Cak Imin: Melarang Tayangan Investigasi Sama dengan Bunuh Jurnalisme

Jakarta, IDN Times - Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengatakan memahami keresahan yang kini dirasakan oleh organisasi jurnalis dengan kemunculan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Salah satu yang menjadi sorotan yaitu soal adanya larangan penayangan eksklusif produk jurnalistik investigasi.
Apalagi dulu, pria yang akrab disapa Cak Imin itu juga sempat bekerja sebagai jurnalis. Ia sempat menjabat sebagai Kepala Litbang Tabloid Detik pada 1993. Tetapi, media tempatnya bekerja sempat mengalami pembredelan di era Orde Baru.
"RUU Penyiaran harus mampu mengatasi tantangan jurnalisme di dalam ruang digital tanpa mengancam kebebasan berekspresi," ujar Cak Imin dalam keterangan tertulis yang dikutip pada Jumat (17/5/2024).
"Pers adalah salah satu pilar demokrasi. Bila kebebasan pers dibatasi, artinya kita juga mengekang demokrasi. Maka dari itu, saya titipkan 8 agenda perubahan kepada presiden terpilih, Pak Prabowo. Isinya dengan tegas meminta agar kualitas demokrasi diperkuat sekaligus menjamin kebebasan pers," imbuhnya.
Sebab, kebebasan bagi pers pada dasarnya menjadi kontrol bagi pemerintah agar memerintah lebih baik. Ia menambahkan melarang penyiaran program investigasi sama saja dengan membunuh jurnalisme.
"Apalagi kabar-kabar pendek seperti breaking news atau info viral relatif sudah diambil alih media sosial. Maka, jurnalisme sangat diandalkan dalam melahirkan informasi yang panjang, lengkap dan mendalam," katanya.
1. Larangan penayangan investigasi sama dengan mengebiri pers

Lebih lanjut, Cak Imin menilai sebagai jurnalis tak bisa hanya sekadar menyalin ulang pernyataan juru bicara atau rilis pers. Investigasi, menurut dia, adalah nyawa dari jurnalisme saat ini.
"Dalam konteks hari ini, melarang penyiaran program investigasi dalam draf RUU Penyiaran pada dasarnya mengebiri kapasitas paling premium dari insan pers. Sebab, tak semua media mampu melakukan investigasi," kata mantan calon wakil presiden di Pemilu 2024 itu.
Ia kemudian mengambil contoh program investigasi yang dilakukan oleh Watchdoc bersama tiga pakar hukum tata negara. Mereka membuat film dokumenter 'Dirty Vote' yang menggambarkan dugaan praktik kecurangan pemilu yang dilakukan oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo untuk memenangkan putranya sebagai wakil presiden. Karya seperti itu, kata Cak Imin, perlu didukung karena dinilai akan membawa kebaikan bagi bangsa.
"Begitu juga dengan karya-karya kreatif lain yang dapat muncul jika diberi ruang kebebasan," tutur dia.
2. Cak Imin minta tak boleh ada sensor terhadap jurnalisme di RUU Penyiaran

Cak Imin pun berpesan revisi UU Penyiaran harus mampu melindungi masyarakat dari hoaks dan misinformasi yang semakin merajalela. Tetapi, tidak boleh berdampak mengamputasi kebebasan pers.
"Masyarakat juga berhak terhadap akses informasi seluas-luasnya. Tidak boleh ada sensor atas jurnalisme dan ekspresi publik," tutur Cak Imin.
Ia mengatakan bahwa revisi UU Penyiaran sejauh ini masih berupa draf. Komisi I DPR belum membahasnya dengan pemerintah.
"Artinya, masih ada waktu untuk menyerap dan mendengarkan seluruh aspirasi masyarakat serta teman-teman media," katanya.
3. Komisi I DPR janji akan pelajari masukan dan kritik soal RUU Penyiaran

Sementara, Ketua Komisi I DPR, Meutya Hafid menjanjikan bakal mempelajari aturan dan kritik yang masuk ke pihaknya terkait RUU Penyiaran. Ia mengatakan berdasarkan rapat internal Komisi I DPR pada 15 Mei 2024 lalu, sudah diambil kesepakatan agar Panitia Kerja Komisi Penyiaran I DPR mempelajari kembali masukan dari masyarakat. Termasuk dari organisasi jurnalis.
"Komisi I DPR membuka ruang seluas-luasnya untuk berbagai masukan dari masyarakat. Tentu setelah menjadi RUU maka rancangan undang-undang itu akan diumumkan ke publik secara resmi," ujar Meutya di dalam keterangan tertulis pada Kamis kemarin.
Ia menambahkan bahwa komisi I DPR akan terus membuka ruang yang luas bagi masukan dari masyarakat. "Kami mendukung diskusi dan diskursus untuk RUU Penyiaran sebagai bahan masukan pembahasan RUU Penyiaran," tutur perempuan yang juga pernah bekerja jadi jurnalis televisi itu.
Politisi perempuan Partai Golkar itu membantah pihaknya ingin memberangus kebebasan pers melalui RUU Penyiaran. Menurutnya, hubungan antara komisi I DPR dengan Dewan Pers adalah relasi yang sinergis dan saling melengkapi. Hal itu termasuk dalam lahirnya Peraturan Presiden mengenai publisher rights.
Senada dengan Cak Imin, Meutya juga mengatakan draf RUU Penyiaran yang saat ini beredar belum bersifat final.
"Draf yang saat ini beredar adalah draf yang mungkin muncul dalam beberapa versi dan masih amat dinamis. Sebagai draf tentu penulisannya belum sempurna dan cenderung multitafsir," katanya.