Kata orang, “Ibukota lebih jahat dari ibu tiri”, betul sih. Tapi ada lho yang jauuuh lebih jahat 17 derajat dari ibukota. Apalagi kalo bukan NETIZEN!!
Netizen ini unik lho sebetulnya, saya bingung mereka itu baik atau jahat. Di satu sisi patut diakui mereka memang suka membela nilai kebenaran dan kebajikan (menurut mereka) kan? Tapi di lain sisi cara yang mereka pergunakan selalu bisa bikin kita rajin ibadah karena kita pasti berpikir “siksa dunia aja sekejam ini, apalagi siksa kubur”.
Membela kebenaran, dengan cara yang brutal. Yah kurang lebih kayak Batman lah ya!!
Saya amat bersyukur untuk belum pernah jadi sasaran 'hukuman' netizen, jadi selama ini cukup bisa lihat aja tingkah polah mereka di berbagai kolom komen berbagai website yang ada di internet.
Biasanya flow-nya gini. Pertama saya nemu ada masalah atau isu yang lagi seru diperbincangkan, terus lihat judgment netizen, kemudian tunggu deh respon dan pembelaan diri dari si pelaku. Nah habis itu ada yang selesai disitu aja, ada juga yang jadi baku hantam.
Sambil baca biasanya ekspresi saya beragam. Kadang senyum, kadang merasa kasihan, kadang senang bacanya. Beneran kayak nonton film lho rasanya, dan meski saya tidak pernah terlibat tapi saya kalau lagi super iseng suka aja lihat itu semua.
Sampai beberapa waktu yang lalu, kalau ditanya soal netizen saya cuma akan jawab “liatin aja nikmatin, tapi enggak usah ikut-ikutan”.
Tapi semua berubah ketika ada salah satu orang terdekat saya, sebut saja T, yang tertimpa masalah, yang membuat dia di-judge habis-habisan di internet. Saya liat sendiri di mana bahkan banyak orang di sekitar saya yang bicara sangat amat tidak enak tentang dia. Itu pertama kalinya saya enggan untuk buka socmed atau bentuk media lainnya, karena biar bagaimanapun, kalau orang yang kita sayang dan care dibicarain buruk kita pasti tidak nyaman kan?
Itu juga pertama kalinya saya paham posisi ibu Ani Yudhoyono yang dulu sempat menegur netizen yang bicara kurang pantas soal keluarganya. Kejadian itu juga yang buat saya paham rasanya jadi Uya Kuya yang juga membela anaknya ketika dia di-bully netizen.
Intinya mereka membela orang yang mereka sayang itu, yang mungkin dilihat orang luar sebagai berlebihan itu, karena mereka punya rasa sayang yang berlebihan juga sama orang terdekat mereka, dan saya sekarang sepenuhnya paham soal ini.
Itu juga kejadian yang buat saya agak sedih dan berpikir, kenapa dari segitu banyak netizen enggak ada yang inisiatif ngebelain si korban sih? Kebetulan masalah T waktu itu terkait hukum dan saya paham betul bahwa dia tidak dapat dipersalahkan. Di luar sana banyak kan sarjana hukum? Mereka kemana sih? Kasihan lho korban.
Dari kejadian itu pandangan saya terhadap ungkapan “mind your own business” langsung berubah. Kalau dulu saya akan sama sekali tidak akan ikut campur urusan orang lain, sekarang kalo ada netizen atau siapapun yang mem-bully atau mempermasalahkan seseorang soal sesuatu yang saya paham betul kenyataan dan faktanya, pasti saya akan belain. Siapapun!!
Ini kayak dokter, kalau lihat korban kecelakaan di depan matanya, dia harus bantu kan? Memang profesi lain tidak begitu ya?
Ingat kata Spiderman, “With great power comes great responsibility”. Kamu sudah diberikan kemampuan atau pengetahuan lebih dibanding orang lain, manfaatkanlah untuk bantu orang lain juga.
Selain itu kejadian waktu itu juga membuat saya, yang sebetulnya malas konfrontasi enggak penting, jadi ngedebat banyak netizen untuk ngebelain T. Tapi saya juga pilih-pilih sih ngedebat-nya.
Kalau netizen yang cuma ikut-ikutan dan bahkan salah nyebut dasar hukum, saya tetap abaikan. Enggak kelas dan enggak level nanggepinnya. Prinsip saya, jika Jokowi nanggepin semua cibiran, dia bisa meledak sendiri. Tanggapilah yang sekelas dengan kamu!!
Nah, untuk netizen yang cukup “berkelas” ayo deh kita debat. Tapi cara saya mendebat para penganut aliran julid ini juga harus berkelas. Pertama cek dulu dia siapa, cari tahu latar belakangnya (googling deh, trust me, it works!!), terus tanggapi sesuai dengan kelemahannya.
Kalau si julid kelihatannya konyol, enggak mungkin kita kaku serius ke dia. Kalau si julid intelek, ya pakai lah asas-asas ilmu pengetahuan. Kalau si julid agamis, tunjukin kalau kita juga berdebat dengan cara yang santun sesuai ajaran agama. Jadi intinya kita harus pinter ngadepin para julid ini (saya mendebat banyak banget orang untuk bela si T, dan dengan cara ini menang semua lho dan mereka berhenti dan hapus post-nya).
Intinya adalah, netizen julid itu ada dimana-mana. Tapi terlepas salah benarnya, nurani kita tahu kok apakah seseorang itu pantas di-judge di tempat umum dengan cara bengis begitu. Kalau mampu bela, ya belain. Kalau mudah kepancing, back off enggak usah ikutan daripada bikin keadaan semakin berantakan. Dan yang terakhir, kita tetap harus berkelas dalam menanggapi semuanya.
Itu cara saya hadapin netizen julid saat ini yang tidak berhubungan langsung dengan saya.
Tapi kalau yang di-bully orang terdekat dan tersayang saya, kayak si T, siap-siap. Netizen boleh merasa kayak superhero macam Batman, Superman, Saras 008, Panji Manusia Milenium, terserah. Saya pasti akan belain orang terdekat saya meski harus jadi Dementor, Thanos, Lex Luthor, atau Mister Black (musuh Saras 008) sekalipun!!
—Rappler.com
Adelia adalah mantan reporter Rappler yang kini berprofesi sebagai konsultan public relations, sementara Bisma adalah seorang konsultan hukum di Jakarta. Keduanya bisa ditemukan dan diajak bicara di @adeliaputri dan @bismaaditya.