Pahlawan di Ambang Senja: Soeharto dan Luka Bangsa yang Belum Pulih

- Dasar hukum pengangkatan pahlawan nasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009.
- Presiden Prabowo mempelajari daftar nama calon pahlawan, termasuk Soeharto, yang diajukan Menteri Sosial.
- Sebanyak 486 tokoh menolak gelar pahlawan nasional untuk Soeharto karena dosa-dosa masa lalunya yang belum terselesaikan.
Jakarta, IDN Times - Di tengah riuh perdebatan di ruang publik, nama Soeharto kembali menggema—bukan karena kisah lamanya pada masa Orde Baru, melainkan karena wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional. Sebuah rencana yang bagi sebagian orang terasa seperti membuka luka lama bangsa.
Di media sosial, suara penolakan bergema keras, menandakan ingatan kolektif tentang 32 tahun kekuasaan yang penuh represi belum benar-benar hilang. Bagi banyak orang, Soeharto bukan sekadar sosok presiden kedua Indonesia, tapi simbol masa ketika suara dibungkam dan perbedaan dicurigai.
Bagi para pendukungnya, Soeharto tetaplah “Bapak Pembangunan” —pemimpin yang menstabilkan ekonomi dan membangun infrastruktur hingga pelosok negeri. Mereka mengenangnya lewat jalan tol, waduk, dan sekolah yang dulu berdiri megah pada masa Orde Baru.
Namun di sisi lain, tak sedikit yang mengingatnya lewat kisah kelam: pembantaian massal 1965, pembungkaman pers, dan praktik korupsi yang menggurita hingga menjerat keluarganya sendiri. Kontradiksi inilah yang membuat wacana gelar pahlawan bagi Soeharto terasa getir, seperti menimbang antara pembangunan dan penindasan dalam satu timbangan sejarah.
Penolakan terhadap rencana ini pun datang dari berbagai lapisan masyarakat, mulai aktivis hak asasi manusia (HAM), korban pelanggaran, hingga generasi muda yang menolak melupakan masa lalu. Bagi mereka, pemberian gelar pahlawan nasional justru merusak makna pahlawan itu sendiri.
Bagaimana mungkin seseorang yang diduga membiarkan pelanggaran HAM dianggap teladan bangsa? Pertanyaan itu yang terus mengemuka, bukan sebagai serangan pribadi, tapi sebagai seruan moral agar bangsa ini tidak kehilangan arah sejarahnya.
Secara hukum, memang tidak ada aturan yang secara tegas melarang pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan. Namun secara moral dan politik, beban sejarahnya terlalu berat untuk disembunyikan di balik kata “jasa".
Rezim Orde Baru meninggalkan trauma panjang: sensor, kekerasan, hingga ketimpangan ekonomi yang masih terasa hingga kini. Mengangkat Soeharto jadi pahlawan tanpa mengakui luka-luka, itu sama saja dengan menutup mata terhadap penderitaan jutaan rakyat yang menjadi korban kebijakannya.
Bangsa ini mungkin sudah berdamai dengan masa lalu, tapi belum sepenuhnya pulih darinya. Mengingat, Soeharto bukan berarti membenci, tapi belajar—agar sejarah tak lagi berulang dengan wajah yang sama. Jika gelar pahlawan diberikan tanpa refleksi, maka penghargaan itu kehilangan maknanya. Karena pahlawan sejati bukan hanya mereka yang berjasa membangun jalan, tapi juga mereka yang berani menjaga nurani, bahkan ketika kekuasaan menutup telinga.
Lantas, apakah layak "Bapak Orde Baru" ini dimahkotai pahlawan nasional?
1. Menilik aturan bagaimana syarat pengangkatan jadi pahlawan

Dasar hukum pemberian gelar pahlawan nasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Aturan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2010, yang mengatur mekanisme pelaksanaan dan bentuk penghormatan bagi penerima gelar.
Selain itu, Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2012 menjadi pedoman teknis yang menjelaskan tata cara pengusulan, dokumen yang diperlukan, hingga alur administrasi pengajuan. Keputusan akhir akan ditetapkan Presiden melalui Keputusan Presiden (Keppres).
Secara umum, calon penerima gelar Pahlawan Nasional harus Warga Negara Indonesia (WNI); memiliki integritas moral; keteladanan tinggi; berjasa terhadap bangsa dan negara; berkelakuan baik; setia dan tidak mengkhianati bangsa; serta tidak pernah dipidana dan dipenjara paling singkat lima tahun.
Sementara untuk tokoh yang telah wafat, syaratnya menekankan pada bukti perjuangan atau pengabdian yang berdampak luas bagi bangsa. Bukti-bukti tersebut harus didukung dokumen sejarah, arsip, hingga testimoni yang kuat.
Tata cara proses pengusulan pahlawan sendiri dibahas dalam UU Nomor 20 Tahun 2009, di mana masyarakat bisa mengajukan ke pemerintah daerah setempat. Pemerintah daerah melalui Dinas Sosial dapat mengajukan calon, begitu pula organisasi masyarakat, lembaga negara, hingga keluarga atau ahli waris.
Setelah diverifikasi dan diteliti di tingkat provinsi, berkas akan diteruskan ke Menteri Sosial untuk dikaji tim ahli. Hasil kajian tersebut kemudian direkomendasikan kepada Presiden untuk ditetapkan melalui Keppres. Proses ini dapat berlangsung panjang, tergantung kelengkapan bukti dan hasil kajian tim nasional.
Jika disetujui, upacara penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional dilaksanakan Presiden RI menjelang Peringatan Hari Pahlawan pada 10 November.
Penerima gelar Pahlawan Nasional akan mendapat penghormatan negara, sebagaimana diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2010. Prosesi ini dapat mencakup upacara kenegaraan, pemakaman di Taman Makam Pahlawan, kenaikan pangkat anumerta bagi anggota TNI atau Polri, pemberian tanda jasa/tanda kehormatan, fasilitas protokol, maupun santunan kepada ahli waris sesuai ketentuan.
2. Prabowo pelajari nama-nama yang diajukan sebagai pahlawan, termasuk Soeharto

Menteri Sosial (Mensos), Saifullah Yusuf atau Gus Ipul sempat menyerahkan dokumen berisi daftar 40 nama calon Pahlawan Nasional kepada Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, di Kantor Kementerian Kebudayaan, Selasa, 21 Oktober 2025.
“Hari ini saya, Menteri Sosial, didampingi Wakil Menteri Sosial Agus Jabo, bertemu dengan Menteri Kebudayaan Pak Fadli Zon untuk menyerahkan surat dari Kementerian Sosial, sebagai tindak lanjut hasil rapat Tim Penelitian dan Pengkajian Gelar Pahlawan,” ujar Gus Ipul.
Total, ada 40 nama yang diusulkan dan dianggap telah memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Pahlawan Nasional. Di antaranya adalah Soeharto.
“Beberapa di antaranya sudah memenuhi syarat sejak lima, enam, bahkan tujuh tahun lalu. Ada juga nama-nama baru yang dibahas dan diputuskan tahun ini,” kata dia.
Gus Ipul menjamin masuknya Soeharto sudah melalui serangkaian kajian yang dilakukan bersama oleh Kemensos, ahli sejarah, akademisi, tokoh agama, dan perwakilan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Ditemui terpisah, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Prasetyo Hadi, mengaku sudah menerima daftar calon pahlawan nasional 2025. Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto sedang mempelajari daftar nama yang diajukan tersebut.
"Nama pahlawan kami sudah menerima, ya, secara resmi dari Kemensos hasil dari Dewan Gelar dan Tanda Jasa. Sedang dipelajari oleh Bapak Presiden karena memang cukup banyak nama yang diajukan. Jadi mohon waktu nanti kalau sudah waktunya dan Bapak Presiden sudah mengambil keputusan, nanti akan kami umumkan," ujar Prasetyo melansir ANTARA Heritage Center, Jakarta, Kamis, 30 Oktober 2025.
Prasetyo menjelaskan dari daftar nama calon pahlawan nasional yang diterimanya, salah satunya ada Presiden ke-2 RI, Soeharto. Artinya, tinggal selangkah lagi menunggu keputusan Prabowo agar Soeharto menjadi pahlawan nasional.
"(Soeharto) termasuk yang diusulkan (menjadi pahlawan nasional)," kata dia.
Prasetyo mengatakan, pemerintah mengusahakan penetapan pahlawan nasional 2025 dilakukan pada 10 November. Hal tersebut sesuai dengan peringatan Hari Pahlawan Nasional.
"Ya, kita upayakan, biasanya seperti itu," ujar dia.
3. Prabowo dapat surat dari ratusan tokoh yang mengungkap dosa-dosa mertuanya

Penolakan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto, sebanyak 486 tokoh dari berbagai latar belakang mulai dari akademisi, aktivis, jurnalis, hingga diaspora Indonesia di luar negeri menandatangani surat terbuka kepada Prabowo. Surat tersebut berisi penolakan atas rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mendiang Presiden Soeharto.
Surat itu dikirim ke Istana Merdeka pada Selasa, 4 November 2025, dan dibacakan ulang secara langsung Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta.
Dalam surat sepanjang 10 halaman itu, para penandatangan menegaskan penganugerahan gelar tersebut akan menjadi “pengkhianatan terhadap reformasi dan nilai-nilai demokrasi”. Mereka menilai rekam jejak Soeharto selama 32 tahun berkuasa tidak mencerminkan nilai kepahlawanan sebagaimana diatur dalam tradisi nasional.
“Kami rakyat Indonesia dari berbagai elemen dan latar belakang, di Indonesia maupun di luar Indonesia, dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab, menyatakan penolakan kami terhadap rencana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada mendiang Presiden Soeharto,” demikian kutipan pembuka surat tersebut.
Dalam dokumen itu, ada empat alasan utama yang dikemukakan sebagai dasar penolakan. Pertama, pelanggaran berat HAM yang belum terselesaikan, termasuk peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, serta kekerasan di Aceh, Papua, dan Timor Timur.
Kedua, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang disebut telah merajalela dan membentuk budaya selama masa Orde Baru. Surat itu menyinggung monopoli bisnis keluarga Cendana, skandal BLBI, serta yayasan keluarga Soeharto yang dianggap sebagai alat penghimpun dana paksa.
Ketiga, pemberangusan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Rezim Soeharto dinilai mengerdilkan partai politik, membatasi kebebasan pers, dan menggunakan doktrin Dwi Fungsi ABRI untuk menekan oposisi.
Keempat, dampak sosial-ekonomi yang timpang akibat kebijakan pembangunan terpusat di Jawa dan praktik KKN yang memperlebar kesenjangan.
Para penandatangan surat juga menyinggung potensi benturan kepentingan (conflict of interest) karena Soeharto merupakan mertua Presiden Prabowo. Mereka membandingkan situasi ini dengan keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menolak memberi gelar Pahlawan Nasional kepada mertuanya sendiri, Sarwo Edhie Wibowo.
“Tindakan Saudara menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto akan menjadi pertanda nyata matinya reformasi di Indonesia,” demikian kutipan surat itu, yang juga memperingatkan potensi penolakan luas dari generasi muda.
“Saudara akan mendapat respons penolakan puluhan juta generasi Z Indonesia yang sulit dibendung, karena mereka bagian dari jaringan global yang tidak tergabung dalam organisasi resmi apapun," sambung surat itu.
Pada bagian penutup, para tokoh tersebut menilai pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto akan mengaburkan sejarah dan mengkhianati para korban. Mereka menyerukan agar bangsa belajar dari masa lalu dengan cara yang jernih dan kritis.
“Gelar ini hanya layak diberikan kepada mereka yang benar-benar berjuang untuk kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan, serta kedaulatan rakyat; bukan kepada pemimpin yang masa jabatannya diwarnai otoritarianisme dan pelanggaran hak asasi manusia rakyatnya,” demikian bunyi pernyataan itu.
Di antara 486 penandatanganan, tercatat nama-nama seperti Marzuki Darusman, Ani Soetjipto, Muhammad Isnur, Nany Afrida, Nenden Sekar Arum, dan Natalia Soebagjo hingga Romo Magnis. Penolakan serupa juga dilakukan berbagai lapisan masyarakat dari berbagai daerah seperti Jakarta, Yogyakarta, Kalimantan Tengah, dan Lampung.
4. Mendukung Soeharto sebagai pahlawan sama artinya bersikap antidemokrasi

Sejarawan sekaligus Anggota DPR RI, Bonnie Triyana, memastikan menolak tegas usulan tersebut. Ia mengajak kembali ke masa lalu, pada saat merebut era reformasi, seluruh warga berjuang memulihkan demokrasi yang porak poranda.
Ia menjabarkan, dengan gerakan warga hingga meraih era reformasi, warga dapat membatasi kekuasaan seorang presiden menjadi dua periode saja. Termasuk lebih bebas dalam mengekspresikan pendapat. Jumlah partai politik pada Orde Baru dibatasi hanya tiga, kini semakin banyak.
“Banyak sekali kehidupan di masa itu yang kita koreksi. Kalau koreksi berarti dari sebuah zaman itu ada yang salah kan,” kata Bonnie kepada IDN Times, Sabtu, 1 November 2025.
Bonnie berpendapat, tidak ada yang benar dari pemberian gelar pahlawan pada Soeharto. Ia mempertanyakan bagaimana seorang pemimpin dari sebuah zaman yang dikoreksi, karena salah menjadi pahlawan. Sebagai politisi, ia juga menolak gelar tersebut.
Bagi Bonnie, fakta sejarah sudah menjadi bukti kuat penolakan gelar pahlawan pada Soeharto. Ia menegaskan, setiap anak muda yang belajar sejarah era Orde Baru hingga reformasi, juga akan bersikap sama. Sikap itu menolak tegas gelar pahlawan untuk Soeharto.
Senada, Koalisi Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas) juga menolak keras wacana Soeharto sebagai pahlawan nasional. Koalisi yang tergabung dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) ini heran mengapa Soeharto diberikan gelar sebagai pahlawan.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep Hasan Sadikin, mengatakan mendukung Soeharto menjadi pahlawan sama artinya dengan bersikap antidemokrasi. Menurut dia, warisan 32 tahun rezim Orde Baru bertentangan langsung dengan pilar-pilar fundamental negara demokratis.
"Kalau kita menjadikan Soeharto itu pahlawan, kita itu berarti anti-demokrasi," ujar Usep dalam diskusi yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta, Jumat, 31 Oktober 2025.
Menurut Usep, standar utama negara demokrasi adalah pemilu yang bebas dan adil (free and fair election). Hal ini menjadi tolok ukur yang diakui lembaga-lembaga internasional seperti Freedom House hingga The Economist. Namun, apa yang terjadi pada era Orde Baru adalah kebalikannya.
Usep menyebut, pemilu seperti hanya sekadar formalitas, sebab hasilnya sudah bisa ditebak jauh-jauh hari, yakni Soeharto dan partainya yang pasti menang. Tidak ada ruang untuk kompetisi sehat, jajak pendapat independen, apalagi hitung cepat. Pemilu hanya menjadi formalitas untuk melegitimasi kekuasaan yang sudah digenggam erat rezim Soeharto.
"Jangankan bebas dan adil, waktu era Orde Baru, Soeharto memimpin negara ini, itu bukan pemilu. Yang ada tuh pura-pura pemilu. Makanya, eh kalau lagi, ini sekarang kan lagi proses revisi undang-undang pemilu ya. Kalau ada narasumber atau akademisi, atau ada politisi, bahkan yang meng-compare pemilu sekarang terus dengan kalau di era Orde Baru. Ya ngapain dibahas, dibandingin era sekarang sama era Orde Baru, itu bukan pemilu, ngapain dibahas," kata dia.
Usep menjelaskan meski secara formal ada tiga kontestan: PPP, Golkar, dan PDI, sistem ini sebagai ilusi multipartai. Kenyataannya, parlemen dikuasai satu kekuatan tunggal.
"Kalau dihitung parlemen saat itu, itu cuman Golkar, karena suara Golkar itu sekisaran 70 sampai 90 persen," ungkap dia.
Dengan dominasi absolut seperti itu, kata Usep, fungsi pengawasan dari DPR menjadi mandul. Praktis, Indonesia dijalankan layaknya negara dengan sistem partai tunggal, di mana suara pemerintah adalah suara mutlak.
Selain itu, kata Usep, rezim Soeharto juga harus bertanggung jawab atas 'pembunuhan' ideologi. Kekuatan politik berbasis ideologi seperti komunisme, dan Islam dilemahkan secara sistematis, membuat partai-partai kehilangan basis gagasan mereka. Pada masa kelam itu, ditanamkan pula narasi bahwa politik adalah sesuatu yang kotor dan tidak penting. Tak heran, di kepemimpinan Soeharto, masyarakat menjadi apolitis dan apatis terhadap urusan negara.
"Kalau kita pingin partai di pemilu nanti itu ideologis, pembunuhannya sudah dimulai di era Soeharto, di era Soeharto. Ideologi komunisme dibunuh di 1965. Setelah Soeharto mimpin, ideologi Islam dihancurkan, dibunuh. Jadi, dampaknya masih terasa sekarang. Kita sulit banget bikin partai kita ideologis lagi," tutur Usep.
"Era Orde Baru itu ada ditanamkan kalau berpolitik itu busuk. Berpolitik itu tidak penting. Kita kerja saja mendukung kehidupan berbangsa bernegara, mendukung pemerintahan," imbuhnya.
5. Usul Soeharto jadi pahlawan adalah ide absurd

Sementara, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Sjafrina melayangkan kritik terhadap Menteri Kebudayaan (Menbud), Fadli Zon dan Menteri Sosial, Saifullah Yusuf yang kompak mendukung agar Soeharto diangkat jadi pahlawan nasional.
Menurut Almas, gagasan yang disampaikan kedua menteri itu adalah ide absurd. Sebab Soeharto tidak layak menyandang status sebagai pahlawan nasional. Masih banyak pekerjaan Menbud dan Mensos yang bisa dimaksimalkan, ketimbang menimbulkan kegaduhan publik.
"Ini adalah satu satu ide atau gagasan yang yang absurd. Sepertinya Kementerian Sosial dan dan Kementerian Kebudayaan ada banyak sekali PR yang perlu dilakukan dibanding kemudian mengeluarkan satu gagasan yang kontroversial untuk memberikan gelar pahlawan kepada orang yang rasanya tidak layak," kata dia dalam diskusi yang diselenggarakan Koalisi Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas) di Jakarta, Jumat, 31 Oktober 2025.
Padahal, menurut Almas, menyandang status sebagai pahlawan nasional merupakan gelar yang sakral dan penghargaan tertinggi terhadap tokoh bangsa. Misalnya, tokoh yang berkontribusi terhadap kemerdekaan dan kemajuan bangsa Indonesia.
Soeharto, kata Almas, justru jasanya bertolak belakang dengan hal tersebut. Ia dianggap berkontribusi buruk terhadap perjalanan bangsa. Salah satu contoh yang paling menonjol ialah tumbuh suburnya praktik KKN pada masa pemerintahan Soeharto. Soeharto pun dinilai gagal menjadi kepala negara. Buktinya, kepemimpinannya dilengserkan rakyat.
"Yang penting diingat ini kan Pak Soeharto itu turun bukan karena kalah pemilu. Ia turun juga bukan karena sudah purnatugas atau sudah tidak bisa mencalonkan diri lagi seperti misalnya Pak Jokowi atau Pak SBY. Pak Soeharto mundur karena pada saat itu ada krisis yang tidak mampu untuk diselesaikan diselesaikan oleh pemerintahan Soeharto, dan ada tuntutan yang sangat besar, yang sangat keras disuarakan eh oleh masyarakat luas, oleh aktivis," tegas Almas.


















