Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Aliansi Jogja Memanggil menolak keras pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto oleh Presiden Prabowo Subianto, Senin (10/11/2025).
Aliansi Jogja Memanggil menolak keras pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto oleh Presiden Prabowo Subianto, Senin (10/11/2025). (IDN Times/Tunggul Damarjati)

Intinya sih...

  • Soeharto memiliki catatan hitam dalam pelanggaran HAM, termasuk kasus kejahatan kemanusiaan di Pulau Buru dan penembakan misterius.

  • Komnas HAM menilai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto menciderai fakta sejarah dari berbagai pelanggaran HAM berat yang terjadi pada rezimnya.

  • Pelanggaran HAM berat yang dilakukan Soeharto harus tetap diadili demi keadilan dan kebenaran yang hakiki, serta menjadi inspirasi anak bangsa terhadap nilai-nilai luhur.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai pahlawan nasional. Penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto diumumkan di Istana Negara pada Senin (10/11/2025) bersama sembilan tokoh lain.

Prabowo menghiraukan berbagai gelombang kritik atas rencananya untuk menganugerahi mantan mertuanya. Prabowo merupakan menantu Soeharto seusai menikahi Siti Hediati alias Titiek Soeharto pada 8 Mei 1983.

"Memutuskan, menetapkan dan seterusnya. Satu, memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada mereka yang namanya tersebut. Keputusan ini sebagai penghargaan dan penghormatan yang tinggi atas jasa yang luar biasa untuk kepentingan mewujudkan kesatuan dan kesatuan bangsa," ujar Sekretaris Militer Wahyu Yudhayana yang mendampingi Prabowo pada momen tersebut.

Penganugerahan gelar pahlawan untuk Soeharto mendapat penolakan keras dari parlemen. PDIP lantang bersuara menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.

Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira, mengatakan pahlawan nasional bukan sekadar gelar kehormatan, tetapi cermin nilai dan arah moral bangsa. Keputusan negara dalam memberikan penghargaan harus mempertimbangkan semangat persatuan, rekonsiliasi, dan pembelajaran bagi generasi muda.

“Kita tidak boleh lupa bahwa Soeharto punya jejak sejarah kelam, yang sudah menjadi pengetahuan umum, khususnya dalam hal pelanggaran HAM dan praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) selama ia memimpin negeri ini,” kata Andreas kepada wartawan, dikutip Selasa (11/11/2025).

1. Catatan hitam Soeharto dalam pelanggaran HAM

Aliansi Jogja Memanggil menolak keras pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto oleh Presiden Prabowo Subianto, Senin (10/11/2025). (IDN Times/Tunggul Damarjati)

Andreas mencatat berbagai pelanggaran HAM yang ditudingkan kepada Soeharto. Hal ini berdasarkan laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), yang juga menyebut setelah rezim Orde Baru runtuh pada 1998, tuntutan untuk mengungkap dugaan terjadinya pelanggaran berat HAM masa lalu banyak bermunculan.

Kontras mencatat, ada 10 kasus pelanggaran HAM yang diduga dilakukan Soeharto selama 32 tahun berkuasa. Pertama, kasus kejahatan kemanusiaan di Pulau Buru pada 1965-1966 saat Soeharto bertindak sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang disingkat Pangkoops Pemulihan Kamtub.

Sebagai Panglima Kopkamtib, Soeharto diduga telah menyebabkan ribuan orang menjadi korban pembunuhan, penangkapan, penahanan massal dan pembuangan ke Pulau Buru.

Kedua, dugaan kebijakan penembakan misterius sepanjang 1981-1985 sebagai bentuk hukuman mati tanpa melewati proses pengadilan. Amnesty Internasional mencatat korban jiwa karena kebijakan tersebut mencapai kurang lebih sekitar 5.000 orang, tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bandung.

Ketiga, peristiwa Tanjung Priok 1984-1987 untuk mengeliminasi berbagai respon masyarakat terhadap kebijakan asas tunggal Pancasila yang dikeluarkan rezim Soeharto. Akibatnya, sekitar lebih 24 orang meninggal, 36 terluka berat, 19 luka ringan buntut Peristiwa Tanjung Priok 1984.

Pelanggaran HAM berat Soeharto lainnya berdasarkan catatan Kontras adalah kebijakan represif terhadap kelompok-kelompok Islam yang dianggap ekstrem dengan meletusnya peristiwa Talangsari 1984-1987.

Akibat kejadian ini, 130 orang meninggal, 77 orang mengalami pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, 53 orang terampas kemerdekaanya, 45 orang mengalami penyiksaan, dan 229 orang mengalami penganiayaan.

Kelima, pelanggaran HAM dalam pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998) dan DOM Papua (1963-2003) yang mengakibatkan terjadinya berbagai peristiwa.

Sejumlah insiden pada DOM Papua seperti Teminabun 1966-1967, peristiwa Kebar 1965, hingga Peristiwa Jayawijaya dan Wamena Barat melalui Operasi Tumpas pada kurun waktu 1970-1985, terjadi pembantaian di 17 desa. Dua kebijakan DOM Soeharto menyebabkan banyak korban berjatuhan.

Kontras pun turut mencatat kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli) yang merupakan serangan oleh pasukan pemerintah Indonesia pada kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jakarta.

Dalam peristiwa Kudatuli, Soeharto memandang Megawati Soekarnoputri sebagai ancaman terhadap kekuasaan politik Orde Baru. Soeharto hanya menerima Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI pimpinan Suryadi yang menjadi lawan politik PDI pimpinan Megawati.

Aksi kekerasan yang diduga berupa pembunuhan, penangkapan dan penahanan dilakukan terhadap para simpatisan PDI pimpinan Megawati itu menyebabkan 11 orang meninggal, 149 luka-luka, 23 orang hilang, 124 orang ditahan.

Tiga kasus pelanggaran HAM Soeharto berdasarkan laporan Kontras adalah Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa 1997–1998 yang melibatkan Tim Mawar, Peristiwa Trisakti 1998 yang menyebabkan 4 mahasiswa tewas tertembak peluru aparat keamanan, dan kerusuhan 13–15 Mei 1998 yang merupakan rangkaian dari kekerasan dalam peristiwa Trisakti, penculikan dan penghilangan paksa.

Pada kerusuhan Mei 1998, terjadi pembunuhan, penganiayaan, perusakan, pembakaran, penjarahan, penghilangan paksa, perkosaan, serta penyerangan terhadap etnis tertentu. Kejadian ini menjadi tonggak sejarah lahirnya reformasi dan jatuhnya rezim Soeharto bersama kroninya.

Berdasarkan rentetan kasus pelanggaran HAM itu, Andreas menilai, Soeharto tidak sepatutnya mendapat gelar kehormatan Pahlawan Nasional.

“Ini baru sedikit laporan dari Kontras. Kita belum berbicara soal kasus-kasus hukum lainnya, termasuk mengguritanya praktik KKN di era Orde Baru,” ujar Andreas.

“Belum lagi kita bicara soal rezim diktator yang menumpas kebebasan berekspresi dan menyebabkan banyak rakyat Indonesia mengalami penderitaan panjang,” sambungnya.

2. Menciderai pelanggaran HAM 1966-1998

Aliansi Jogja Memanggil menolak keras pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto oleh Presiden Prabowo Subianto, Senin (10/11/2025). (IDN Times/Tunggul Damarjati)

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) keberatan atas pemberian gelar Pahlawan Nasional terhadap Soeharto oleh Presiden Prabowo Subianto. Penetapan ini bukan hanya menciderai cita-cita Reformasi 1998 yang mengamanatkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah menegaskan, gelar pahlawan nasional Soeharto mencederai fakta sejarah dari berbagai pelanggaran HAM berat yang terjadi pada rezim Soeharto pada 1966-1998. Misalnya, peristiwa penembakan misterius, peristiwa Talangsari, peristiwa Tangjun, Priok, dan penerapan DOM Aceh.

"Peristiwa-peristiwa tersebut telah diselidiki Komnas HAM dengan kesimpulan merupakan pelanggaran HAM yang berat sesuai Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," kata Anis Hidayah.

3. Pelanggaran HAM berat tetap hatus diadili

Aliansi Jogja Memanggil menolak keras pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto oleh Presiden Prabowo Subianto, Senin (10/11/2025). (IDN Times/Tunggul Damarjati)

Menurut Komnas HAM, penetapan Soeharto tidak lantas memberikan impunitas atas pelbagai kejahatan HAM yang terjadi di eranya. Berbagai peristiwe pelanggaran HAM berat harus terus diproses, diusut, dan dituntaskan demi keadilan dan kebenaran yang hakiki.

Anis memambahkan, pemerintah seharusnya lebih hati-hati dalam penetapan pahlawan nasional, karena gelar kehormatan tersebut akan menjad inspirasi dan teladan anak bangsa terhadap jejak perjuangan, keadilan, dan kemanusiaan.

"Dalam upaya membangun bangsa melalui nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi bangsa Indonesia," kata dia.

Editorial Team