berdasarkan usia sebagaimana tertuang dalam corona.jakarta.go.id.
Untuk kasus DKI Jakarta, ternyata ada 2.875 penderita corona yang berusia 49 tahun ke bawah. Angka itu lebih tinggi daripada penderita corona yang berusia 50 tahun ke atas, yaitu 2.188. Perbandingan antara dua rentan usia tersebut adalah 1 (kelompok 50 tahun ke atas): 1,3 (kelompok 49 tahun ke bawah).
Hal ini berarti usia muda atau angkatan kerja produktif tidak menjamin imunitas yang mereka miliki terbebas dari SARS-CoV-2. Data di atas juga bisa dibaca, setiap ada 3 orang penderita corona yang berusia 50 tahun ke atas, maka ada 4 orang penderita corona yang berusia 49 tahun ke bawah.
Dalam situasi seperti itu, apakah pemerintah tetap melonggarkan PSBB bagi kelompok usia 45 tahun ke bawah demi mencegah PHK?