Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Kepala BNPT Boy Rafli di Kompleks Istana Negara, Rabu 6 Mei 2020 (Dok. Istimewa)
Kepala BNPT Boy Rafli di Kompleks Istana Negara, Rabu 6 Mei 2020 (Dok. Istimewa)

Jakarta, IDN Times - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol Boy Rafli Amar mengungkapkan selama pandemik COVID-19 para teroris menggunakan internet dalam melakukan pendanaan untuk mendukung aksinya. Selama pandemik berlangsung, terdapat kenaikan 101 persen transaksi keuangan mencurigakan.

"Terdapat aktivitas crowd-funding dalam pendanaan aktivitas teroris. Ini juga jadi ancaman baru di masa pandemik," kata Boy dalam keterangan tertulisnya, Kamis (1/7/2021).

1. Doktrin paham radikalisme masif di internet selama pandemik COVID-19

Ilustrasi radikalisme (IDN Times/Mardya Shakti)

Selama masa pandemik, grup teroris juga memaksimalkan aktivitas daring. Mereka aktif melakukan propaganda, proses rekrutmen anggota, bahkan soal pendanaan.

Menurut Boy, aktivitas di internet yang dilakukan teroris, sangat mudah dilakukan dan malah lebih efektif dalam mendoktrin generasi muda untuk mendukung ideologi mereka, hingga ikut melakukan aksi teror. 

Contohnya, kasus wanita muda yang menyerang Mabes Polri beberapa waktu lalu. Diduga, dia terpapar ideologi ISIS dari internet.

"Selama pandemik COVID-19 yang merupakan ancaman keamanan dan ketertiban dunia tidak serta merta menghilang. Justru menciptakan tantangan baru misalnya lewat aktivitas teroris di dunia maya yang semakin masif," kata Boy.

2. Wanita rentan terpapar doktrin terorisme

xxx

Boy menambahkan, saat ini pula, ada kecenderungan wanita menjadi teroris. Studi dari Soufan Center menyebut angka dukungan kepada teroris yang dilakukan kaum wanita bertambah di wilayah Asia Tenggara.

"Secara statistik pada 2015 ada tiga wanita yang ditangkap karena kasus terorisme sementara dari 2016 sampai 2020 sudah mencapai angka 40 orang," katanya.

Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia telah menyaksikan aksi terorisme yang dilakukan wanita seperti di Surabaya (Jawa Timur), Sibolga (Sumatera Utara), dan baru-baru ini di Makassar (Sulawesi Selatan).

3. 700 WNI ditahan FTF di kamp Suriah

Ilustrasi penangkapan pelaku terorisme.IDN Times/Axel Joshua Harianja

Boy mengungkapkan tantangan di masa COVID-19 yang tidak kalah penting terkait dengan radikalisme serta adanya Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi teroris asing atau Foreign Terorist Fighters (FTF). 

Untuk FTF, diperkirakan terdapat 600 sampai 700 WNI yang ditahan di sejumlah kamp Suriah. Mayoritas dari mereka adalah wanita dan anak-anak.

"Masalah FTF ini juga isu yang penting. Tantangan yang akan dihadapi Indonesia berfokus pada efektivitas sarana untuk penuntutan (bagi mereka yang melakukan terorisme kejahatan di Suriah), serta sarana yang efektif untuk rehabilitasi dan reintegrasi bagi mereka yang menjadi tanggungan (perempuan dan anak-anak)," jelasnya.

4. Pemerintah melakukan penguatan criminal justice response pada isu penanggulangan terorisme

Ilustrasi Aksi Terorisme (IDN Times/Mardya Shakti)

Dalam menghadapi tantangan tersebut, Boy menyebutkan, Indonesia telah melakukan penguatan criminal justice response pada isu penanggulangan terorisme melalui pengesahan dan penerapan beberapa peraturan seperti Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2018, PP Nomor 77 Tahun 2019, PP Nomor 35 Tahun 2020, serta Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Extremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.

"Indonesia percaya bahwa keseimbangan harus dipertahankan antara pendekatan keras dan lunak. Untuk pencegahan terorisme atau pendekatan lunak perlu ditingkatkan untuk mencapai tujuan jangka panjang melawan terorisme," ujarnya.

Editorial Team