Jakarta, IDN Times - Pohon mangrove bagi sebagian orang mungkin sudah tak asing lagi, khususnya mereka yang tinggal di kawasan pesisir. Tapi mungkin bagi mereka yang tinggal di pegunungan pohon ini kurang familiar, bahkan mungkin tidak tahu sama sekali.
Nah, beberapa hari lalu, tepatnya Senin 23 Juli lalu, saya mengunjungi salah satu kawasan wisata mangrove yang berada di wilayah Jabodetabek. Nama tempat itu Taman Wisata Alam (TWA) Mangrove yang berlokasi di Angke, Penjaringan, Jakarta Utara.
Mencari lokasi tempat wisata alam ini terbilang mudah, karena persis di depan tempat itu terdapat gedung megah Yayasan Budha Tzu Chi. Apalagi bagi kamu yang beragama Budha, tempat ini mungkin sudah tidak asing lagi.
Setiap pengunjung Taman Wisata Alam Mangrove akan dikenai biaya masuk Rp 25 ribu pada hari biasa. Biaya itu belum termasuk jika membawa kendaraan pribadi atau ingin menikmati wahana yang terdapat di sana, seperti berkeliling hutan mangrove dengan perahu, menanam mangrove, dan bahkan menginap di tempat ini.
Sedikit tips jika kamu ingin berkunjung ke tempat ini, pastikan kamu membawa uang tunai yang cukup, karena di Taman Wisata Alam Mangrove tidak menyediakan pembayaran menggunakan kartu debit, kredit, ataupun uang elektronik.
Setelah membayar tiket masuk, saya coba menemui pengelola Taman Wisata Alam Mangrove untuk mengetahui lebih dalam, tentang tempat yang kukunjungi ini.
“Tunggu sebentar ya,” ujar pria penjual makanan di kantin, ketika saya menanyakan keberadaan sang pengelola taman.
Setelah hampir 30 menit orang yang saya cari-cari tak kunjung hadir, saya kembali menemui penjual makanan tadi. Kali ini, ia meminta saya untuk berbicara dengan seorang wanita bernama Irma, yang mengaku sebagai bagian keuangan Taman Wisata Alam Mangrove.
Dia sempat memberi penjelasan singkat mengenai apa saja fasilitas yang bisa saya nikmati di tempat wisata ini. Namun tetap saja saya tak bisa bertemu dengan pengelola taman karena tak membawa surat izin.
“Maaf mas, kalau mau ketemu pengelola untuk interview harus bawa surat izin, terus keperluannya apa aja ditulis juga,” ujar Irma.
Setelah saya menjelaskan dengan gamblang apa tujuan saya bertemu pihak pengelola, akhirnya Irma merekomendasikan saya bertemu Resijati Wasito. Dia disebut-sebut pernah berprofesi sebagai ranger alias polisi hutan. Alhasil, saya berhasil menemui pria itu.
Di balik perawakannya yang tenang, ternyata lelaki yang akrab dipanggil Jati ini menyimpan segudang pengalaman mengerikan terkait pendirian Taman Wisata Alam Mangrove. Dia bisa disebut sebagai saksi hidup sulitnya perjuangan membangun dan mengelola kawasan ini.